Mungkin sudah banyak yang membedah film ini dari berbagai sisi, namun dalam tulisan ini saya ingin menyoroti satu hal penting: tentang perlawanan pemuda-pemuda yang bukan hanya berani, tapi juga terdidik yang memilih berpikir, bukan sekadar tunduk.
Bidaah bukan sekadar tontonan drama religi, melainkan cermin tajam tentang bagaimana kekuasaan bisa menyamar dalam bentuk yang paling suci: agama. Dalam kisah ini, Walid, pemimpin sekte Jihad Ummah, memanfaatkan wibawa keagamaannya untuk menjerat banyak orang dalam kepatuhan buta. Namun seperti sejarah yang selalu berulang, kebenaran tak pernah bisa selamanya dikubur terutama jika masih ada pemuda terdidik yang berani membuka suara.
Walid adalah representasi dari tokoh religius karismatik yang memelintir ajaran suci demi ambisinya sendiri. Di balik jubah ketaatan, ia menanam sistem kekuasaan penuh kontrol: pernikahan paksa, doktrin ketaatan mutlak, dan penghapusan nalar kritis. Ia tahu, selama orang takut dan merasa berdosa, ia bisa tetap berkuasa. Tapi di sinilah letak pentingnya pendidikan: karena ketika akal sehat bangkit, kekuasaan manipulatif mulai runtuh.
Baiduri menjadi sosok yang mengubah arah cerita dalam film ini. Kehadirannya membawa perubahan besar, karena dari dialah awal mula perlawanan terhadap penyelewengan Jihad Ummah dimulai. Dengan niat menyelamatkan ibunya dan menggali lebih dalam ajaran-ajaran di balik Jihad Ummah, Baiduri masuk ke dalam sekte tersebut. Seiring waktu, ia menyadari bahwa di balik kemasan suci, tersimpan banyak penyelewengan. Ia pun bergerak bukan hanya untuk membebaskan ibunya, tapi juga menyadarkan perempuan-perempuan lain yang telah menjadi korban kekuasaan Walid. Keteguhannya bukan semata karena keberanian, tapi karena ia cukup terdidik.
Kemunculan Hambali, putra dari salah satu pemimpin dalam sekte Jihad Ummah yang baru kembali dari Yaman, menjadi penanda benturan dua kutub pemahaman: satu yang menjadikan agama sebagai instrumen kekuasaan, dan satu lagi yang menjunjung agama sebagai cahaya pencerahan. Hambali tidak tinggal diam menyaksikan penyelewengan yang terjadi. Berbekal ilmu dan nalar kritis, Ia berupaya meluruskan ajaran yang telah disimpangkan, dan bersama Baiduri, memperjuangkan kembalinya nilai-nilai agama pada kemurnian dan keutamaannya.
Melalui film ini, kita belajar bahwa pemuda terdidik adalah harapan dalam melawan otoritarianisme, bahkan jika itu datang dari mimbar agama. Pengetahuan adalah senjata, dan keberanian adalah nyalanya. Ketika keduanya berpadu, mereka tak akan mudah dibodohi, apalagi tunduk pada kesesatan yang dibungkus kesalehan.
Sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun, “Ketika akal tidak lagi dipakai sebagai alat untuk memahami realitas, maka manusia akan menjadi tawanan dari simbol-simbol yang ia sendiri tidak pahami.” Maka, pendidikan dan keberanian adalah senjata kita untuk tidak menjadi tawanan dalam sistem yang menyesatkan atas nama agama.
Sebagai pemuda, kita dipanggil bukan sekadar untuk memahami dunia, tetapi juga untuk memperbaikinya. Dalam zaman ketika kebenaran bisa dibengkokkan oleh mereka yang fasih berbicara atas nama Tuhan, keberpihakan kita menjadi ujian nurani. Maka, jangan biarkan keheningan menjadi ruang nyaman bagi kesesatan bertumbuh. Sebab dalam diam yang terlalu panjang, kebatilan menemukan panggungnya.
Oleh: Husna Mahmudah
Posting Komentar