Penalaut.com - Media massa menjadi instrumen ampuh dalam menyebarkan berbagai macam informasi, pendapat, bahkan ideologi-politik tertentu. Netralitas media massa saat ini perlu kita telisik ulang dengan beberapa peranti yang relevan. Tidak mungkin kita membaca hidangan dari media massa menggunakan “mata telanjang”. Membaca dan menerima informasi yang disajikan media mainstream, apalagi media lokal, sangat membutuhkan nalar skeptis dan kritis. Sikap taken for granted akan sangat membahayakan kehidupan kita, baik individu maupun komunal. Meski media (online maupun cetak) yang menyajikan informasi itu sudah dianggap kredibel dan “pasti” benar oleh sebagian besar masyarakat.
Justru segala hal yang dianggap “mapan” atau “benar” oleh mayoritas orang, perlu dibaca secara kritis. Karena, biasanya, di balik kemapanan itu terdapat “kekacauan”—secara terselubung—yang luput dari pembacaan kita, terutama berkenaan dengan informasi dan berita dari media massa. Kekacauan yang saya maksud, misalnya, media hanya menampilkan satu sisi dari suatu peristiwa, sedangkan sisi yang lain “tidak” ditampilkan. Atau istilah yang kerap kita gunakan ialah framing (pembingkaian). Bagaimana realitas dibentuk sesuai kehendak media. Mengenai frame media ini, Gitlin (1980) memahami sebagai bagian yang niscaya hadir dalam praktik jurnalistik. Pembingkaian media, menurut Gitlin, merupakan pola kognisi, interpretasi, dan presentasi yang dilakukan secara terus-menerus dengan seleksi, penekanan, dan pengecualian yang digunakan untuk membentuk wacana (discourse), baik itu secara verbal maupun visual.[1]
Implikasi dari framing itu ialah membatasi publik agar hanya memperhatikan aspek tertentu dari realitas.[2] Sebagai contoh, media hanya akan menampilkan sisi positif dan menyembunyikan sisi negatif dari seorang politisi yang sudah memberi “makan” media tersebut; media hanya akan menyajikan sesuatu yang menguntungkan mereka; media tidak segan-segan menampilkan sisi negatif dari suatu kelompok tertentu dengan maksud menarik minat pembaca; dan lain sebagainya. Dengan demikian, jelas bahwa media memiliki pengaruh yang signifikan dalam menggiring opini, mengeliminasi suara subaltern, dan memarginalisasi kelompok dalam suatu masyarakat.
Kalau kita cermat dan kritis, hal tersebut sangat jelas terjadi, melihat sekarang ini bejibun media online yang menyajikan berbagai informasi dari tingkat lokal, nasional, dan internasional. Semua bisa kita akses, sekali klik. Model frame media itu juga dilakukan oleh media mainstream di Tanah Air, tak terkecuali Banyuwangi. Setiap hari berbagai media massa menyajikan berita dan informasi, khususnya peristiwa yang terjadi di Banyuwangi, kepada masyarakat. Media yang mereka gunakan, antara lain: koran, wibsite, dan media sosial seperti Instagram, Facebook, dan sejenisnya. Fakta bahwa semakin banyak media massa, terutama media online, sudah barang tentu harus semakin “ekstra” daya kritis kita dalam menerima informasi.
Sejak awal tahun ini, sejauh penelusuran yang saya lakukan, ada motif terselubung di balik beberapa “konten” atau berita yang disajikan media massa terhadap kelompok tertentu. Motif itu berupa stigmatisasi, stereotip, dan diskredit terhadap satu subkultur anak muda di Banyuwangi, yakni punk. Media di Banyuwangi yang memberitakan “anak punk”, di antaranya: Bwi24jam, Radar Banyuwangi, Rubicnews.com, dan @beritatentangbanyuwangi (IG).[3] Semua media yang saya sebutkan ini menyebutkan istilah “anak punk” dalam judul berita mereka. Sedangkan, penyajian berita tentang “anak punk” itu cenderung negatif. Misalnya, “Anak Punk Bikin Kisruh dan Hajar Warga di Traffic Light Lincing Rogojampi Banyuwangi”, “Anak Punk dari Probolinggo dan Tangerang Gilir Anak Bawah Umur di Bawah Jembatan Banyuwangi”, “Dua Remaja di Rogojampi Diduga Dipukul Gerombolan Anak Punk”, dan seterusnya.
Kemudian, dari berita tentang “anak punk” tersebut, mayoritas masyarakat kita memberikan komentar yang negatif. Bahkan, tidak sedikit yang “mencemooh” keberadaan mereka. Padahal, pemahaman mereka (netizen dan wartawan) ihwal “apa itu punk” masih sangat diragukan. Bagaimana mungkin kita memberikan komentar terhadap sesuatu yang (sebenarnya) tidak kita ketahui? Jika hal itu terjadi, sungguh aneh bin aneh. Oleh karena itu, sebelum kita menulis nyinyiran di kolom komentar, mbok ya cari tahu dulu: apa itu punk?
Punk: Subkultur yang Dianggap “Sampah”
Saat mendengar kata “punk” sering kali di benak kita menggambar seseorang yang mengenakan baju hitam, celana sobek, jaket kulit penuh emblem, berambut mohawk, dan segala aksesoris yang melekat di tubuh. Atau, kata-kata seperti “kotor”, “sampah masyarakat”, “berandalan”, dan sejenisnya langsung kita sematkan kepada anak-anak punk. Anggapan ini, menurut saya, terlalu terburu-buru dan asbun (asal bunyi) belaka. Padahal, kalau kita mau dengan sabar menggali informasi mengenai punk, justru stigma negatif yang selama ini disematkan kepada anak punk akan luruh.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “punk” bermakna pemuda yang ikut gerakan menentang masyarakat yang mapan, dengan menyatakannya lewat musik, gaya berpakaian, dan gaya rambut yang khas.[4] Selain itu, istilah punk dapat dipahami sebagai suatu gerakan sosial-budaya yang bersifat kontra-hegemonik (counter-hegemonic) dengan musik yang menjadi salah satu ekspresi mereka. Dalam konteks sosial-budaya, punk mempunyai sifat subversif seperti Dada (Dadaisme). Kelompok radikal avant-garde yang berbasis di Prancis, Situationist International (1957-1972), menjadi inspirasi bagi punk di masa awal.[5]
Secara historis, menurut Van Dorston (1990), terminologi “punk” pertama kali muncul dalam sebuah artikel yang ditulis Nick Tosches bertajuk The Punk Muse di majalah Fusion pada tahun 1970. Artikel ini memang ditulis Nick Tosches sebagai suatu kritik atas musik punk, dan kemudian kritik itu diikuti oleh Lester Bangs dengan menulis novel Drug Punk dan Dave Marsh melalui kolom di majalah Creem edisi Mei 1971.[6] Genre musik punk memuat lirik-lirik yang sarat akan kritik sosial sehingga lambat laun punk menjadi suatu gerakan politik. Di Inggris, musik punk merupakan ekspresi kemarahan dan frustasi atas krisis kemunduran Inggris yang ditandai dengan meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan perubahan standar moral.[7]
Kemunculan punk di Inggris dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi, sehingga berbagai masalah timbul seperti pengangguran dan peningkatan kekerasan di jalanan. Widya G., dalam Punk: Ideologi yang Disalahpahami (2010), menyatakan sebagai berikut:
“Kondisi ini [krisis ekonomi] sangat terasa bagi kalangan kelas pekerja yang terpisah dari kehidupan sosial karena harus bekerja sepenuh waktu. Oleh sebab itu, generasi muda di Inggris khususnya yang berasal dari kalangan kelas pekerja, menjadikan punk sebuah wadah yang mewakili suara mereka. Punk menjadi sebuah terobosan dalam hal kebebasan berbicara bagi kaum muda kelas bawah yang jarang memiliki suara, baik secara budaya maupun politik”.[8]
“...Punk mencoba melihat dari sudut pandang lain dengan menciptakan lirik-lirik lagu berupa teriakan protes. Bukan hanya lirik tentang teriakan protes para demonstran terhadap kejamnya dunia, melainkan juga menceritakan rasa frustasi, kemarahan, dan kejenuhan yang semuanya berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran, serta represi aparat, pemerintah, dan figur penguasa terhadap rakyat”.[9]
Kemudian, berkenaan dengan penampilan eksentrik punk, hal itu sebenarnya merupakan bentuk protes mereka terhadap situasi dan kondisi sedang yang terjadi. Bagi mereka, setiap kekuasaan adalah penindas. Entah kekuasaan itu berada di kalangan elit, pemerintah-negara, Ormas, komunitas, dan sebagainya. Mereka menolak segala “otoritas” yang hegemonik dan opresif. Pandangan mereka memang lebih dekat dengan ideologi Anarkisme.[11] Tapi, tidak mungkin kita berpendapat bahwa punk adalah Anarkis. Namun, menurut saya, perspektif mereka memiliki kesamaan: menolak kemapanan. Jika menurut kita upaya “menyeragamkan” sesuatu yang plural adalah bentuk penindasan sistemik, lantas mengapa cara berpikir punk itu kita anggap sebagai “sampah”? Bukankah apa yang dilakukan punk itu sesuatu yang semestinya kita lakukan—menolak rezim kepastian dan kemapanan di berbagai sektor kehidupan?
Dari uraian singkat di atas, kita sekarang menjadi paham, bahwa punk bukan hanya soal penampilan, bukan hanya soal rambut mohawk, bukan melulu soal tatto, dan lain sebagainya. Punk merupakan cara berpikir (a way of thinking) dan jalan hidup (a way of life) dengan “cara lain” yang tidak dapat dilihat dalam satu lanskap, dan senantiasa dinamis. Sebagaimana yang ditulis Gerfried Ambrosch (2018):
“When punk started in the mid-1970s, no one really knew what it was or how to classify it. Not much has changed since then. Punk has never been a unified, cohesive community, and punk music is incredibly diverse. Different ideologies and artistic approaches have shaped, and continue to shape, the ever-changing face of punk. Almost by definition, punk is in a continuous state of flux”.[12]
Arus Media: Cacat Logika dan Penindasan Terhadap Punk di Banyuwangi
Seperti yang telah diuraikan di muka, bahwa media massa merupakan instrumen penting dalam kehidupan sosial. Mereka dapat membingkai suatu peristiwa dengan menggunakan beberapa sudut pandang, atau satu sisi, sedangkan sisi yang lain tidak dihadirkan—memang dalam dunia jurnalistik sering menggunakan strategi ini untuk menarik pembaca. Menentukan judul yang menarik, gambar yang unik, dan membangun narasi adalah beberapa strategi yang biasa dilakukan jurnalis. Demikian bisa kita lihat dalam berita tentang “punk” di Banyuwangi sejak awal tahun lalu.Masyarakat memiliki kecenderungan menerima informasi secara “gelondongan”, hanya membaca judul, atau melihat gambar belaka. Hal ini terjadi di sekeliling kita, terutama ketika melihat di kolom komentar yang mendiskreditkan “anak punk”. Tindakan semacam ini, jika kita cermati, merupakan hasil dari kecacatan logika (logical fallacy). Hanya membaca judul, atau isi berita semata, tanpa menelusuri lebih jauh duduk perkara, kemudian langsung memberi komentar peyoratif terhadap sesuatu. Kalau mereka menelisik lebih jauh, saya kira, komentar nyinyir kepada punk tidak akan terjadi. Jelas, dalam konteks ini, media massa berperan sebagai “penggiring opini” masyarakat. Dan celakanya, masyarakat kita terbawa arus yang diciptakan media tersebut.
Untuk melihat kecacatan logika netizen, dan menyingkap motif media massa di Banyuwangi (Bwi24jam, Radar Banyuwangi, Rubic News, dan seterusnya) itu, saya akan menunjukkan beberapa bukti kecacatan logika yang selama ini mereka gunakan dalam membaca konten media.[13]
Pertama, framing. Mengenai hal ini, sudah disinggung di atas. Hanya saja, saya akan mengulas kembali dan menunjukkan bagaimana media massa di Banyuwangi mem-framing anak punk. Media seperti Bwi24jam, Radar Banyuwangi, dan Rubic News tersebut membingkai istilah “punk” sebagai golongan anak muda yang melakukan kekerasan, amoral, meresahkan masyarakat, dan “mengganggu”. Radar Banyuwangi, misalnya, menulis judul “Anak Punk Bikin Kisruh dan Hajar Warga di traffic Light Lincing Rogojampi Banyuwangi” (20/2/2025), atau Bwi24jam dengan judul “Hindari Anak Punk, Truk Tronton Tabrak Pemotor di Glenmore Banyuwangi” (12/1/2025).
Tidak perlu membaca isi, dari judul berita saja sudah mendiskreditkan anak-anak punk. Sehingga berita itu akan menggiring opini masyarakat, bahwa “punk selalu bikin onar”, “punk identik dengan kekerasan”, “punk adalah segerombolan anak muda yang amoral”, dan seterusnya. Ya, memang, judul dalam menyajikan berita harus “menarik” (di dalam dunia jurnalisme), agar masyarakat mau membaca konten yang disajikan. Namun, untuk menarik pembaca, apakah harus dengan mengambinghitamkan punk? Saya kira, jurnalis tidak senaif itu. Kemudian, memberi komentar terhadap framing media semacam ini, tanpa menelisik lebih jauh istilah yang digunakan media, termasuk kecacatan logika. Ia termasuk ke dalam bias kognitif (cognitive bias).
Kedua, generalisasi. Kita sering kali terjebak ke dalam cara berpikir semacam ini: menyimpulkan sesuatu dengan dasar “sebagian”. Di dalam generalisasi terdapat istilah accident. Secara sederhana, accident merupakan kesalahan berpikir seseorang yang melakukan generalisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya menuntut ada pengecualian. Dengan kata lain, seseorang menganggap semua hal atau segala situasi adalah sama. Padahal, ada beberapa unsur yang harus dikecualikan. Galibnya, kita menyebutnya: pukul rata.
Dalam konteks pembahasan kita saat ini, masyarakat (dan jurnalis) memiliki pandangan bahwa anak-anak punk selalu membuat kerusuhan, bertindak vandalis, dan amoral. Hal ini disebabkan oleh, salah satunya, media yang mengabarkan satu-dua peristiwa yang dilakukan anak punk. Dan dari informasi itu, kemudian masyarakat menganggap “semua” anak punk demikian. Cara berpikir ini sangat membahayakan jika tetap dilestarikan. Padahal, tidak semua anak punk melakukan tindak kekerasan, meresahkan, dan mengganggu. Masih banyak anak punk di luar sana yang melakukan gerakan sosial, seperti: bersih-bersih pantai, bagi sayuran gratis, memberikan bantuan sosial berupa sembako kepada masyarakat yang membutuhkan, membuka lapak baca jalanan, ikut serta memperjuangkan tanah masyarakat yang dijarah penguasa, dan lain sebagainya.
Selain itu, mayoritas masyarakat dan media massa di Banyuwangi, kerap kali “salah sasaran” dalam melihat persoalan. Mereka hanya melihat “penampilan” pelaku, dan kemudian menyimpulkan bahwa setiap orang yang memakai baju hitam, celana sobek, bertatto, rambut berwarna, dan seterusnya, berarti “punk” (dalam kajian logika hal ini juga dikenal ad hominem). Padahal, seperti yang telah saya uraikan di bagian sebelumnya, punk bukan hanya soal penampilan, melainkan lebih luas dari itu. Punk adalah subkultur. Punk adalah ideologi anti-kemapanan. Punk adalah kritik sosial. Dan, sekali lagi, punk tidak mungkin dilihat dari satu lanskap yang sempit, karena punk tidak bersifat statis. Dari sini nampak jelas, bahwa media massa yang menyematkan kata “anak punk” di bagian judul dan konten mereka, adalah tindakan yang impulsif.
Ketiga, social proof. Cara berpikir yang tak kalah membahayakan ialah social proof atau juga disebut herd instinct (insting kerumunan). Kita dapat mengenali cara berpikir ini ketika pendapat atau tindakan seseorang didasarkan pada apa yang dianggap benar dan dilakukan oleh “kebanyakan orang”. Seolah-olah, segala sesuatu yang dianggap benar oleh masyarakat, berarti sebuah kebenaran. Jika menurut masyarakat pada umumnya, punk merupakan segerombolan anak muda yang bikin kisruh, amoral, dan identik dengan kekerasan, maka seseorang akan menganggap pandangan itu benar. Kemudian, pandangan umum itu akan digunakan untuk melihat dan menjustifikasi punk. Padahal, kita tahu, sesuatu yang dianggap benar oleh mayoritas masyarakat, belum tentu benar menurut kaidah-kaidah keilmuan. Justru hal tersebut perlu dibaca secara skeptis: apakah pandangan masyarakat itu benar sesuai kaidah logika? Apakah pandangan masyarakat tentang punk sudah proporsional? Apakah masyarakat memahami punk sebagai ideologi dan gerakan politik?
Jika pandangan umum (masyarakat) ini dijadikan premis, atau landasan untuk mengemukakan pendapat, maka akan menyebabkan bias pemahaman. Bagaimana mungkin kita menyimpulkan sesuatu dengan premis yang masih mengandung “kecacatan logis”. Selain itu, komentar yang dikemukakan seseorang dengan landasan itu, dengan sendirinya juga “cacat”. Sehingga, penyebutan “punk” oleh media massa, dan berbagai komentar peyoratif yang dikemukakan netizen adalah tindakan yang sama sekali tidak melalui proses penalaran yang sehat.
Dari ketiga hal di atas kita dapat membaca sesuatu yang tidak muncul di “permukaan”, yakni upaya stigmatisasi, marginalisasi, dan penindasan yang dilakukan oleh media massa terhadap punk di Banyuwangi. Lebih jauh, media massa juga memiliki peran dalam menghegemoni pandangan masyarakat terhadap punk. Sehingga di mata masyarakat, punk tidak lebih dari segerombolan anak muda yang meresahkan, membuat keonaran, kriminal, dan “kotor”. Padahal, jika kita menelusuri literatur, atau setidaknya mencari tahu tentang punk, maka pandangan kita akan lebih objektif ketika media massa menulis berita mengenai anak punk.
Kemudian, penindasan media massa terhadap punk ini bisa kita lihat dari judul berita yang disajikan. Ketika ada beberapa anak muda yang berada di jalanan dengan pakaian serba hitam, celana sobek-sobek, badan penuh tatto, rambut mohawk, dan memakai persing, media langsung menganggap mereka sebagai “punk”. Padahal, sekali lagi, punk tidak melulu soal penampilan. Seharusnya media massa menggunakan istilah yang lebih umum, misalnya: “anak jalanan”. Sehingga penindasan terhadap punk tidak akan terjadi, terutama di ranah media. Bagaimanapun, anak-anak punk juga “manusia” yang memiliki hak asasi. Mereka berhak merespon realitas sosial dengan “gaya” mereka sendiri—tanpa paksaan dan tekanan dari siapa pun.
Bagi saya, keberadaan punk justru menjadi salah satu elemen penting untuk menyeimbangkan kehidupan sosial kita. Mereka berani mengatakan kebenaran tanpa tedeng aling-aling. Tidak munafik. Apa adanya. Mereka selalu menentang kemunafikan, ketidakadilan, penindasan yang dilakukan oleh kekuasaan tertentu. Punk juga melawan segala hal yang “mapan” di tengah masyarakat. Karena kemapanan (politik, agama, budaya, dll.) dapat menyebabkan “bencana” yang tidak pernah kita inginkan, yang berpotensi melahirkan “penindasan” subtil, dan mengeliminasi suara-suara subaltern. Dengan ini saya sampaikan secara terbuka: saya bersama punk, dan jika keberpihakan saya ini membuat saya dicap sebagai punk, maka saya adalah punk!
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
Catatan Akhir
[1] Lihat definisi ini dalam Todd Gitlin, The Whole World Is Watching: Mass Media in the Making & Unmaking of the New Left (California: University of California Press, 1980), hal. 7
[2] Lihat Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 88
[3] Penyebutan media-media ini adalah pilihan saya pribadi dengan alasan bahwa media tersebut sering dijadikan rujukan, dan banyak mendapatkan respon dari masyarakat Banyuwangi. Setidaknya media yang saya sebutkan dapat mewakili media massa yang lain.
[4] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online): http://kbbi.web.id/punk (diakses 12/4/2025)
[5] Lihat Gerfried Ambrosch, The Poetry of Punk: The Meaning Behind Punk Rock and Hardcore Lyrics (New York: Routledge, 2018), hal. 8
[6] Lihat A.S. Van Dorston, A History of Punk, 20 Februari 1990 dalam https://fastnbulbous.com/punk/ (diakses 12/4/2025); atau lihat juga bagaimana kritik tajam terhadap musik punk dalam Sharon M. Hannon, Punks: A Guide To An American Subculture (Santa Barbara: Greenwood, 2009), terutama di bagian What Is Punk?
[7] Lihat Chris Barker & Emma A. Jane, Cultural Studies: Theory and Practice (New York: Sage, 2016), hal. 559
[8] Lihat Widya G., Punk: Ideologi yang Disalahpahami (Yogyakarta: Garasi, 2010), hal. 14
[9] Ibid, hal. 14-15
[10] Lihat Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (United Kingdom: Manchester University Press, 1984), terutama di bagian Appendix; Answering the Question: What Is Postmodernism?; dan bandingkan dengan; I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
[11] Beberapa pendapat memang mengaitkan punk dengan ideologi Anarkisme. Tapi pendapat itu masih bisa diperdebatkan, sebab di dalam punk sendiri terdapat berbagai macam aliran seperti skienhead, anarko-punk, dst. Sehingga kita tidak mungkin menggeneralisasi punk adalah Anarkis. Untuk memahami apa itu Anarkisme, buku yang menurut saya mudah dibaca: Alexander Berkman, ABC Anarkisme: Anarkisme untuk Pemula (n.d: Daun Malam, 2017).
[12] Gerfried Ambrosch, The Poetry of Punk..,hal. 5
[13] Beberapa kecacatan logika ini saya ambil dari; Fahruddin Faiz, Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika (Yogyakarta: MJS Press, 2020): framing (hal. 31), generalisasi (hal. 153), dan social proof (hal. 99)
[1] Lihat definisi ini dalam Todd Gitlin, The Whole World Is Watching: Mass Media in the Making & Unmaking of the New Left (California: University of California Press, 1980), hal. 7
[2] Lihat Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 88
[3] Penyebutan media-media ini adalah pilihan saya pribadi dengan alasan bahwa media tersebut sering dijadikan rujukan, dan banyak mendapatkan respon dari masyarakat Banyuwangi. Setidaknya media yang saya sebutkan dapat mewakili media massa yang lain.
[4] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online): http://kbbi.web.id/punk (diakses 12/4/2025)
[5] Lihat Gerfried Ambrosch, The Poetry of Punk: The Meaning Behind Punk Rock and Hardcore Lyrics (New York: Routledge, 2018), hal. 8
[6] Lihat A.S. Van Dorston, A History of Punk, 20 Februari 1990 dalam https://fastnbulbous.com/punk/ (diakses 12/4/2025); atau lihat juga bagaimana kritik tajam terhadap musik punk dalam Sharon M. Hannon, Punks: A Guide To An American Subculture (Santa Barbara: Greenwood, 2009), terutama di bagian What Is Punk?
[7] Lihat Chris Barker & Emma A. Jane, Cultural Studies: Theory and Practice (New York: Sage, 2016), hal. 559
[8] Lihat Widya G., Punk: Ideologi yang Disalahpahami (Yogyakarta: Garasi, 2010), hal. 14
[9] Ibid, hal. 14-15
[10] Lihat Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (United Kingdom: Manchester University Press, 1984), terutama di bagian Appendix; Answering the Question: What Is Postmodernism?; dan bandingkan dengan; I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
[11] Beberapa pendapat memang mengaitkan punk dengan ideologi Anarkisme. Tapi pendapat itu masih bisa diperdebatkan, sebab di dalam punk sendiri terdapat berbagai macam aliran seperti skienhead, anarko-punk, dst. Sehingga kita tidak mungkin menggeneralisasi punk adalah Anarkis. Untuk memahami apa itu Anarkisme, buku yang menurut saya mudah dibaca: Alexander Berkman, ABC Anarkisme: Anarkisme untuk Pemula (n.d: Daun Malam, 2017).
[12] Gerfried Ambrosch, The Poetry of Punk..,hal. 5
[13] Beberapa kecacatan logika ini saya ambil dari; Fahruddin Faiz, Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika (Yogyakarta: MJS Press, 2020): framing (hal. 31), generalisasi (hal. 153), dan social proof (hal. 99)
Posting Komentar