Sebagaimana yang dialami Mbah Adi Sucipto, seorang pengamen penari Gandrung, yang beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik, terutama di Banyuwangi. Di saat Mbah Cip (sapaan akrab) sedang asyik menari untuk menghibur alam semesta, ia tiba-tiba ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pada Rabu (16/4) lalu. Kemudian ia dibawa ke Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana (Dinsos-PPKB) dan juga berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi. Penertiban Mbah Cip itu lantaran dua alasan: Pertama, dianggap meresahkan pengguna jalan dan ketertiban umum. Kedua, penggunaan kostum tari khas Banyuwangi, Gandrung.
Berkenaan dengan aturan yang dijadikan landasan hukum penertiban Mbah Cip di Simpang Empat Cungking itu, sebelumnya sudah saya analisis dalam tulisan: “Pengamen, Hukum, dan Kebudayaan” (Times Indonesia, 2025). Konklusi dari analisis yuridis yang saya lakukan, menunjukkan ada suatu “inkonsistensi hukum” dalam pemberlakuan Perbup Banyuwangi No. 5 Tahun 2013 dan Perda Banyuwangi No. 11 Tahun 2014, khususnya tentang pelarangan mengamen. Selain itu, saya juga melihat dari sudut kebudayaan yang menganggap bahwa Mbah Cip juga dapat disebut pelestari budaya Banyuwangi. Dua hal itulah yang menjadi poin dalam tulisan saya sebelumnya.
Namun, setelah saya menulis fenomena yang menghebohkan Bumi Blambangan itu, saya dikirimi sebuah tulisan yang juga mengomentari hal serupa—dengan perspektif yang berbeda—via WhatsApp. Ternyata sebuah opini yang ditulis jurnalis nomor wahid di Banyuwangi, Samsudin Adlawi, di kolom Man Nahnu bertajuk: Marwah Gandrung. Nama Pak Samsudin Adlawi (selanjutnya ditulis Pak Samsudin) memang cukup familiar di kalangan jurnalis ujung timur Jawa. Ia adalah dedengkot-e (baca: Direktur) Jawa Pos Radar Banyuwangi dan seorang penulis. Ia juga telah meluncurkan beberapa buku, di antaranya: Jejak Rasa The Sunrise of Java (2017), Makan Kapal Selam (2020), Man Nahnu 1-5, dan lain-lain.
Membaca komentar Pak Samsudin, saya menemukan beberapa hal yang perlu ditelaah lebih lanjut. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud untuk membaca ulang tulisan “Marwah Gandrung”-nya Pak Samsudin yang disajikan dalam Man Nahnu (369) pada Rabu (23/4) di Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa). Pembacaan yang saya lakukan, bertolak dari dua hal: memahami “posisi” Pak Samsudin di Banyuwangi dan membaca secara kritis komentar Pak Samsudin terhadap fenomena pengamen penari Gandrung.
Samsudin Adlawi: Penulis Andalan Pendopo
Siapa yang tak kenal Samsudin Adwali. Namanya mentereng di Banyuwangi, khususnya di kalangan jurnalis. Pak Samsudin lahir pada 1970 di Banyuwangi. Ia alumni IKIP Malang (sekarang Univeritas Malang, UM) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab. Selain itu, ia juga merupakan pegiat Senantiasa Lestarikan Sastra (SELASA). Seorang Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) tahun 2015-2019 dan Ketua Dewan Pengarah DKB periode 2019-2024.
Kemudian, selain menjadi Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa), sampai sekarang ia aktif menulis di Man Nahnu (JP-RaBa), Akhir Pekan (Jawa Pos), dan kolom Bahasa di Majalah Tempo. Berbagai kumpulan tulisan di kolom Man Nahnu itu, kemudian ia terbitkan menjadi buku. Misalnya, Rebound Total: Man Nahnu 4. Dari judul buku yang ia terbitkan pada tahun 2023 itu, kita sudah bisa menebak bahwa buku itu ditujukan untuk mendukung dan memberi masukan terhadap program Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi pada tahun 2022 lalu dalam menangani Covid-19: Banyuwangi Rebound.
Karena buku itulah, kemudian Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, memberikan apresiasi positif terhadap Pak Samsudin. “Saya sangat berterimakasih atas masukan-masukan konstruktif yang diberikan oleh Pak Samsudin ataupun pihak-pihak lain. Tak sedikit masukan yang kami terima kemudian menjadi bahan untuk kita kerjakan ataupun menyempurnakan yang telah ada,” kata Ibu Ipuk saat memberi sambutan acara Bedah Buku “Rebound Total” di Pendopo Sabha Swagata Blambangan (dilansir dari Detikjatim).
Sementara, kedekatakan Pak Samsudin dengan Bupati Ipuk Fiestiandani bisa dianggap cukup intens, bahkan acap kali ia berdiskusi dengan orang nomor satu di Banyuwangi itu, sehingga hal itu menjadi inspirasi tulisan-tulisannya. “Seperti halnya saat berdiskusi dengan Bupati dan lainnya. Ini menjadi inspirasi untuk menulis,” ungkap penulis Man Nahnu itu. Lebih jauh, Pak Samsudin ternyata tidak hanya sering mendapatkan ungkapan apresiatif belaka, tapi juga seonggok penghargaan sebagai “tokoh inspiratif” di Banyuwangi, di antaranya: Tokoh Inspirator Pengembangan Budaya Daerah Banyuwangi (dari Pemkab Banyuwangi, 2011), Tokoh Pendorong Perkembangan Sastra Indonesia Modern di Banyuwangi (Hasnan Singodimayan Centre, 2012), Penghargaan Pencipta Tagline the Sunrise of Java (dari Pemkab Banyuwangi, 2025), dan lain sebagainya.
Penghargaan Pak Samsudin di atas, dua di antaranya, dari Pemkab Banyuwangi. Hal itu sudah menunjukkan bahwa ia “dekat” dengan orang-orang Pendopo. Sudah bukan lagi rahasia umum, bahwa orang yang mendapatkan sebuah penghargaan dari Bupati, berarti mereka berhubungan baik, atau keberadaan mereka tidak begitu “membahayakan” bagi kekuasaan Pendopo. Dan apa yang dilakukan Pak Samsudin, terutama dengan tulisan dan buku-bukunya, tampak sekali “membantu” perjalanan Pemkab Banyuwangi. Maka tak ayal, jika buku Man Nahnu (1-5) karya Pak Samsudin, mendapat apresiasi tinggi dari Bupati. Ya, karena sekali lagi, tulisan-tulisan Pak Samsudin sama sekali tidak membahayakan kekuasaan Pendopo, dan mendukung status quo.
Dengan demikian, hal yang ingin saya katakan dalam bagian ini: Pak Samsudin adalah orang yang dekat atau bahkan berada di lingkaran Pendopo. Sehingga semua pandangan dan tulisan-tulisannya tak lebih dari sekedar bentuk “apresiasi” atau legitimasi atas segala hal yang dicanangkan kekuasaan. Hal ini dapat kita lihat dari buku Man Nahnu (1-5) dan penghargaan yang diperoleh Pak Samsudin dari Pemkab Banyuwangi. Maka, menurut saya, tidak berlebihan jika menyebut Pak Samsudin sebagai “penulis andalan Pendopo”.
Setelah mengetahui di mana “posisi” Pak Samsudin, alhasil kita dapat memahami nalar yang digunakan Pak Samsudin dan “untuk siapa” tulisan-tulisan yang ia buat. Sebagaimana yang dikemukakan Michel Pecheux dalam Language, Semantics, and Ideology (1982: 133), bahwa pengetahuan seseorang atau kelompok tertentu, merupakan hasil dari diskursus basis sosial dan lingkungan (kelas) orang tersebut. Dengan kata lain, pemikiran seseorang adalah representasi dari kelompok sosial, ideologi politik, dan jaringan kuasa. Dalam hal ini, nampak jelas bagi kita, bahwa Pak Samsudin berada di “lingkaran” Pendopo—seperti yang telah saya uraikan di atas.
Sehingga kita dapat mengidentifikasi “nalar” yang digunakan Pak Samsudin, yakni nalar borjuis. Sebab, ia berada di lingkaran Pendopo, maka setiap pandangan dan berbagai tulisan Pak Samsudin tidak lain merupakan “corong” yang berasal dari Pendopo. Setiap ada fenomena yang terjadi, terutama di Banyuwangi, ia menggunakan nalar borjuistik itu. Dan tidak mengherankan, jika tulisan-tulisan Pak Samsudin bercorak borjuistik. Meski saat kita membaca tulisan Pak Samsudin terkesan “kritis”, tapi lagi-lagi, corak kritisisme dalam tulisan Pak Samsudin tidak akan memberi efek apa pun terhadap kekuasaan Pendopo.
Wa Ba’du: Kritik Pandangan Pak Samsudin dalam “Marwah Gandrung”
Fenomena Mbah Cip yang menari-nari di pinggir jalan mendapatkan respon dari berbagai kalangan. Tidak sedikit yang sepakat, pun juga yang “merasa risih” dengan apa yang dilakukan warga asal Giri, Banyuwangi itu. Beragam respon yang muncul, tentu, melalui proses pembacaan yang berbeda pula. Atau, dapat kita katakan: nalar yang digunakan tidak tunggal. Respon terhadap pengamen penari Gandrung itu, salah satunya, dikemukakan oleh Pak Samsudin Adlawi. Dalam tulisan “Marwah Gandrung” yang ditulis di kolom Man Nahnu, selain mengomentari Mbah Cip, ia juga membubuhkan polemik Mbak Dela Poyz yang sempat menghebohkan khalayak pada Februari lalu.
Mengenai tulisan Pak Samsudin yang terbit pada Rabu (23/4) itu, ada beberapa hal yang perlu ditelaah lebih lanjut, antara lain: sakralitas tari Gandrung, ruang untuk penari Gandrung, dan tentang seniman-aktivis Gandrung. Ketiga hal inilah yang akan saya soroti sebagai upaya menunjukkan “nalar borjuistik” yang digunakan Pak Samsudin dalam menyikapi fenomena Mbah Cip.
Pertama, nilai sakral tari Gandrung. Dalam masalah semacam ini, hal yang senantiasa menjadi sorotan pertama kali ialah nilai sakral yang terkandung dalam kebudayaan. Tari Gandrung, dalam pandangan masyarakat Banyuwangi, memiliki nilai luhur, filosofis, dan sarat akan nuansa perjuangan. Demikian adalah sesuatu yang maklum, sebab memang dalam kehidupan manusia terbagi dalam dua wilayah: sakral dan profan. Dalam The Sacred and The Profane (1987: 10), Mircea Eliade menyebut sakral sebagai wilayah yang supranatural, transenden, dan memuat nilai-nilai luhur. Sedang profan merupakan wilayah kehidupan sehari-hari, yang bersifat dinamis. Dalam wilayah tertentu, terdapat nilai-nilai luhur yang dihormati, disucikan, dan dianggap memiliki nilai magis dalam kehidupan. Selain wilayah itu, berarti bersifat profan. Wilayah ini tidak suci, tidak sakral, dan bisa berubah sesuai perkembangan zaman.
Tari Gandrung juga mengandung nilai-nilai sakral, baik kostum maupun gerakan tarinya. Namun, menurut Pak Samsudin, apa yang dilakukan Mbah Cip justru melecehkan sakralitas tari Gandrung khas Banyuwangi. Ia menyatakan sebagai berikut:
“Tujuan baik menjadi tidak baik bila dilakukan di tempat tidak baik. Apalagi juga dilakukan dengan cara tidak baik. Langkah Mbah Cip memopulerkan tarian gandrung sangat baik. Patut dipuji. Namun, mengenalkan gandrung lewat cara mengamen dianggap malah melecehkan tari sakral warisan suku Oseng.”
Tidak sepakat dengan mengamen karena dilarang (dalam Perbup dan Perda), tidak masalah. Saya masih bisa menerima. Tapi, hanya melihat Mbah Cip sebagai “pengamen” dan mengenalkan Gandrung dengan cara itu, tanpa melibatkan sisi yang lain, adalah cara pandang yang sempit. Saya justru melihat Mbah Cip itu sebagai seorang pelestari budaya, bukan pengamen. Ihwal Mbah Cip diberi uang atas apa yang ia lakukan, itu serupa “bonus”. Bahkan, Mbah Cip merawat “marwah” Gandrung: mengembalikan Gandrung dekat dengan masyarakat, bersifat populis, dan “hidup” di tengah kehidupan masyarakat.
Bukankah demikian esensi kebudayaan? Ia “hidup” dan “menghidupi” manusia, meski modernitas melanda Bumi Blambangan. Meski budaya kapitalistik mendominasi. Dan, menjadi counter terhadap upaya kekuasaan meletakkan Gandrung ke dalam industri kebudayaan (culture industry). Nicholas Garnham, dalam On The Cultural Industries (1997), menyatakan bahwa industri budaya adalah institusi-institusi dalam masyarakat yang memproduksi dan menyebarkan simbol-simbol budaya sebagai suatu komoditas. Sehingga, industri budaya itu bermaksud menarik minat publik sebagai konsumen komoditas.
Kalau Mbah Cip dianggap “melecehkan” nilai sakral tari Gandrung, bagaimana dengan festival Gandrung Sewu yang dihelat Pemkab Banyuwangi itu? Bukankah demikian adalah contoh nyata dari industri kebudayaan—yang menempatkan budaya sebagai komoditas dagang? Berapa banyak keuntungan yang diraup Pemkab Banyuwangi dan budayawan borjuis dari festival itu? Sudah pasti, Pak Samsudin tidak mungkin “berani” membongkar kedok industi budaya Gandrung ini, karena ia berada di lingkaran Pendopo. Ia adalah penulis andalan Pendopo.
Kedua, elitisasi ruang Gandrung. Selain nilai sakral, Gandrung juga memiliki “ruang” untuk mengekspresikan diri dan menandaskan identitas budaya. Kemudian, sesuai catatan sejarah, Gandrung menjadi kesenian yang lahir dari kancah perjuangan masyarakat Blambangan ketika melawan penjajah. Hal ini dikemas secara apik oleh Eko Budi Setianto dan Lilik Subari dalam Jejak Gandrung Banyuwangi (2024: 22). Kala itu, kesenian Gandrung berkeliling dari kampung ke kampung untuk mendeteksi dan mencari warga yang terdampak oleh Perang Bayu (1771-1773). Kelompok kesenian Gandrung itu kemudian menyamar menjadi “pengamen” untuk memenuhi kebutuhan logistik.
Sedangkan, dari syair-syair gendhing yang dilantunkan oleh seorang Gandrung, memuat pesan-pesan perjuangan yang berada di pelosok desa. Bahkan, para Gandrung kala itu mampu menjadi telik sandi untuk mengetahui kekuatan musuh. Gendhing itu kemudian ditafsiri oleh beberapa budayawan sehingga melahirkan wacana: Gandrung merupakan sebuah kesenian yang berfungsi sebagai alat perjuangan melawan Belanda. Dari penelusuran sepintas lalu ini, ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi: tari Gandrung itu merakyat dan menjadi alat perjuangan rakyat Blambangan.
Kita akan menemukan pandangan yang lain ketika membaca tulisan Pak Samsudin. Menurutnya, Gandrung itu tarian terhormat, oleh karena itulah kemudian tari Gandrung ditetapkan sebagai “tari pembuka” acara seremonial pemerintahan. Ia menulis sebagai berikut:
“..Marwah Gandrung harus dijaga. Gandrung itu tarian terhormat. Makanya, tari gandrung ditetapkan sebagai tari pembuka acara seremonial pemerintahan. Sebagai tari penyambutan tamu-tamu kehormatan. Tarian gandrung tempatnya bukan di pinggir jalan. Di dekat traffic light. Melainkan di panggung-panggung khusus. Di pendapa kabupaten, misalnya. Di acara-acara resmi.”
Dari uraian di atas nampak jelas bagaimana Pak Samsudin menghendaki sifat elitis tari Gandrung. Dengan menghadirkan “ketetapan” (ketetapan siapa?) sebagai tari pembuka acara seremonial pemerintahan. Hal ini merupakan upaya elitisasi kesenian Gandrung yang berpotensi menciptakan jurang pemisah antara Gandrung dan masyarakat. Padahal, sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa tari Gandrung itu merakyat, membumi, dan “hidup” di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin, seorang yang kecelok budayawan sekaliber Pak Samsudin, justru menghendaki elitisasi Gandrung. Bukankah demikian justru melecehkan nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian Gandrung, dan menginjak-injak “marwah” Gandrung itu sendiri?
Selain upaya elitisasi itu, Pak Samsudin mengaburkan sifat perlawanan, pemberontakan, atau perjuangan Gandrung. Mengenai persoalan Mbah Cip, bukankah dalam hal ini, ia juga telah melakukan perlawanan, yakni dengan melawan sikap taklid kepada nasib, memberontak kepada elitisasi Gandrung, dan sedang berjuang mengembalikan marwah Gandrung yang sesungguhnya. Lebih jauh, tindakan Mbah Cip itu dapat dipandang sebagai usaha untuk membongkar sentralisasi “ruang” Gandrung yang terlampau elitis-borjuistik, sehingga kemudian Gandrung berada dalam ruang-ruang populis.
Sudah barang tentu, budayawan borjuis seperti Pak Samsudin itu tidak akan membaca fenomena Mbah Cip seperti yang saya lakukan. Karena perspektif semacam ini tidak akan “menyenangkan” kekuasaan, dan justru akan mengancam “posisi” Pak Samsudin.
Ketiga, seniman dan aktivis Gandrung yang risih. Dalam tulisan Pak Samsudin, beberapa kali ia menyebut “seniman” dan “aktivis Gandrung”. Mereka merasa risih dengan apa yang dilakukan Mbah Cip di Simpang Empat Cungking itu. Keberadaan orang seperti Mbah Cip, sebagaimana yang juga dialami Mbak Dela Poyz, membuat “kemapanan” kebudayaan mereka terganggu. Hal itu digambarkan Pak Samsudin sebagai berikut:
“Sejumlah seniman, terutama aktivis Gandrung, merasa risih. Mereka mengatakan, marwah Gandrung harus dijaga..”
Hal yang perlu kita telisik lebih jauh ialah, siapa “seniman” dan “aktivis Gandrung” yang dimaksud Pak Samsudin itu? Apakah mereka memiliki otoritas atas kesenian Gandrung? Mengapa mereka justru merasa “risih” dengan seorang pengamen? Ada apa di balik pendapat para seniman dan aktivis Gandrung yang dimaksud Pak Samsudin? Beberapa pertanyaan inilah yang perlu menjadi sorotan kita bersama.
Mengenai siapa seniman dan aktivis Gandrung yang menghendaki elitisasi tari Gandrung dan menganggap bahwa jalanan bukan tempat Gandrung tersebut, menurut saya, adalah para seniman atau budayawan yang berada di lingkaran Pendopo. Mereka adalah budayawan borjuis, di mana pandangan kebudayaan mereka cenderung memihak kekuasaan, bukan masyararakat. Hal itu tampak jelas dari penutup tulisan Pak Samsudin yang mempertanyakan: “Kapan Mbah Cip layak dikasih kesempatan menari di panggung-panggung terhormat itu (?)”
Dengan demikian, para seniman dan budayawan yang disebut Pak Samsudin tetap menginginkan tari Gandrung dilakukan di gedung mewah, acara terhormat, atau di depan kaum elit. Maka dari sini jelas, bahwa “seniman” dan “aktivis Gandrung” yang dimaksud Pak Samsudin adalah seniman dan aktivis Gandrung borjuis. Mereka termasuk dari kalangan Pak Samsudin. Selain itu, berkenaan dengan perasaan yang dialami seniman borjuis dan maksud di balik pendapat mereka, kita dapat mengatakan: karena mereka tidak mau Gandrung dibawa ke wilayah populis. Bagi seniman atau budayawan borjuis, ketika tari Gandrung berada di tengah kehidupan masyarakat, tentu tidak akan menguntungkan mereka. Lebih baik, menurut budayawan borjuis, tarian Gandrung itu dijadikan penyambut para tamu seperti kaum elit, pengusaha, warga asing, politisi, dan seterusnya, daripada dilakukan di pinggir jalan.
Padahal, Gandrung sudah semestinya berada sangat dekat dengan masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan menghibur masyarakat. Bukan malah menjadi hiburan para penguasa semata. Gandrung milik semua, dan untuk semua. Gandrung adalah kesenian yang egaliter, populis, dan inklusif. Ia tidak boleh hanya dijadikan tontonan dan penyambut acara yang justru menginjak-injak nilai luhur Gandrung. Tarian khas Bumi Blambangan itu juga hiburan rakyat, bukan hanya hiburan kaum elit. Dan Mbah Cip adalah seseorang yang berusaha mengembalikan “marwah” Gandrung yang kian hari kian merosot oleh “tangan-tangan” bengis kekuasaan Pendopo dan pandangan elitis budayawan borjuis seperti Pak Samsudin itu. Singkat saja. Dengan ini saya nyatakan secara terbuka: saya membela Mbah Cip!
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
Bacaan Lanjut
Adlawi, Samsudin, Reboun Total: Man Nahnu 4. Banyuwangi: Radar Banyuwangi, 2023
Eliade, Mircea, The Sacred and The Profane. New York: A Harvest Book, 1987
Garnham, Nicholas, “On The Cultural Industries”, Media, Culture, & Society. Vol. 19, No. 4 (1997)
Pecheux, Michel, Language, Semantics, and Ideology. New York: St. Martin's Press, 1982
Setianto, Budi Eko & Subari, Lilik, Jejak Gandrung Banyuwangi. Sidoarjo: Penerbit Pijar, 2024
Posting Komentar