BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Membangun Lingkungan Belajar Yang Positif, Menghindari Praktik “Ngrasani” di Lingkungan Sekolah

Pena Laut -
Lingkungan sebagai sumber belajar, sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Perkembangan fisik, sosial, emosi, dan intelektual anak juga berpacu pada proses interaksi dengan lingkungan sekitar. Sehingga Guru (pendidik) memanfaatkan sumber daya yang terdapat di sekolah dan lingkungan sekitar untuk menunjang proses pembelajaran, seperti melaksanakan proses belajar mengajar kepada siswa, serta melakukan kerjasama dengan Guru dan Kepala sekolah.
 
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), lingkungan juga bisa diartikan sebagai bulatan yang melingkari (melingkungi), diantaranya ada istilah circle, area, surroundings, sphere, domain, range, dan environment yang artinya berkaitan dengan keadaan atau segala sesuatu yang ada di sekitar atau sekeliling. Jadi hal ini merupakan kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia (siswa,guru,dll.) dan bentuk perilakunya serta makhluk hidup lainnya.
 
Guru juga harus menyadari bahwa anak-anak juga mengamati lingkungan di sekolah, artinya belajar tidak hanya terjadi di ruangan kelas saja, namun juga dalam hal ini mereka mengamati lingkungan sebagai sumber belajarnya yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik, keterampilan sosial dan budaya, perkembangan emosional, serta intelektual. Hal semacam ini harus menjadi kesadaran bersama, bahwa etika siswa juga tak luput dari etika gurunya. Meski “ngrasani” tidak bisa dihindari dengan kesadaran bersama, ini diharapkan dihilangkan dari lingkungan pendidikan karena itu menunjukkan sikap tidak adanya etika meski dia seorang pendidik sekalipun.

Guru memiliki kode etik yang tertulis pada UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru Pasal 1 bagaimana seorang guru yang professional dan beretika harus dapat menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia dan bermartabat yang dilindungi undang-undang. Disamping itu, bagaimana sikap guru terhadap peraturan perundang-undangan yang wajib ditaati oleh guru, sebab guru merupakan unsur aparatur negara dan abdi negara mutlak perlu mematuhi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Maka tugas guru akan efektif jika memiliki derajat profesionalitas tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan menjaga lisan, atau ketrampilan yang memenuhi standart mutu atau norma etik tertentu.
 
Pada dasarnya pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu menguatkan dimensi spiritualnya, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan. Oleh karena itu, masalah pendidikan perlu mendapat perhatian dan penanganan yang lebih baik yang menyangkut berbagai masalah yang berkaitan dengan kuantitas, kualitas dan relevansinya.
 
Jika kita melihat isi buku ciptaan Parker J. Palmer dengan judul The Courage to Teach, di situ sudah banyak disebutkan berbagai aspek emosional dan spiritual dari profesi mengajar seorang guru bergantung pada kepribadian dan integritas mereka. Palmer mengajak para pendidik untuk mengeksplorasi kehidupan batin mereka. Namun, fakta yang terjadi di lembaga-lembaga banyak pegawai ketika tidak mengajar (jam istirahat) menghasilkan obrolan sesuatu yang kurang bermanfaat, padahal itu bisa digunakan sebagai waktu pendekatan kita kepada siswa dan mengawasi siswa ketika bermain agar tidak terjadi bullying, dll. Sehingga tercipta lingkungan yang kondusif di sekolah.
 
Lalu pertanyaannya, apa faktor-faktor yang mendorong guru untuk terlibat “ngrasani” di lingkungan sekolah? Bagaimana “ngrasani” mempengaruhi persepsi siwa terhadap guru? Bila ngrasani sudah menjadi kebiasaan, bukankah akan membawa dampak negatif terhadap suasana kerja di sekolah? Ada yang mengkaji pada The Impact of Gossip on Workplace Culture menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan kerja seperti penurunan moral, peningkatan stress, dan dampak kinerja pada siswa.

Fenomena “ngrasani” dilingkungan pendidikan harus segera ditindak lanjuti. Budaya sekolah yang positif dapat memberikan wawasan tentang bagaimana menciptakan lingkungan yang mendukung, yang berkolaborasi dan berkomunikasi yang sehat dapat mengurangi “ngrasani”. Sehingga menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif, pengajaran berkualitas, siswa merasa aman dan dihargai.


Oleh: Nur Elisa A.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak