BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Krisis Kebebasan Pers: Antara Janji dan Realitas di Bawah Pemerintahan Prabowo

Pena Laut -
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar fundamental dalam sebuah demokrasi yang sehat. Di Indonesia, kebebasan pers dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kebebasan pers menjadi salah satu pilar utama. Konsep kebebasan pers mencakup hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi tanpa adanya tekanan atau sensor dari pemerintah.

Kebebasan pers berfungsi sebagai pengawas terhadap kekuasaan, memberikan kritik dan kontrol terhadap tindakan pemerintah. Media yang bebas memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang, sehingga meningkatkan partisipasi publik dalam proses demokrasi. Dalam konteks ini, pers sering disebut sebagai "pilar keempat" demokrasi, yang melengkapi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun, di era kepemimpinan Prabowo Subianto, kebebasan ini tampaknya berada dalam posisi yang rentan. Kasus teror terbaru terhadap media Tempo, termasuk pengiriman kepala babi dan bangkai tikus (Maret, 2025), mencerminkan ancaman nyata terhadap jurnalis yang menjalankan tugas mereka. Insiden ini bukan hanya sekadar tindakan kriminal, tetapi juga sinyal bahwa lingkungan kerja bagi jurnalis semakin berbahaya.

Prabowo, dalam berbagai pernyataannya, menegaskan komitmennya terhadap kebebasan pers. Ia menyatakan bahwa di bawah pemerintahannya tidak akan ada penyensoran atau pembredelan media. Namun, pernyataan ini tampak bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapi oleh jurnalis saat ini. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) bahkan mendesak Prabowo untuk menunjukkan sikap konkret terhadap kebebasan pers, menilai bahwa tindakan teror tersebut merupakan ujian bagi pemerintahan baru untuk membuktikan apakah mereka benar-benar pro kebebasan pers atau tidak.

Dalam konteks ini, pernyataan Prabowo mengenai pentingnya kebebasan pers harus diiringi dengan tanggung jawab besar terhadap kepentingan bangsa dan negara menjadi sangat relevan. Ia mengingatkan insan pers untuk waspada terhadap penyebaran berita hoaks dan pengaruh modal besar yang dapat mengendalikan opini publik. Namun, peringatan ini bisa menjadi pedang bermata dua; di satu sisi, ia mengajak jurnalis untuk bertanggung jawab, tetapi di sisi lain, dapat dimaknai sebagai upaya untuk membatasi ruang gerak mereka dalam menyampaikan kebenaran.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa banyak jurnalis merasa terancam dalam menjalankan tugas mereka. Dalam rentang waktu Januari hingga Maret 2025, tercatat 30 kasus kekerasan terhadap wartawan, sebagian besar dilakukan oleh institusi negara seperti TNI dan Polri. Beberapa contoh kasus kekerasan terhadap wartawan akhir-akhir ini, antara lain:

- Pembunuhan Juwita, seorang jurnalis dari Newsway.co.id pada (22/03/2025)

- Penemuan seorang wartawan dari portal berita Insulteng.id yang tewas di Hotel D'Paragon Jakarta pada (04/04/2025)

- Insiden wartawan foto yang dipukul saat meliput di Stasiun Semarang oleh pengawal pribadi Kapolri pada (05/04/2025)

Jelas bahwa situasi bagi jurnalis semakin memburuk. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada klaim tentang perlindungan kebebasan pers, tindakan nyata yang diperlukan untuk melindungi jurnalis masih sangat kurang.

Berdasarkan data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2021, tercatat sebanyak 41 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka ini meningkat menjadi 61 kasus pada tahun 2022, menunjukkan lonjakan signifikan dalam kekerasan terhadap jurnalis. Selanjutnya, pada tahun 2023, jumlah kasus kekerasan meningkat lagi menjadi 87 kasus.

Meskipun terdapat sedikit penurunan pada tahun 2024, di mana AJI mencatat 73 kasus kekerasan, kualitas kekerasan yang terjadi lebih berat. Dalam rincian jenis kekerasan pada tahun tersebut, terdapat 20 kasus kekerasan fisik, 14 kasus teror dan intimidasi, serta 9 kasus pelarangan liputan dan ancaman. Pelaku utama dalam kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2024 adalah polisi dengan 19 kasus, diikuti oleh TNI dengan 11 kasus, dan warga/ormas dengan 11 kasus.

Dalam sidang kabinet paripurna pada (22/01/2025), Prabowo mengibaratkan hubungan antara jurnalis dan pejabat publik seperti hubungan antara anak dan orang tua, yang memicu kemarahan di kalangan pers. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mengkritik keras pernyataan Presiden Prabowo Subianto dan menyatakan bahwa pernyataan tersebut merendahkan posisi jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi dan mengabaikan hak atas informasi.

Berdasarkan data dari Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) juga menunjukkan tren penurunan. Pada tahun 2024, IKP Indonesia mencapai 69,36, turun dari 71,57 pada tahun 2023 dan jauh dari puncaknya di 77,88 pada tahun 2022. Penurunan ini mengindikasikan bahwa kondisi kebebasan pers di Indonesia semakin rentan, dengan berbagai faktor seperti lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang semakin menekan.
 
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis dan aktif dalam memperjuangkan kebebasan pers, serta mendorong pemerintah untuk memenuhi janji-janji mereka. Hanya dengan menjamin kebebasan pers yang nyata, kita dapat memastikan bahwa informasi yang akurat dan berimbang dapat sampai kepada publik, serta menjaga demokrasi Indonesia tetap hidup dan berkembang.

Kebebasan pers bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab masyarakat untuk memastikan bahwa jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut. Hanya dengan cara ini kita dapat menjaga demokrasi dan memastikan bahwa informasi yang akurat dan berimbang dapat sampai kepada publik.


Oleh: Fawaid Abdullah A.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak