Raden Ajeng Kartini, yang lahir pada 21 April 1879 dan wafat 17 September 1904 adalah puteri kedua dari Raden Mas Adipati Ario Samingun Sosroningrat, bupati Jepara almarhum (1880-1905). Dilahirkan di Majong, kabupaten Jepara, ketika ayahnya menjabat wedana di tempat tersebut dari ibu Mas Ajeng Ngasirah, puteri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Madirono, guru dan ahli kebatinan dari pesantren di desa Teluk Awur, Jepara. Beliau adik kandung alm. Drs. RMP. Sosrokartono (10 April 1877—8 Februari 1952), seorang "dokter ajaib" yang termasyhur di Bandung.
Pelopor Kemajuan Wanita
Kita menghargai semangat dan cita-citanya. Kartini dianggap sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia, yang perlu kita renungkan bagaimana kehidupan pendekar wanita ini di zamannya. Beliau seorang wanita berasal dari kalangan bangsawan, yang sejak kecil dikungkung dalam gedung yang megah dan agung di halaman luas serta dikelilingi tembok batu bata nan anggun, dilayani oleh dayang-dayang yang cukup banyak. Menurut ukuran zamannya sudah mempunyai alam pikiran yang cukup maju, terutama yang mengenai nasib kaum wanita.Kartini hidup dalam lingkungan bangsawan feodal tinggi yang sesungguhnya tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan cita-citanya yang luhur dan demokratis. Meski ayah dan saudara-saudara ayah Kartini terkenal sebagai bupati-bupati yang berpikiran maju bagi zamannya, namun adat istiadat dan tata cara hidup masyarakat feodal masih cukup keras dipertahankan. Masih untung Kartini diizinkan memasuki Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School) yang ada di Jepara. Di sinilah beliau bergaul dengan teman anak-anak Belanda yang bule itu.
Beliau menghayati alam pikiran dan alam hidup barat yang dapat diserapnya dari pergaulan di sekolah itu. Ini pula yang mempengaruhi cita-cita Kartini, yakni ingin melihat bangsanya maju. Beliau merasakan betapa jauh bedanya kedudukan wanita Jawa dan wanita Barat itu. Setelah membaca pula berbagai buku-buku yang ada, bertambah yakinlah Kartini bahwa seharusnya puteri bangsawan seperti beliau wajib memberikan bimbingan ke arah kemajuan kaumnya.
Dalam jiwanya tumbuh bersemi benih-benih perjuangan yang akan dilaksanakan demi kemajuan kaumnya. Tapi di tengah-tengah itu Kartini menggodok cita-citanya, terbentang aral yang cukup sulit ditembus. Waktu tamat Sekolah Dasar Kartini memasuki usia 12 tahun, saat seorang gadis harus “dipingit”. Masa dipingit, bagi Kartini berarti masa tidak diperbolehkan keluar batas-batas tembok kabupaten.
Dalam jiwanya tumbuh bersemi benih-benih perjuangan yang akan dilaksanakan demi kemajuan kaumnya. Tapi di tengah-tengah itu Kartini menggodok cita-citanya, terbentang aral yang cukup sulit ditembus. Waktu tamat Sekolah Dasar Kartini memasuki usia 12 tahun, saat seorang gadis harus “dipingit”. Masa dipingit, bagi Kartini berarti masa tidak diperbolehkan keluar batas-batas tembok kabupaten.
Beliau ingin melanjutkan pendidikannya ke Semarang atau Betawi. Ayahnya melarang, sekali pun dia mengerti dan menghargai betapa isi hati puterinya yang cerdas dan sudah mahir berbahasa Belanda itu. Kartini diharuskan tinggal di rumah dengan berbagai peraturan yang mengekang kebebasannya. Namun beliau masih sempat juga mendirikan sekolahan kecil-kecilan khusus untuk anak-anak priyayi (pegawai negeri).
Masa dipingit berakhir. Dalam usia 24 tahun, tepatnya tanggal 8 November 1903, Kartini dinikahkan dengan Raden Adipati Ario Joyohadiningrat, yang menjadi bupati Rembang waktu itu. Kartini masih tetap melaksanakan cita-citanya dan dibantu sepenuhnya oleh suaminya. Sayang, Kartini belum sempat berbuat, sebab setahun sesudahnya (17 September 1904) beliau wafat setelah lima hari melahirkan puteranya. Putera Kartini ini bernama Raden Mas Susalit, lulusan OSVIA yang juga telah meninggal dunia sebagai pensiunan kolonel TNI dalam alam Indonesia merdeka.
Dalam masa pingitan ini, Kartini sempat menulis berbagai surat-surat yang dia kirim kepada kenalan-kenalannya orang “kulit putih, pria maupun wanita yang kebanyakan mempunyai kedudukan dalam masyarakatnya. Melalui surat-surat itulah Kartini mencurahkan perasaan hatinya, Cita-citanya, yang kelak diungkapkan oleh Mr. J.H. Abendanon (bekas Direktur Departemen Pengajaran Hindia Belanda). Surat-surat Kartini itu, oleh pengumpulnya diberi judul "Door Duisternis tot licht”, yang kemudian diterjemahkan oleh Balai Pustaka dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dalam surat-surat itu Kartini membentangkan cita-citanya kepada sahabat-sahabatnya, dan betapa duka derita yang tersirat dalam batinnya.
“Janganlah kamu coba dengan paksa mengubah adat kebiasaan negeri kami. Bangsa kami yang masih seperti anak-anak itu, akan mendapat yang dikehendakinya, yang mengkilap cemerlang. Kemerdekaan wanita tak boleh tidak akan datang juga, hanyalah tiada dapat dipercepat datangnya". (surat kepada Ny. van Kol, 1 Agustus 1903).
“Sudah banyaklah kami berjuang dan menanggung, karena hendak mencapai cita-cita kami. Dan kami percaya bahwa ada kesukaran yang akan kami tempuh, barulah dapat nanti kami tinggalkan segala hal yang tiada menyenangkan hati." (surat kepada tuan van Kol, Januari 1903).
“Bunga rampai dan kemenyan sudah selamanya kini bagi kami orang orang Jawa tidak bisa terpisahkan pada segala sesuatu. Ohh, alangkah ia suatu Dunia pemikiran dan citarasa, menghimbau bunga rampai Bumiputera dan wewangian dupa, membangkitkan diriku, setiap kali kalau aku menghirupnya, dibangunkannya hari-hari lampau yang telah lama dalam kenang-kenangan, dan menggugah dengan keras mengalirnya darah Jawaku yang mengisi pembuluh-pembuluh darahku.
Di kala Kartini merasakan ajalnya sudah dekat, ia mengirim surat lagi buat Nyonya Abendanon, demikian bunyinya: “Sudahlah saya takutkan, tapi surat ini bolehlah menjadi surat yang penghabisan, karena ajalku hampir sampai dengan cepatnya. Yang demikian itu ada kurasa. Ibuku, boleh jadi benda cucu itu datang dahuluan dari persangkaan kami." Kartini pergi membawa cita-cita nya, dan sedikit sekali baru dari keinginannya itu dapat terwujud. Tapi melalui surat-suratnya, generasi kemudian dapat menilai betapa tinggi, luhur dan mulianya cita-cita seorang Ibu yang hidup 146 tahun yang lalu.
Dan hendaklah disadari, sesungguhnya Indonesia cukup kaya dengan patriot-patriot wanita, yang telah menyumbangkan dharmabaktinya melalui medan juangnya masing-masing. Kita kenal pahlawan Cut Nya Dhien, Ny. Rohana Kudus, Malahayati, Dewi Sartika, Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, Nyi Ahmad Dahlan, Rangkayo H. Rasunah Said, dst.. Dan kini, sebagian dari cita-cita Kartini dan para patriot wanita itu telah terwujud. Cukup banyak wanita-wanita Indonesia menduduki posisi penting baik dalam pemerintahan mau pun swasta. Semoga Kartini-Kartini muda maju lebih pesat lagi dengan tidak meninggaikan kepribadian bangsa dan agamanya!
Masa dipingit berakhir. Dalam usia 24 tahun, tepatnya tanggal 8 November 1903, Kartini dinikahkan dengan Raden Adipati Ario Joyohadiningrat, yang menjadi bupati Rembang waktu itu. Kartini masih tetap melaksanakan cita-citanya dan dibantu sepenuhnya oleh suaminya. Sayang, Kartini belum sempat berbuat, sebab setahun sesudahnya (17 September 1904) beliau wafat setelah lima hari melahirkan puteranya. Putera Kartini ini bernama Raden Mas Susalit, lulusan OSVIA yang juga telah meninggal dunia sebagai pensiunan kolonel TNI dalam alam Indonesia merdeka.
Dalam masa pingitan ini, Kartini sempat menulis berbagai surat-surat yang dia kirim kepada kenalan-kenalannya orang “kulit putih, pria maupun wanita yang kebanyakan mempunyai kedudukan dalam masyarakatnya. Melalui surat-surat itulah Kartini mencurahkan perasaan hatinya, Cita-citanya, yang kelak diungkapkan oleh Mr. J.H. Abendanon (bekas Direktur Departemen Pengajaran Hindia Belanda). Surat-surat Kartini itu, oleh pengumpulnya diberi judul "Door Duisternis tot licht”, yang kemudian diterjemahkan oleh Balai Pustaka dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dalam surat-surat itu Kartini membentangkan cita-citanya kepada sahabat-sahabatnya, dan betapa duka derita yang tersirat dalam batinnya.
Surat-Surat Kartini
Berikut ini sebagian isi surat-surat Kartini (terjemahannya):“Janganlah kamu coba dengan paksa mengubah adat kebiasaan negeri kami. Bangsa kami yang masih seperti anak-anak itu, akan mendapat yang dikehendakinya, yang mengkilap cemerlang. Kemerdekaan wanita tak boleh tidak akan datang juga, hanyalah tiada dapat dipercepat datangnya". (surat kepada Ny. van Kol, 1 Agustus 1903).
“Sudah banyaklah kami berjuang dan menanggung, karena hendak mencapai cita-cita kami. Dan kami percaya bahwa ada kesukaran yang akan kami tempuh, barulah dapat nanti kami tinggalkan segala hal yang tiada menyenangkan hati." (surat kepada tuan van Kol, Januari 1903).
“Bunga rampai dan kemenyan sudah selamanya kini bagi kami orang orang Jawa tidak bisa terpisahkan pada segala sesuatu. Ohh, alangkah ia suatu Dunia pemikiran dan citarasa, menghimbau bunga rampai Bumiputera dan wewangian dupa, membangkitkan diriku, setiap kali kalau aku menghirupnya, dibangunkannya hari-hari lampau yang telah lama dalam kenang-kenangan, dan menggugah dengan keras mengalirnya darah Jawaku yang mengisi pembuluh-pembuluh darahku.
Di kala Kartini merasakan ajalnya sudah dekat, ia mengirim surat lagi buat Nyonya Abendanon, demikian bunyinya: “Sudahlah saya takutkan, tapi surat ini bolehlah menjadi surat yang penghabisan, karena ajalku hampir sampai dengan cepatnya. Yang demikian itu ada kurasa. Ibuku, boleh jadi benda cucu itu datang dahuluan dari persangkaan kami." Kartini pergi membawa cita-cita nya, dan sedikit sekali baru dari keinginannya itu dapat terwujud. Tapi melalui surat-suratnya, generasi kemudian dapat menilai betapa tinggi, luhur dan mulianya cita-cita seorang Ibu yang hidup 146 tahun yang lalu.
Dan hendaklah disadari, sesungguhnya Indonesia cukup kaya dengan patriot-patriot wanita, yang telah menyumbangkan dharmabaktinya melalui medan juangnya masing-masing. Kita kenal pahlawan Cut Nya Dhien, Ny. Rohana Kudus, Malahayati, Dewi Sartika, Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, Nyi Ahmad Dahlan, Rangkayo H. Rasunah Said, dst.. Dan kini, sebagian dari cita-cita Kartini dan para patriot wanita itu telah terwujud. Cukup banyak wanita-wanita Indonesia menduduki posisi penting baik dalam pemerintahan mau pun swasta. Semoga Kartini-Kartini muda maju lebih pesat lagi dengan tidak meninggaikan kepribadian bangsa dan agamanya!
Oleh: Alfan Hidayatullah
Posting Komentar