Pena Laut - Pabrik Gula menjadi buah bibir sejak trailer-nya dirilis. Diangkat dari kisah horor Thread Twitter @SimpleMan__, film ini berhasil memikat penonton dengan janji cerita seram yang autentik. Namun, setelah ditonton, banyak yang menyadari bahwa film ini seperti KKN di Desa Penari versi lebih mewah—sama formula, beda kemasan. Apakah itu buruk? Tidak sepenuhnya. Namun, penonton mulai jenuh dengan pola cerita yang itu-itu lagi: sekelompok orang melanggar norma, lalu dihantui makhluk halus.
Yang patut diacungi jempol dari Pabrik Gula adalah nilai produksinya. Seting pabrik gula tua yang dibangun detail, efek CGI yang tidak asal-asalan, dan atmosfer horor yang terjaga membuktikan bahwa film ini bukan produk low-budget. Bahkan, kebun tebunya dibuat nyata—tidak seperti kebun jagung di Interstellar yang hanya CGI.
Sayangnya, di balik kemewahan visual, ceritanya terasa seperti KKN di Desa Penari versi baru. Konflik utama kembali bermula dari pelanggaran norma seksual. Padahal, dalam film ini ada potensi konflik lain yang lebih menarik: keserakahan industri, eksploitasi buruh, atau dendam sejarah. Pertanyaannya: mengapa harus tema yang sama lagi? Apakah karena itu yang paling mudah "digoreng" di pasar Indonesia?
Filim ini Salah satu kelemahan Pabrik Gula merupakan ketergantungannya pada jumpscare. Dari menit pertama, penonton dibombardir kejutan yang kadang terasa dipaksakan. Awalnya seru, tapi lama-lama melelahkan—seperti makan pedas terus-terusan, akhirnya malah sakit perut.
Namun, film ini punya penyelamat: adegan komedi. Kehadiran Aci Resti dan Boris Bokir berhasil meredakan ketegangan. Selain itu, akting Budi Ros dan Dewi Pakis sebagai eyang-eyang menjadi scene stealer, memberikan kedalaman emosional yang jarang ditemukan di film horor Indonesia.
Respons penonton terbelah. Ada yang terkesan dengan efek suara dan visualnya, tapi banyak juga yang kecewa karena alurnya terlalu klise. Beberapa bahkan menyebutnya "KKN di Desa Penari versi pabrik".
Di kancah internasional, film horor Indonesia memang mulai dilirik sejak Pengabdi Setan. Namun, Pabrik Gula masih terlalu localized untuk bisa dinikmati secara universal. Berbeda dengan The Wailing (Korea) atau The Conjuring (Hollywood) yang tidak membutuhkan pemahaman budaya tertentu.
Film ini ingin menyampaikan pesan bahwa setiap dosa ada konsekuensinya. Namun, pesan itu tenggelam dalam repetisi cerita yang sudah terlalu sering dipakai.
Dalam Islam, dosa dan azab memang sering diingatkan, seperti dalam Surah Al-Mulk ayat 10:
وَقَالُوا۟ لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ
"Dan mereka berkata: 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala."
Namun, apakah pesan ini cukup kuat disampaikan lewat horor yang mengandalkan jumpscare?
Pandangan Ulama & Budayawan
- KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym): "Film horor boleh ditonton asal mengingatkan pada akhirat. Tapi kalau cuma buat ketakutan tanpa hikmah, lebih baik dihindari."
- Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): "Horor dalam budaya Jawa bukan sekadar hantu, tapi simbol ketidakseimbangan alam. Ketika manusia melanggar harmoni, alam akan membalas."
Apa yang Bisa Diperbaiki?
1. Eksplorasi tema baru Horor sosial, psikologis, atau sejarah bisa jadi alternatif.
2. Kurangi jumpscare murahan Atmosfer horor sebenarnya bisa dibangun tanpa kejutan berlebihan.
3. Perdalam karakter Penonton butuh tokoh yang relatable, bukan sekadar korban jumpscare.
Pabrik Gula seperti gula manis di lidah, tapi jika dikonsumsi berlebihan justru bikin sakit. Film ini secara teknis memukau, tapi ceritanya masih terjebak comfort zone. Mungkin inilah saatnya sineas Indonesia berani menciptakan horor yang benar-benar mind-blowing, bukan sekadar jumpscare yang mudah dilupakan.
Salam Pesan Penulis Content writer Yogyakarta
"Horor sejati bukan hanya tentang ketakutan, tapi juga refleksi. Sudah saatnya film horor Indonesia naik kelas—tidak hanya menakutkan, tapi juga menggedor kesadaran."
Filim Pabrik Gula merupakan bukti bahwa industri film horor Indonesia mampu bersaing secara visual, tetapi masih gagap dalam hal narasi. Jika ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri, bukan sekadar mengekor tren, sineas perlu berani keluar dari formula usang. Sebab, horor terbaik bukanlah yang membuat penonton berteriak, tapi yang membuat mereka berpikir.
Oleh: Nashrul Mu’minin (Content Writer Yogyakarta dan Kader Muhammadiyah Lamongan)
Posting Komentar