Pena Laut - Islam dalam perkembangannya datang di Indonesia dengan ciri khas yang menarik. Nilai perdamaian, persaudaraan (ukhuwah islamiah), dan menghargai perbedaan telah dibawa oleh Wali Songo, dengan strategi penyebaran penuh nilai-nilai kearifan lokal dan berbudi luhur, termasuk budaya ajaran Islam yang diajarkan pada pondok pesantren.
Namun, budaya demikian, tak lepas dari adanya sistem feodal yang acap kali dinilai negatif dan masih kental di kalangan masyarakat, sehingga menjadikan Islam sebagai agama yang tertuduh.
Namun, budaya demikian, tak lepas dari adanya sistem feodal yang acap kali dinilai negatif dan masih kental di kalangan masyarakat, sehingga menjadikan Islam sebagai agama yang tertuduh.
Sehubungan dengan tuduhan tersebut, tidak lama ini media sosial ramai dipenuhi konten viralnya pesantren dituduh sebagai institusi yang melanggengkan sistem feodalisme. Ironisnya, tuduhan didasarkan pada fenomena seorang santri yang mengabdikan diri kepada kyai (guru) tanpa ada imbalan. Seperti contoh, membuat kopi untuk kyai, membantu pembangunan, mengikuti dalam proses mengajar dan bertani.
Dengan begitu, menanggapi munculnya tuduhan tersebut, perlu kiranya ada penjelasan secara gamblang mengenai konsep feodalisme, agar tidak salah kaprah dalam memahaminya.
Di dalam feodalisme, ada kelas sosial yang menguasai alat produksi sebagai kelompok pemilik tanah, seperti raja dan sanak keluarganya. Oleh karena itu, adanya kerajaan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan bagi kalangan feodal atas rakyat.
Cara kerja dalam corak produksi feodalisme cukup timpang. Sebab tidak ada perhitungan pasti antara upeti dan pengeluaran modal dari tuan feodal. Menjadikan golongan yang tidak punya kepemilikan tanah bekerja dengan ketentuan harus memberikan hasil kerjanya sebagian besar untuk tuan feodal dan sebagian kecil diterima dirinya sendiri.
Semua otoritas ada di tangan sang feodal (pemilik tanah). Wajar saja kalau kaum feodal di junjung, disegani, dihormati bahkan didewakan atas dasar kekuasaan dan kasta yang tinggi.
Feodalisme yang demikian, menimbulkan ketimpangkan hingga perbudakan. Hanya segelintir orang memiliki kekuasaan mutlak, malah adanya jutrsu keterpaksaan bagi golongan yang tidak memiliki tanah. Sebab, kekuasaan dan otoritas ada di tangan baron dan kerajaan.
Bahkan hingga kini efek feodalisme masih dirasakan oleh kalangan masyarakat. Secara mayoritas masyarakat masih menghormati golongan bangsawan yang saat ini bukan lagi feodal, melainkan orang-orang bertitel panjang dan pemilik modal. Meskipun bukan tuan tanah, namun memandang kasta dan kelas sosial tersebut merupakan ciri dari feodalistis.
Jelas salah kaprah apabila aktivitas seorang santri di pondok pesantren dianggap sebagai bentuk eksploitasi kyai terhadap muridnya.
Aktivitas seperti menjadi sopir, bertani dan berternak bisa dinilai eksploitasi manakala ada unsur keterpaksaan atau diminta secara paksa oleh sang kyai. Sayangnya, santri kebanyakan mengajukan diri bahkan berlomba-lomba menjadi paling bermanfaat di hadapan kyai.
Lagi-lagi, perbuatan mengacu pada keberkahan, dan anjaran Islam untuk khidmat terhadap guru. Lantas, apa perbedaan antara budaya pesantren dengan sistem feodalisme?
Pertama, feodalisme merupakan corak produksi ekonomi antara golongan yang tidak memiliki tanah dengan feodal. Sebab, secara kelas sosial sudah berbeda, sehingga mau diperalat oleh kaum feodal. Sedangkan santri, takdzim terhadap kyai sebagai wujud pengabdian dan tanpa unsur paksaan.
Kedua, santri jebolan pondok pesantren banyak yang menjadi tokoh masyarakat di kampung halamannya masing-masing. Bahkan ada yang memiliki pondok pesantren lebih besar dari kyainya sendiri. Akan tetapi pihak pesantren tetap memberikan akses, peluang dan mendorong santrinya untuk naik status sosial. Berbeda dengan feodalisme, golongan penggarap tanah tidak diberi akses untuk naik status sosial, melainkan hanya diberi kesempatan untuk mengakses alat produksi tanah.
Ketiga, perbedaan antara feodalisme dengan pesantren dapat dilihat pada orientasi adanya budaya dari keduanya. Budaya khidmat terhadap kyai di pondok pesantren, berorientasi pada nilai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan feodalisme berorientasi pada kekuasaan, produksi tanah, kelas sosial dan kepentingan ekonomi.
Beberapa orang pun membanjiri kolom komentar dengan berpendapat dan asal tuduh, bahwa pondok pesantren menggunakan sistem feodalisme, bahkan pengultusan (penghormatan) terhadap figur seorang kyai.
Salah kaprahnya pola pengultusan, seperti membuatkan kopi untuk kyai, membantu pembangunan pondok pesantren, mengabdi di rumah kyai, ikut bertani, menjadi sopir dan praktik-praktik tradisional pesantren lainnya disebut feodalisme. Sebab, terlalu memuja kyai sebagai guru sekaligus pemilik pondok pesantren, sedangkan santri melaksanakan tugas diluar aktivitas belajar tanpa gaji.
Tidak berhenti di situ saja, di ihwal politik pun sebagian besar santri baik yang masih nyantri maupun sudah boyong, tetap melibatkan kyai dalam pengambilan keputusan. Masa pemilu misalnya, alumni santri yang mencalonkan diri tidak sedikit yang melibatkan kyai untuk melancarkan kampanye.
Mengapa demikian? Karena hubungan antara kyai dengan santri tidak sebatas struktural dan kultural. Namun, bersumber pada ajaran Islam yang mengharuskan seorang murid untuk takdzim terhadap guru. Itulah kenapa tercipta kalam bijak bahwa keberkahan itu mengalir dari kehormatan murid terhadap gurunya (orang tua kedua di pondok pesantren).
Sikap takdzim seorang santri terhadap kyai nyatanya tidak bisa dimaknai mentah-mentah sebagai praktik feodalisme di pesantren. Jika dilihat melalui sejarah bagaimana revolusioner dunia Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, penuh dengan rasa hormat. Maka tidak salah bila kyai (yang disebut sebagai pewaris nabi) dihormati oleh santrinya. Seperti sikap sahabat kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian, kepatuhan santri terhadap seorang kyai bukan semata-mata karena kelas sosial, kasta atau bahkan ingin superior dalam hierarki pondok pesantren. Namun, ajaran Islam yang menganjurkan sikap murid terhadap gurunya sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya.
Dengan begitu, menanggapi munculnya tuduhan tersebut, perlu kiranya ada penjelasan secara gamblang mengenai konsep feodalisme, agar tidak salah kaprah dalam memahaminya.
Nalar Feodalisme dalam Corak Produksi
Sebagaimana gagasan Karl Marx dalam pertentangan kelas, secara corak produksi bahwa feodalisme dikenal sebagai sistem produksi yang identik dengan relasi antara pemilik (tuan) tanah dan buruh (petani hamba). Sebab pada masa tersebut, tanah adalah simbol kekuasaan, kekayaan dan kemapanan.Di dalam feodalisme, ada kelas sosial yang menguasai alat produksi sebagai kelompok pemilik tanah, seperti raja dan sanak keluarganya. Oleh karena itu, adanya kerajaan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan bagi kalangan feodal atas rakyat.
Cara kerja dalam corak produksi feodalisme cukup timpang. Sebab tidak ada perhitungan pasti antara upeti dan pengeluaran modal dari tuan feodal. Menjadikan golongan yang tidak punya kepemilikan tanah bekerja dengan ketentuan harus memberikan hasil kerjanya sebagian besar untuk tuan feodal dan sebagian kecil diterima dirinya sendiri.
Semua otoritas ada di tangan sang feodal (pemilik tanah). Wajar saja kalau kaum feodal di junjung, disegani, dihormati bahkan didewakan atas dasar kekuasaan dan kasta yang tinggi.
Feodalisme yang demikian, menimbulkan ketimpangkan hingga perbudakan. Hanya segelintir orang memiliki kekuasaan mutlak, malah adanya jutrsu keterpaksaan bagi golongan yang tidak memiliki tanah. Sebab, kekuasaan dan otoritas ada di tangan baron dan kerajaan.
Bahkan hingga kini efek feodalisme masih dirasakan oleh kalangan masyarakat. Secara mayoritas masyarakat masih menghormati golongan bangsawan yang saat ini bukan lagi feodal, melainkan orang-orang bertitel panjang dan pemilik modal. Meskipun bukan tuan tanah, namun memandang kasta dan kelas sosial tersebut merupakan ciri dari feodalistis.
Distingsi antara Budaya Pesantren dan Feodalisme
Tentu berbeda dengan feodalisme, pondok pesantren alias lembaga pendidikan Islam, mempertahankan sistem pendidikan tradisional yang mana kyai menjadi pusat pengetahuan, bukan karena kelas sosial, kasta dan kepemilikan tanah.Jelas salah kaprah apabila aktivitas seorang santri di pondok pesantren dianggap sebagai bentuk eksploitasi kyai terhadap muridnya.
Aktivitas seperti menjadi sopir, bertani dan berternak bisa dinilai eksploitasi manakala ada unsur keterpaksaan atau diminta secara paksa oleh sang kyai. Sayangnya, santri kebanyakan mengajukan diri bahkan berlomba-lomba menjadi paling bermanfaat di hadapan kyai.
Lagi-lagi, perbuatan mengacu pada keberkahan, dan anjaran Islam untuk khidmat terhadap guru. Lantas, apa perbedaan antara budaya pesantren dengan sistem feodalisme?
Pertama, feodalisme merupakan corak produksi ekonomi antara golongan yang tidak memiliki tanah dengan feodal. Sebab, secara kelas sosial sudah berbeda, sehingga mau diperalat oleh kaum feodal. Sedangkan santri, takdzim terhadap kyai sebagai wujud pengabdian dan tanpa unsur paksaan.
Kedua, santri jebolan pondok pesantren banyak yang menjadi tokoh masyarakat di kampung halamannya masing-masing. Bahkan ada yang memiliki pondok pesantren lebih besar dari kyainya sendiri. Akan tetapi pihak pesantren tetap memberikan akses, peluang dan mendorong santrinya untuk naik status sosial. Berbeda dengan feodalisme, golongan penggarap tanah tidak diberi akses untuk naik status sosial, melainkan hanya diberi kesempatan untuk mengakses alat produksi tanah.
Ketiga, perbedaan antara feodalisme dengan pesantren dapat dilihat pada orientasi adanya budaya dari keduanya. Budaya khidmat terhadap kyai di pondok pesantren, berorientasi pada nilai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan feodalisme berorientasi pada kekuasaan, produksi tanah, kelas sosial dan kepentingan ekonomi.
Sesat Pikir dari Klaim Tuduhan Feodalisme atas Budaya Pesantren
Media sosial yang baru saja dihebohkan dengan konten tuduhan adanya feodalisme terhadap budaya pondok pesantren. Beredar video mempertontonkan seorang santri yang tunduk, membungkuk bahkan sampai cium tangan ketika ada kyai lewat di hadapannya.Beberapa orang pun membanjiri kolom komentar dengan berpendapat dan asal tuduh, bahwa pondok pesantren menggunakan sistem feodalisme, bahkan pengultusan (penghormatan) terhadap figur seorang kyai.
Salah kaprahnya pola pengultusan, seperti membuatkan kopi untuk kyai, membantu pembangunan pondok pesantren, mengabdi di rumah kyai, ikut bertani, menjadi sopir dan praktik-praktik tradisional pesantren lainnya disebut feodalisme. Sebab, terlalu memuja kyai sebagai guru sekaligus pemilik pondok pesantren, sedangkan santri melaksanakan tugas diluar aktivitas belajar tanpa gaji.
Tidak berhenti di situ saja, di ihwal politik pun sebagian besar santri baik yang masih nyantri maupun sudah boyong, tetap melibatkan kyai dalam pengambilan keputusan. Masa pemilu misalnya, alumni santri yang mencalonkan diri tidak sedikit yang melibatkan kyai untuk melancarkan kampanye.
Mengapa demikian? Karena hubungan antara kyai dengan santri tidak sebatas struktural dan kultural. Namun, bersumber pada ajaran Islam yang mengharuskan seorang murid untuk takdzim terhadap guru. Itulah kenapa tercipta kalam bijak bahwa keberkahan itu mengalir dari kehormatan murid terhadap gurunya (orang tua kedua di pondok pesantren).
Sikap takdzim seorang santri terhadap kyai nyatanya tidak bisa dimaknai mentah-mentah sebagai praktik feodalisme di pesantren. Jika dilihat melalui sejarah bagaimana revolusioner dunia Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, penuh dengan rasa hormat. Maka tidak salah bila kyai (yang disebut sebagai pewaris nabi) dihormati oleh santrinya. Seperti sikap sahabat kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian, kepatuhan santri terhadap seorang kyai bukan semata-mata karena kelas sosial, kasta atau bahkan ingin superior dalam hierarki pondok pesantren. Namun, ajaran Islam yang menganjurkan sikap murid terhadap gurunya sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya.
Oleh: Ronven Apriani
Posting Komentar