BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

RUU TNI; Polemik Nyentrik Ala Pejabat Republik

Pena Laut -
DPR kembali menjadi sorotan! Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilakukan secara diam-diam, tergesa-gesa, bahkan digelar di hotel mewah pada akhir pekan lalu. Bukankah pemerintah sedang menggaungkan efisiensi anggaran? Ironis, bukan? Beberapa poin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ini pun menuai kritik keras dan memicu polemik.

Salah satu pasal yang menjadi perdebatan adalah Pasal 47, yang membuka jalan bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan di berbagai lembaga sipil. Jumlah institusi yang diperbolehkan menerima personel TNI pun bertambah hingga 16, termasuk Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung (Sumber: News.detik.com, 2025).

Penambahan ini memunculkan kekhawatiran luas dari kelompok masyarakat sipil. Mereka menilai bahwa langkah ini berpotensi menghidupkan kembali konsep "Dwifungsi ABRI" yang pernah diterapkan di era Orde Baru. Dengan semakin banyaknya jabatan sipil yang bisa diisi oleh militer, di mana posisi supremasi sipil yang menjadi fondasi negara demokrasi?

Tidak hanya substansi revisinya yang dipertanyakan, tetapi juga proses pembahasannya. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, membantah tudingan bahwa RUU ini dibahas secara tergesa-gesa atau tanpa transparansi. Ia mengklaim bahwa prosesnya telah berlangsung lama dan melibatkan berbagai pihak. Namun, benarkah demikian?

Pemerintah dan DPR juga berencana mengubah Pasal 7 dan Pasal 53 dalam revisi UU TNI. Pasal 7 berkaitan dengan operasi militer selain perang, sementara Pasal 53 membahas batas usia pensiun prajurit. Perubahan ini diklaim sebagai upaya penyesuaian dengan kondisi pertahanan saat ini (Sumber: Nasional.sindonews.com, 2025).

Jika pemerintah benar-benar melibatkan publik dalam revisi ini, mengapa masih banyak suara kritis yang merasa tak didengar? Apakah keterbukaan yang dijanjikan hanya sebatas retorika tanpa substansi? Jika revisi ini bertujuan menjaga keseimbangan antara sipil dan militer, mengapa justru muncul ketakutan bahwa batas di antara keduanya semakin kabur?

Militer dan Peran Sipil; Sebuah Garis yang Harus Dijaga

TNI sebagai garda pertahanan negara, memiliki tugas utama untuk menegakkan kedaulatan dan melindungi bangsa dari ancaman. Tugas ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (2), yang mencakup operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Beberapa di antaranya termasuk mengatasi pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, menjaga perbatasan, hingga membantu dalam bencana alam (Sumber: tni.mil.id, 2007)

Namun, apakah dengan tugas-tugas sebesar ini, militer masih perlu diperbanyak di ranah sipil? Bukankah pemerintahan sipil seharusnya dikelola oleh sipil, sementara TNI tetap fokus pada fungsi pertahanan? Bagaimana bisa kaum yang memiliki akses terhadap senjata dan kekerasan memegang jabatan sipil secara lebih luas, bukan tidak mungkin intimidasi menjadi jalan ninjanya ketika menjabat. Pedang biarlah tetap menjadi pedang dengan tugasnya sebagai benda atau alat tajam, jangan dipaksa untuk menggantikan pulpen atau pensil sebagai alat tulis.

RUU TNI; Langkah Maju atau Mundur?

Sejujurnya, saya pemalas. Apalagi jika membahas drama politik, muak, mending rebahan sambil baca buku Laut Bercerita. Namun, ulah para elit yang semakin absurd memaksa saya untuk bersuara. Meskipun toh kata KSAD: "Jangan ribut kanan-kiri, kayak kurang kerjaan. Otak-otak seperti ini kampungan menurut saya". Maaf Komandan, saya memang berasal dari kampung dan kebetulan sedang menganggur. Tapi apakah pantas calon pejabat sipil menanggapi pertanyaan publik demikian? Ah, sudahlah.

Mari kita pikirkan: jika revisi ini disahkan, apakah kita sedang membuka portal waktu menuju masa lalu yang seharusnya sudah kita tinggalkan? Reformasi 1998 berhasil menghapus dwifungsi ABRI, sebuah sistem yang memungkinkan tentara berpolitik dan berbisnis. Namun kini, dengan revisi UU ini seolah pemerintah ingin menghidupkannya kembali. Bahkan, mungkin lebih pantas disebut "multifungsi militer" karena cakupannya semakin luas.

Apakah kita benar-benar membutuhkan lebih banyak perwira aktif dalam jabatan sipil? Negara ini tidak sedang dalam keadaan darurat militer, tidak dalam kondisi perang, lalu mengapa perlu militerisasi birokrasi sipil? Jika rakyat mulai curiga bahwa ini adalah strategi terselubung untuk menghidupkan kembali superioritas militer, jangan salahkan mereka. Jangan pula mencoba membungkam kritik dengan dalih efektivitas dan profesionalisme, karena pada kenyataannya, hal ini justru bisa melemahkan supremasi hukum dan mengurangi akuntabilitas sipil terhadap militer.

Lebih parahnya, DPR dan pemerintah tampaknya enggan membuka diskusi luas tentang revisi ini. Semua serba tertutup, terburu-buru, dan minim partisipasi publik. Apakah ini wajah demokrasi yang kita cita-citakan?

Wakil ketua DPR RI Sufmi Dasco menyatakan: “...mengenai kabar adanya dwifungsi TNI saya rasa kalau sudah lihat pasalnya sudah jelas bahwa kami di DPR juga akan menjaga supremasi sipil, dll. Tentunya, rekan-rekan juga dapat melihat dan menilai nantinya apa yang direvisi.” Utut Adianto selaku ketua PanJa RUU TNI juga menegaskan bahwa beliau sudah berkali-kali mengatakan justru ini melimitasi, dan pertemuan dengan panglima TNI itu tegas kesimpulannya hanya satu, bahwa dari UU ini jelas supremasi sipil dalam konsep negara demokrasi.

Jangan terbuai janji manis DPR, mari kawal revisi UU TNI!

Pernyataan Sufmi Dasco dan Utut Adianto terdengar menenangkan, tapi apakah cukup untuk menghapus kecemasan publik? Jika revisi ini benar-benar bertujuan membatasi peran TNI di ranah sipil, mengapa malah membuka lebih banyak pintu bagi mereka untuk masuk? Jika supremasi sipil benar-benar dijaga, mengapa revisi ini justru memberi peluang bagi intervensi militer dalam birokrasi sipil?

Sejarah membuktikan, kebijakan yang mengubah arah negara sering kali dikemas dengan retorika manis. Jangan biarkan kita terlena oleh janji-janji DPR. Jangan percaya begitu saja ketika mereka berkata "tidak ada dwifungsi TNI", sementara isi revisinya justru menunjukkan indikasi sebaliknya.

Sebagai warga negara, kita tidak boleh diam. Kita harus mengawal proses legislasi ini, menuntut transparansi yang sesungguhnya, dan memastikan tidak ada ruang bagi kembalinya militerisme dalam pemerintahan sipil. Kita harus mendesak DPR untuk benar-benar membuka diskusi ini kepada publik, bukan sekadar memberikan pernyataan normatif yang tidak menjawab pertanyaan fundamental.

Pemisahan antara sipil dan militer adalah amanat reformasi yang harus dijaga. Mari kita kritisi, mari kita awasi, dan mari kita pastikan bahwa supremasi sipil bukan hanya sekadar jargon kosong. Jangan biarkan sejarah kelam Orde Baru terulang. Jangan sampai kita menyesal ketika demokrasi sudah tercekik dan suara rakyat tak lagi punya tempat di negeri yang "katanya" merdeka.

Oleh: Faisal Akbar

Daftar Rujukan:

Hutajulu, Matius Alfons. Isi Pasal 47 RUU TNI, Prajurit Bisa Ditempatkan di 16 Kementerian/Lembaga. Maret 2025. news.detik.com › berita › d-7826963.

Sukma, Anshari Madya. Ramai Aktivis Menolak RUU TNI, Ini Sejarah dan Kontroversi Dwifungsi ABRI. Maret 2025. kabar24.bisnis.com › read › 20250317/15/1861958.

Huda, Mas Alamil. Pembahasan RUU TNI Digelar di Hotel pada Akhir Pekan, Dasco: Rapat Diadakan Terbuka. Maret 2025. news.republika.co.id › berita › st95fz487.

Utama, Felldy Asyla. 3 Pasal Masukan Pemerintah di RUU TNI Menarik Perhatian. Maret 2025. nasional.sindonews.com › read › 1541371/12/3-pasal-masukan.

Puspen TNI. Tugas TNI Sesuai Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Maret 2007. tni.mil.id › view-5132-tugas-tni-sesuai-pasal-7-ayat-2-dan.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak