BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Refleksi Diri: Apakah Kita Tanpa Sadar Menanam Bibit Korupsi?

Korupsi
Pena Laut -
Ketika mendengar kata korupsi, yang terbayang di benak kita mungkin adalah pejabat yang menyalahgunakan uang negara, menerima suap dalam proyek besar, atau memperkaya diri dengan cara tidak sah. Kita sering mengutuk mereka, merasa bahwa korupsi adalah masalah besar yang hanya dilakukan oleh orang-orang berkuasa. Namun, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita juga melakukan hal serupa, hanya dalam skala yang lebih kecil?

Korupsi sebenarnya bukan hanya soal mencuri uang negara, tetapi juga penyalahgunaan hak, kewenangan, atau sumber daya untuk kepentingan pribadi dengan cara yang tidak etis. Tanpa sadar, kita mungkin pernah melakukan tindakan seperti menggunakan jasa joki tugas untuk mengerjakan pekerjaan akademik kita. Alih-alih bekerja keras dan belajar, kita memilih jalan pintas dengan membayar orang lain agar mendapatkan nilai bagus. Ini mirip dengan praktik nepotisme atau kolusi di dunia kerja, di mana seseorang mendapatkan keuntungan tanpa usaha yang layak. Contoh lain adalah mengambil jatah beasiswa yang sebenarnya ditujukan untuk mahasiswa kurang mampu. Beberapa orang memanipulasi data ekonomi agar terlihat memenuhi syarat, padahal mereka secara finansial mampu. Tindakan ini berarti mengambil hak mereka yang benar-benar membutuhkan, yang pada akhirnya memperburuk ketimpangan sosial.

Selain itu, banyak dari kita yang tanpa sadar terbiasa menggunakan fasilitas bersama untuk kepentingan pribadi. Misalnya, menggunakan listrik, printer, atau kendaraan kantor dan kampus tanpa izin hanya karena merasa itu adalah fasilitas umum. Sekilas, ini tampak sepele, tetapi jika dibiarkan, mentalitas seperti ini bisa berkembang menjadi penyalahgunaan anggaran dalam skala lebih besar. Di lingkungan akademik, praktik seperti memberi hadiah atau amplop kepada dosen dengan harapan mendapatkan nilai lebih baik juga sering terjadi. Ini adalah bentuk gratifikasi yang dapat merusak sistem pendidikan dan menciptakan lingkungan yang tidak adil bagi mereka yang berusaha dengan jujur.

Tak hanya itu, kebiasaan seperti titip absen, mencontek, atau memanipulasi data juga mencerminkan mentalitas koruptif. Saat kita memilih jalan pintas seperti ini, kita sedang menormalisasi perilaku tidak jujur yang nantinya bisa berkembang dalam dunia kerja dan kehidupan sosial. Menurut Transparency International (2023), budaya korupsi dalam masyarakat sering kali bermula dari kebiasaan kecil yang dianggap normal. Hal ini diperkuat oleh penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2022) yang menunjukkan bahwa tindakan korupsi tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui tahapan kecil yang semakin berkembang ketika seseorang memiliki kesempatan dan merasa aman dari hukuman.

Jika kita ingin membangun masa depan yang lebih bersih dari korupsi, perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Kita bisa memulainya dengan membiasakan diri untuk jujur dalam segala hal, sekecil apa pun. Hindari mencontek, titip absen, atau menggunakan joki tugas. Selain itu, kita harus menggunakan hak dan fasilitas sesuai peruntukannya. Jika tidak memenuhi syarat untuk beasiswa atau bantuan tertentu, sebaiknya tidak mengambilnya hanya karena ada celah untuk memanipulasi data. Kita juga harus menolak segala bentuk suap atau gratifikasi, serta menjadi contoh dalam lingkungan sekitar agar budaya jujur semakin meluas.

Bung Hatta pernah berkata, "Korupsi telah menjadi budaya karena ada kesempatan dan tidak ada ketakutan." Jangan sampai kita menjadi bagian dari budaya tersebut.

Mari kita renungkan, apakah tanpa sadar kita telah menanam bibit-bibit korupsi dalam keseharian? Jika perubahan besar dimulai dari langkah kecil, maka tanyakan pada diri sendiri: Langkah jujur apa yang bisa kita ambil hari ini?

Oleh: Husna Mahmudah

Referensi:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2022). Laporan Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia.

Hatta, M. (1999). Bung Hatta: Hati Nurani Bangsa.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak