BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Ramadhan dan Pendakian Menuju Sumbu Alam Semesta

Pena Laut -
Khusus untuk beberapa bulan ini sebagian dari mayoritas masyarakat Indonesia merasa riweh, dan lelah melihat fenomena-fenomena yang terjadi di negeri ini, mulai dari awal tahun 2025 hingga bulan Maret ini muncul satu-persatu berita yang tidak enak untuk didengar apalagi dikonsumsi oleh akal-pikiran.

Karena itu saya kira masyarakat perlu untuk tarik nafas dalam, dan khusus pada bulan Ramadhan ini menimbang sangat istimewa maka masyarakat muslim agar dan tidak menyia-nyiakan waktunya dengan hal-hal yang konyol, serta sia-sia.

Ya, kalau ternyata dengan berbagai macam cara, mulai dari diskusi, kritik, berita, penjara, hingga demonstrasi tidak dapat merubah apa-apa, kan itu juga sia-sia.

Mungkin Tuhan mempunyai maksud lain, dan masyarakat harus mencari tahu apa maksud tersebut, lebih khusus maksud dan kehendak-Nya kepada diri setiap individu di kalangan masyarakat, lebih lagi pada bulan Ramadhan dan ibadah puasa ini.

Rahasia apa lagi yang akan terbuka dan harus diketahui?

Terlepas dari persoalan dan hal-hal yang membingungkan juga membatalkan atau merusak puasa, pastinya puasa adalah suatu keharusan bagi seseorang yang beragama Islam di dalam salah satu rukun dan pondasinya untuk mengarungi keluasan makna sebuah agama, manusia, Tuhan, dan alam semesta.

Ya, puasa dipandang sebagai salah satu ibadah utama dan vital dalam membentuk kepribadian diri manusia yang luhur serta mulia. Secara ideal, modus ibadah yang dilaksanakan dengan cara menahan diri dari nafsu makan, nafsu minum, nafsu untuk berhubungan seksual di siang hari, dan lain-lain yang dapat membatalkan itu merupakan suatu instrumen yang dapat menepis dan menyaring, bahkan membersihkan debu kotor yang hinggap di dinding hati manusia. Selain itu, puasa juga berfungsi sebagai penentu kadar frekuensi ketakwaan, kecintaan, dan kerinduan manusia kepada kekasihnya yang sejati, Allah Swt.

Puasa sebenarnya memiliki makna teologis-filosofis yang amat dalam, ia secara praktis merupakan sebuah realisasi hakiki nilai-nilai agung Tauhid yang bersemayam kukuh di setiap manusia yang beriman, sebagai garis pembatas yang menghubungkan antara dia dengan Tuhannya (Hablumminallah) yang tidak akan terputus, tidak akan terhalang oleh dosa apapun.

Sejatinya manusia tidaklah hanya menahan lapar dan haus saja, lebih dari itu melainkan menjadikan puasa sebagai bentuk tangga pendakian untuk menuju titik sumbu alam semesta yang merupakan awal sekaligus akhir dari semua yang ada, Allah Swt.

Melalui kerangka berpikir dan cara pandang demikian, puasa juga mesti dipahami sebagai jalan tol atau jalan pintas tercepat untuk menuju “rumah-Nya” sebagai alat menuju kesempurnaan hidup seorang hamba/insanul kamil.

Juga dengan menggunakan “paradigma sakral” seperti ini, siapapun yang melaksanakan ibadah puasa akan mengedepankan dan lebih paham bahwa pencegahan diri dari makan, minum, dan yang lainnya bukanlah semata merupakan suatu cara untuk meraup keuntungan “material” yang berupa tumpukan pahala saja, melainkan sebagai upaya paling efektif untuk melatih diri dalam memerangi gejolak egoisme, individualisme, distraksi nafsu, dan segala macam kesia-siaan lainnya yang kerap kali melingkupi kehidupan manusia.

Selaras dengan sabda yang diungkapkan oleh Rasulullah Saw. yang arti bebasnya: “Puasa bukanlah semata kemampuan menahan rasa lapar dan dahaga, melainkan juga mampu menjaga diri dari tindakan konyol dan sia-sia”. Dalam tahapan ini seseorang juga akan mampu memasuki ruang inti puasa yang istimewa (khusus), atau bahkan ruang paling istimewa (khususul khusus), sebagaimana yang diungkapkan Al Ghazali secara detail dalam kitab Ihya’nya.

Seseorang yang telah mencapai maqam puasa seperti yang disebut, akan senantiasa menjadikan Allah Swt. sebagai satu-satunya kiblat dalam seluruh pengembaraan hidupnya, baik di bulan Ramadhan atau bulan yang lainnya. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair dalam puisi sufistiknya: ”Bila seseorang berpuasa dari segala yang maya dan fana, maka seluruh bulan yang ia sebrangi adalah bulan puasa.”

Dengan demikian, makna keutuhan puasa dalam konteks yang sesungguhnya akan bermuara pada destruksi gejolak individualisme untuk menyelami kehidupan yang luas, utuh, dan tidak terfragmentasi oleh sekat-sekat apapun. Karena itu setiap orang yang berpuasa mestilah tertuntut secara gradual untuk mengkikis segala egoisme (ananiyah) dan pemanjaan-pemanjaan diri yang lainnya.

Seorang metafisikawan asal madura Bahauddin Mudhary dalam bukunya “Puasa Dalam Kajian Metafisika” (1992) menyatakan bahwa perpaduan antara kecerdasan rasio dengan ketajaman nurani yeng merupakan buah manis dari puasa, pernah menjadi lambang kejayaan dan kemajuan bangsa-bangsa di dunia seperti Babilonia, Andalusia, dan Arab.

Dengan puasa juga seorang yang sangat terkenal, Jalaludin Rumi, melahirkan Matsnawi yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan kitab kenabian. Dengan puasa juga Ibnu Arabi melahirkan Fushusul Hikam yang memaparkan teori mengenai penciptaan alam semesta, dan masih banyak lagi. Dahsyat, bukan?

Karena itu, Bulan Ramadan dan puasa telah membuktikan banyak dari pendakian- pendakian seseorang yang dapat menghantarkan ke sumbu alam semesta, dan tanpa batasnya. Sekian.

Bagaimana, mendaki?
Wallahu A’lam.

Oleh: M. Roqy Azmi
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak