BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Puasa & Liberasi: Menyingkap Spirit dan Nilai Pembebasan dalam Ibadah Puasa

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa tiran.”

Nabi Muhammad Saw.


Mukadimah

Umat Islam di seluruh penjuru dunia diwajibkan untuk menunaikkan ibadah puasa ketika telah memasuki bulan suci Ramadhan. Bulan ini sangat dinanti-nanti kedatangannya. Hal itu disebabkan oleh keagungan, kemuliaan, dan keistimewaan bulan ini. Tidak sedikit orang Islam berlomba-lomba melaksanakan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunnah, dengan khusyu’. Atau setidaknya, di bulan ini, setiap Muslim meningkatkan kualitas ibadah masing-masing. Maka tak heran, ketika bulan Ramadhan tiba, banyak orang yang bahagia dan terus meningkatkan kualitas ibadahnya. Pun kita, dihimbau untuk meng-upgrade keimanan, keislaman, dan keihsanan yang sejauh ini masih berkutat pada level permukaan (badaniyah), dan belum menyentuh level substansial (bathiniyah).

Salah satu kewajiban ibadah di bulan Ramadhan ialah puasa. Setiap Muslim dan Muslimah yang sudah aqil-baligh diwajibkan untuk menunaikkan ibadah puasa. Bahkan, anak-anak kecil dilatih untuk berpuasa—semampunya. Ibadah puasa ini banyak dipahami sebagai ibadah yang bersifat individual-transendental, yakni ibadah yang dilakukan tiap-tiap individu dan, tentunya, memiliki implikasi terhadap individu itu sendiri. Sejauh ini ibadah puasa masih sering dipahami sebagai ritual yang bersifat individualistik, dan sebagai sarana untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah Swt). Sebagaimana hadis qudsi yang telah masyhur, yang artinya: “Setiap amalan anak Adam (manusia) adalah miliknya, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan balasannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kendati di kalangan Muslim masih banyak yang memahami puasa sebagai ibadah yang bersifat individual, tidak sedikit pula yang berusaha menggali makna dan memunculkan dimensi sosial dari ibadah tersebut. Hanya saja, di pengajian rutin, majelis ilmu, ceramah-ceramah yang bertebaran, dan interpretasi yang muncul di permukaan masih didominasi oleh pemahaman bahwa puasa merupakan ibadah untuk menahan diri dari makan, minum, mencegah hawa nafsu, melatih kesabaran, meningkatkan kualitas ibadah, dan sejenisnya. Maka perlu membaca esensi puasa ini secara kritis-liberatif untuk menemukan spirit dan nilai “pembebesan” yang dapat memberikan sumbangsih konkret bagi kehidupan kita saat ini.

Hal ini dilakukan sebagai upaya membongkar kebekuan interpretatif dan paradigma formalistik terhadap Islam. Sebab, seperti yang kita tahu, masih banyak orang yang memandang doktrin dan syariat Islam sebagai “penjara suci”. Apalagi, fenomena yang belakangan menyeruak ialah indikasi bahwa teks-teks keagamaan dan pemahaman agama dijadikan alat oleh mereka yang mengaku ulama atau kiai untuk melegitimasi “penindasan” yang dilakukan oleh kekuasaan tertentu.[1] Bahkan, seakan-akan, pemahaman Islam yang “benar” adalah menurut kelompok mereka, dan yang lain “salah”. Padahal, memahami Islam dengan nalar borjuistik atau purifikatif semacam itu hanya akan menguntungkan segelintir orang yang sama sekali tidak bernuansa liberatif; membebaskan masyarakat dari belenggu penindasan sistemik.

Sebagai seorang Muslim yang mengaku beriman, sudah seharusnya kita menunaikan ibadah sosial yang “membebaskan” ini. Sebab, selama ini kita menyaksikan banyak saudara kita yang tengah ditindas, disubordinasi, dan dilemahkan oleh mereka yang berkuasa. Dan sudah menjadi tugas kita untuk “menolong” mereka sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Ma’un [107]: 1-7.[2] Dan, ulasan ini merupakan salah satu ikhtiar untuk menggali spirit dan nilai “pembebasan” yang ada di balik ibadah puasa, sehingga setelah memahami spirit dan nilai tersebut, kita dapat mengaktualisasikannya secara berjama’ah.

Memahami Puasa: Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis

Kata puasa dalam bahasa Arab disebut shaum. Kata ini disebutkan dengan beberapa term di dalam Al-Qur’an, seperti Shauman, as-Shiyam, Shiyaman, as-Shoimina, as-Shoimaati, Tashumu, dan Fal-yasumhu. Dalam Al-Qur’an, kata Shauman disebut sebanyak satu kali dalam QS. Al-Maryam [19]: 26; as-Shiyaam disebut tujuh kali (QS. Al-Baqarah [2]: 183, 187, 196 (dua kali); QS. An-Nisa’ [4]: 92; QS. Al-Maidah [5]: 89 dan ; QS. Al-Mujadalah [58]: 4); Shiyaman dalam QS. Al-Maidah [58]: 95; as-Shoimina dalam QS. Al-Ahzab [33]: 35; as-Shoimaati dalam QS. Al-Ahzab [33]: 35; Tashumu dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184; dan Fal-yashumhu dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185.[3]

Sedangkan secara etimologis, kata Shaum atau Shiyam memiliki akar kata Shoma-Yashumu yang berarti al-Imsak (menahan). Secara terminologis, kata as-Shiyam berarti menahan diri dari segala sesuatu (yang membatalkan as-Shiyam), seperti makan, minum, dan hubungan intim.[4] Dengan demikian, puasa (shaum) merupakan ibadah yang mewajibkan setiap Muslim-mukhalaf untuk menahan diri dari sesuatu yang membatalkan tersebut. Ibadah puasa ini dilakukan setahun sekali di bulan Ramadhan, dan syariat ibadah “menahan diri” ini telah disebutkan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan dipertegas dalam Hadits Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu, kita perlu meninjau kembali bagaimana Al-Qur’an dan Al-Hadits membahas tentang puasa ini.

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa pembahasan puasa disebutkan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Ayat yang sering kali dirujuk mengenai kewajiban puasa ialah QS. Al-Baqarah [2]: 183, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Menurut as-Suyuthi dan al-Mahalli dalam Tafsir Jalalain, puasa yang diwajibkan itu dapat menjaga diri dari maksiat, karena puasa dapat membendung syahwat yang menjadi faktor utama kemaksiatan.[5] Dan perintah untuk menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan, termaktub dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185, yang artinya:

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.”

Di dalam ayat di atas, kita sebagai umat Islam diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan. Sebab, di bulan itu, mukjizat agung yang diberikan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad turun, yakni Al-Qur’an. Maka, telah jelas bagi kita, bahwa puasa di bulan Ramadhan merupakan kewajiban bagi “orang-orang yang beriman”. Sehingga, bagi mereka yang mengaku Mukmin, hendaknya melaksanakan perintah ini dengan sebaik-baiknya. Dan, bagi mereka yang enggan menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan, kendati mereka mengaku Mukmin, sejatinya mereka adalah orang-orang yang kufur. Tentu, pembahasan semacam ini telah dijelaskan secara jelas (meski terdapat khilaf) oleh para ahli fikih.[6] Selain itu di beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang puasa, seperti dalam konteks membayar fidiah, diat, atau kafarat (QS. Al-Baqarah [2]: 184, 187, 196 (dua kali) dan QS. An-Nisa [4]: 92); dan seterusnya.

Kemudian, hadits Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa puasa di bulan Ramadhan ini merupakan rukun Islam, yang artinya: “Islam dibangun atas lima hal, yakni syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadist lain, Rasulullah juga menegaskan kewajiban ibadah puasa, yang artinya: Dari Thalhah bin Ubaidillah bahwa seseorang datang kepada Nabi dan bertanya: “Ya Rasulullah, katakan padaku apa yang Allah wajibkan kepadaku tentang puasa?”, Nabi menjawab: “Puasa Ramadhan”. Orang itu berkata lagi: “Apakah ada lagi selain itu?”, Nabi menjawab: “Tidak, kecuali puasa sunnah” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian, Rasulullah juga bersabda tentang orang yang berpuasa dengan berlandaskan iman dan pengharapan (pahala), sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang berpuasa (pada bulan) Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan (pahala), niscaya diampuni baginya dosa yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Membaca ayat Al-Qur’an dan hadits di atas memberikan kejelasan kepada kita, bahwa puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib, dan tidak ada keraguan terhadapnya. Dan bagaimana kita menunaikan ibadah puasa Ramdhan dengan landasan iman yang kuat dan pengharapan (ihtisaban), sehingga dosa-dosa kita yang telah lalu diampuni oleh Allah Swt. Penjelasan di dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut masih bersifat imperatif, dan hal ini umum kita ketahui. Dengan kata lain, makna puasa yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dihadirkan dalam bagian ini masih bersifat normatif, nuansa ukhrawi-nya masih jelas, dan sekedar memberi informasi kepada kita semua, bahwa ibadah puasa di bulan Ramadhan itu wajib.

Puasa Umat Terdahulu: Sekilas Sejarah

Sebelumnya kita berusaha memahami bagaimana puasa di bulan suci Ramadhan merupakan syariat yang wajib ditunaikan dari tinjauan Al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, ayat yang menjadi rujukan mengenai ibadah puasa ini ialah QS. Al-Baqarah [2]: 183. Di dalam ayat ini terdapat penggalan yang secara eksplisit menyebutkan bahwa kita diwajibkan berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada “umat terdahulu” (..Kama kutiba ‘ala al-Ladzina min Qoblikum). Sehingga jelas, bahwa sebelum umat Nabi Muhammad diwajibkan untuk berpuasa (di bulan Ramadhan), umat-umat terdahulu sudah diwajibkan berpuasa seperti halnya kita.

Mengenai ayat Kama kutiba ‘ala al-Ladzina min Qoblikum ini, Imam al-Qurtubi menghimpun beberapa pendapat ulama. Misalnya, menurut Muhahid, bahwa Allah Swt. mewajibkan puasa Ramadhan selama satu bulan penuh kepada setiap umat. Kemudian, ulama lain menyatakan, mereka (umat terdahulu) menentukan puasa satu hari sebelum (datangnya) bulan puasa dan satu hari setelah bulan puasa (berarti di bulan Syawal). Cara seperti ini dilakukan selama berabad-abad lamanya hingga akhirnya mereka puasa mencapai lima puluh hari. Ketika musim panas tiba, mereka kesulitan untuk berpuasa, kemudian mereka memindahkan bulan puasa itu di musim semi (pendapat ini diperkuat oleh an-Nuqasy, dan menambahkan riwayat dari Daghfal bin Hanzhalah, Hasan al-Bashri, dan as-Suddi).[7]

Sedangkan, berkenaan dengan hal itu, al-Qurtubi menyatakan: “Oleh karena itu, mengapa umat saat ini dimakruhkan berpuasa pada hari yang diragukan, dan juga pada enam hari pada bulan Syawal yang tersambung dengan Idul Fitri”. Selanjutnya, asy-Sya’bi memiliki pendapat: “Jika aku melakukan puasa satu tahun penuh, maka aku tidak akan berpuasa pada hari yang diragukan. Hal ini dikarenakan umat Nasrani juga telah diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan”. Kemudian, ulama lain berpendapat, persamaan dari penggalan ayat “Ya ayyuha al-Aladzina amanuu kutiba ‘alaikum as-Shiyaam” dengan “Kama kutiba ‘ala al-Ladzina min Qoblikum” (maksud persamaan di sini berkenaan dengan “puasa” yang diwajibkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia) ialah soal “kewajiban” puasa, bukan pada cara atau waktu. Ulama lainnya lagi berpendapat, persamaannya ialah pada sifat dari puasa itu sendiri, yakni “menahan lapar” dan “haus”. Hanya saja larangan berhubungan suami-istri tidak hanya dilarang di siang hari saja, melainkan juga di malam hari (lalu Allah Swt. membolehkan dan menasakh pelarangan ini dengan firman-Nya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu” [QS. Al-Baqarah: 187]). Demikianlah puasa yang dilakukan kaum Nasrani, dan kemudian diterapkan juga pada awal turunnya agama Islam.[8]

Pendapat di atas juga disampaikan oleh as-Suddi, Abul Aliyah, dan Rabi’. Sedangkan Mu’adz bin Jabal dan Atha’ berpendapat bahwa persamaannya ada pada “ajaran puasa” itu sendiri, bukan pada sifat dan perhitungannya. Setelah itu makna kutiba ‘alaikum as-Shiyaam merupakan puasa pada awal Islam ialah tiga hari di setiap bulannya, dan hari Asyura. Dan makna Kama kutiba ‘ala al-Ladzina min Qoblikum ialah orang-orang Yahudi (menurut tafsiran Ibnu Abbas) juga tiga hari setiap bulannya, dan hari Asyura.[9] Kemudian hal ini di-nasakh untuk umat ini (Islam) menjadi di bulan Ramadhan. Mu’adz bin Jabal menambahkan: “Setelah penasakhan itu, kemudian firman Allah Swt. yang berbunyi ‘Ayyaman Ma’dudaati’ (yaitu dalam beberapa hari tertentu) juga di-nasakh menjadi tiga puluh hari di bulan Ramadhan”.[10]

Secara historis, umat-umat terdahulu juga menjalankan puasa. Selain yang telah dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi di atas, Nabi Daud ‘alaihissalam dan umatnya juga diwajibkan untuk berpuasa.[11] Bahkan, mereka diwajibkan melaksanakan ibadah puasa seumur hidup—dengan setiap dua hari sekali berselang-seling. Puasa Nabi Daud ini yang sekarang kita kenal “Puasa Daud”. Dalam hadits Nabi Muhammad Saw., puasa ini dijelaskan sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata: bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Shalat (sunnah) yang paling dicintai Allah Swt. adalah shalat (seperti) Nabi Daud alaihissalam. Dan puasa (sunnah) yang paling dicintai Allah Swt. adalah puasa (seperti) Nabi Daud. Beliau tidur separuh malam, lalu shalat seper tiga-nya dan tidur satu per enam-nya lagi. Beliau puasa sehari dan berbuka sehari” (HR. Bukhari).

Dalam hadits lain juga dikatakan demikian,

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Puasalah sehari dan berbukalah sehari. Itulah puasa (yang dilakukan) Nabi Daud dan (puasa) itu adalah puasa yang paling utama. Aku (Ibnu Umar) menjawab: “Aku mampu lebih dar itu”. Nabi Muhammad Saw. berkata: “Tidak ada lagi yang lebih utama dari itu” (HR. Bukhari).

Selain Nabi Daud dan umatnya, Allah Swt. juga mewajibkan puasa kepada Siti Maryam, seorang perempuan suci yang mengandung Nabi Isa ‘alaihissalam.[12] Hal ini telah jelas disebutkan dalam QS. Maryam [19]: 26, yang artinya: “Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini’”. Dan karena Maryam sedang berpuasa (yang tidak membolehkan dia makan, minum, dan berbicara), maka saat ia ditanya tentang siapa ayah dari putra yang digendongnya, Maryam tidak menjawab dan hanya menujuk ke Nabi Isa. Kemudian Nabi Isa yang masih dalam gendongan Maryam itu menjawab pertanyaan tersebut. Demikian disebutkan dalam QS. Maryam [19]: 27-30, yang artinya: 

“Dia (Maryam) membawa dia (bayi itu) kepada kaumnya dengan menggendongnya. Mereka (kaumnya) berkata, ‘Wahai Maryam, sungguh, engkau benar-benar telah membawa sesuatu yang sangat mungkar’ (27). ‘Wahai saudara perempuan Harun (Maryam), ayahmu bukan seorang yang berperangai buruk dan ibumu bukan seorang perempuan pezina (28). Dia (Maryam) menunjuk kepada (bayi)-nya (agar mereka bertanya kepadanya). Mereka berkata, ‘Bagaimana mungkin kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?’ (29). Dia (Isa) berkata, ‘Sesungguhnya aku hamba Allah. Dia (akan) memberiku Kitab (Injil) dan menjadikan aku seorang nabi’ (30)”.

Dari uraian di atas telah jelas, bahwa umat terdahulu juga disyariatkan untuk berpuasa. Hanya saja, dalam konteks Nabi Daud dan Siti Maryam, merupakan syariat puasa belaka yang tidak berhubungan dengan puasa di bulan suci Ramadhan. Sedangkan puasa Ramadhan di masa Rasulullah diwajibkan pada 10 Sya’ban di tahun kedua setelah Rasul hijrah ke Madinah. Semenjak itulah Rasulullah menjalankan puasa Ramadhan hingga wafat. Beliau menjalankan puasa sebanyak sembilan kali dalam sembilan tahun (maksudnya hanya menemui sembilan Ramadhan). Dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam Nawawi berpendapat: “Rasulullah puasa di bulan Ramadhan selama sembilan tahun. Sebab puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, kemudian beliau (Rasulullah) wafat pada bulan Rabi’ul Awwal tahun kesebelas hijriyah”.[13]

Menyingkap Spirit dan Nilai Pembebasan dalam Ibadah Puasa

Memandang ibadah puasa dengan hanya memaknainya sebagai ibadah vertikal-transendental (habluminallah) semata tentu tidak akan berdampak secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Apalagi, kehidupan kita saat ini tidak mungkin dilihat secara hitam-putih. Berbagai persoalan sosial seperti diskriminasi, subordinasi, rasisme, penindasan, perbudakan, hingga persoalan ekologis menjadi problem yang tidak dapat kita abaikan begitu saja dengan pura-pura buta dan tuli. Belum lagi problem kemiskinan, jumlah pengangguran yang kian melonjak, dan cengkeraman cakar borjuis di pelosok desa. Hal ini hanya sebagian masalah yang kita temui secara “kasat mata” saat ini.

Seperti yang kita tahu, penindasan atau tindakan diskriminatif oleh golongan tertentu, di era kontemporer ini sukar sekali dipahami jika hanya menggunakan “mata telanjang”. Penindasan yang mereka lakukan berjalan secara sistematis, misalnya melalui hukum, pendidikan, kebudayaan, dan seterusnya. Upaya monopoli ekonomi juga dilakukan dengan merekayasa sistem, dan hegemoni politik dilakukan seperti yang dikatakan Althusser: interpelatif. Oleh sebab itu, kita perlu membaca fenomena demikian dengan pembacaan yang sangat serius, karena praktik yang telah saya sebutkan itu juga persoalan yang real dan “serius”. Pembacaan yang serius itu, dalam konteks puasa ini, saya menggunakan perspektif cendekiawan Muslim yang memiliki perspektif kritis-liberatif seperti Asghar Ali Engineer, Hasan Hanafi, Farid Esack, dan lain sebagainya.

Ketika menjelang, atau telah masuk bulan Ramadhan, biasanya para ulama, mubaligh, dan khatib di saat khotbah Jum’at menjelaskan tentang faedah, pahala yang didapatkan, dan nasihat-nasihat muktabar tentang puasa. Biasanya hal itu dibubuhi ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad, dan maqolah ulama. Misalnya, “Puasa adalah separo dari sabar” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah), “Surga mempunyai pintu yang dinamakan Rayyan, tidak akan memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari dan Muslim), atau “Seorang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan: sekali pada saat berbuka, dan sekali lagi ketika berjumpa dengan Tuhannya kelak” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan hadits semacam ini ditambah oleh pendapat ulama tentang keutaman puasa yang dirujuk di dalam kitab-kitab, misalnya kitab Durrotu an-Nasihin fi al-Wa’dhi wa al-Irsyad karya Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri Al-Khubawi.[14]

Cara baca tentang ibadah puasa seperti di atas kurang menarik dalam konteks menyelesaikan masalah sosial yang sampai saat ini masih belum terselesaikan. Oleh karena itu, pertanyaan yang perlu kita ajukan (berkenaan dengan puasa): bagaimana puasa ditinjau dalam perspektif kritis? Apakah puasa mengandung spirit dan nilai-nilai pembebasan? Bagaimana kita menjalankan ibadah puasa dengan spirit pembebasan?

Ibadah puasa, dalam pandangan Hasan Hanafi, bukan sekedar ritual keagamaan, akan tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai kebebasan spiritual dan sosial.[15] Menurut cendekiawan Muslim asal Mesir ini, puasa merupakan wujud resistensi terhadap berbagai bentuk penindasan yang ada di dalam realitas kehidupan. Sehingga, puasa dalam pemahaman ini berarti menolak segala kebiasaan, sifat, dan tindakan negatif yang dapat merugikan orang lain, melukai kemanusiaan, dan yang berpotensi merusak persaudaraan. Selain itu, Asghar Ali Engineer, seseorang yang mempopulerkan Teologi Pembebasan Islam, memiliki pandangan bahwa seseorang tidak bisa disebut beriman jika hanya menyatakan secara verbal. Oleh karena itu, mereka yang tidak berjuang untuk membebaskan masyarakat yang tertindas dan lemah, bukanlah seorang Mukmin sejati.[16] Dalam Al-Qur’an dikatakan: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut [29]: 2). Dan berkenaan dengan perjuangan itu, secara eksplisit Rasulullah bersabda: “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa tiran” (HR. Abu Daud).

Salah satu simtom keimanan seseorang ialah menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Hal itu sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183 yang telah diuraikan di muka. Maka, dalam konteks puasa ini, adalah hal wajib bagi setiap Mukmin untuk membebaskan diri dan orang lain dalam cengkeraman hawa nafsu. Mengenai hal ini, Engineer menegaskan, bahwa seseorang tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu. Sebab, hawa nafsu itu dapat mendorong berbuat zalim, menindas, atau dapat membuat seseorang melakukan sesuatu yang bisa melukai orang lain.[17] Larangan mengikuti hawa nafsu ini juga dikatakan dalam Al-Qur’an, yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan” (QS. An-Nisa’ [4]: 135).

Dengan merujuk pada ayat di atas, sudah barang tentu jelas bagi kita, bahwa mengikuti hawa nafsu (nafsu kekuasaan, menindas, merendahkan orang lain, atau nafsu tidak peduli dengan kesengsaraan yang dialami sesama) merupakan sumber kerusakan. Dan dalam hal ini, Islam mewajibkan kita berpuasa untuk melawan hawa nafsu tersebut. Memerangi hawa nafsu, berarti juga memerangi penindasan. Sebab, mereka yang menindas, menipu, dan merekayasa hukum, sosial maupun politik tidak lain hanya menuruti hawa nafsu mereka sendiri. Oleh karena itu, puasa juga suatu manifestasi perlawanan umat Islam di seleuruh dunia dalam rangka melawan penindasan di muka bumi ini. Berarti, setiap Muslim yang menjalankan ibadah puasa, tapi tetap tidak peduli dengan gerakan pembebasan, atau justru mendukung penindasan yang dilakukan golongan tertentu, sejatinya ia sedang tidak berpuasa.

Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan juga merupakan wacana tentang pernghormatan hak-hak kemanusiaan. Menurut Arkoun, iman menginternalisasikan hak-hak Allah (huquq Allah), dan dengan begitu mereka memiliki tugas untuk menghormati kondisi sosial dan politik. Hal ini bermaksud untuk merefleksikan secara penuh hubungan antara hak-hak Allah dengan hak-hak manusia (huquq adam). Dengan kata lain, penghormatan terhadap hak-hak manusia merupakan aspek dari, dan kondisi dasar untuk, penghormatan terhadap hak-hak Allah.[18] Sehingga, menunaikan ibadah puasa seyogianya juga merupakan perenungan atas hak-hak manusia yang selama ini sering kali kita abaikan.

Seperti yang kita ketahui, hak asasi kita dibatasi oleh hak orang lain. Maka, menjarah hak orang lain berarti suatu perbuatan yang tidak bisa dibenarkan. Apalagi membatasi hak, merenggut hak, dan sama sekali tidak memperdulikan hak-hak orang lain. Misalnya, mengkriminalisasi masyarakat adat tertentu, membatasi kebebasan berpendapat atau berkreasi, dan membungkam suara untuk mengubur “kebenaran”. Tindakan semacam ini adalah membatasi hak-hak manusia. Karena kita mengaku sebagai orang yang beriman, dan salah satu bentuk keimanan kita yaitu dengan menjalankan ibadah puasa, maka sudah seharusnya kita menghormati hak-hak manusia lainnya (entah dia Muslim atau bukan). Dengan demikian, melawan penindasan, senantiasa mengatakan kebenaran, dan berpikir serta melakukan gerakan real untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan yang dilakukan oleh para tiran adalah spirit yang ada di dalam puasa. Dan menghormati hak-hak kemanusiaan, adalah nilai yang terkandung dalam ibadah puasa.

Di bulan suci Ramadhan, kita sering kali merefleksikan bahwa orang miskin selalu berada di sekitar kita, dan seakan-akan kita membutuhkan orang miskin untuk mensucikan diri kita. Menurut Farid Esack, seorang cendekiawan Muslim asal Afrika Selatan menyatakan, masih banyak di kalangan Muslim yang memandang bahwa “salah satu alasan mengapa kita (diwajibkan) puasa adalah untuk menujukkan simpati kepada orang miskin dan lapar”.[19] Pemahaman yang demikian ini perlu kita gugat secara terbuka. Siapa yang menciptakan pemahaman semacam ini? Seolah-olah pemahaman itu mengatakan: kita adalah seorang Muslim yang kaya, atau paling tidak berkecukupan. Nalar borjuistik seperti ini perlu kita bongkar, sebab pandangan semacam itu sudah umum di tengah masyarakat kita. Kita bisa melihat bagaimana pemahaman itu sangat borjuistik dan menindas. Secara eksplisit pemahaman itu menandaskan: di mana orang kaya merupakan subjek dalam suatu agama, dan orang miskin adalah objeknya.

Maka dari itu, pemahaman bahwa puasa adalah “ajang” untuk menunjukkan simpati kepada orang miskin perlu kita tanggalkan. Sebab, pemahaman semacam itu sama sekali tidak memiliki spirit pembebasan. Justru, dengan pemahaman itu, kita terjebak ke dalam cara berpikir borjuistik yang menindas—meski tanpa kita sadari. Dan memahami puasa sebagai upaya kita “merasakan” penderitaan orang lain, misalnya merasakan bagaimana orang setiap harinya kelaparan, untuk saat ini sudah tidak menarik lagi menjadi bahan diskursus. Yang menarik adalah, bagaimana puasa kita, ibadah kita, bisa menjadi pendorong agar kita peduli terhadap mereka yang termarginalisasi, senantiasa berpihak kepada yang tertindas, dan senantiasa menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Demikianlah arti puasa yang sesungguhnya. Puasa yang bernilai “membebaskan”. Bukan puasa yang justru membuat kita abai terhadap kemungkaran yang terjadi di bawah kolong langit ini; membuat kita berada berseberangan dengan mereka yang sedang berjuang melawan kezaliman; dan malah membuat kita congkak di hadapan manusia lain.

Pada akhirnya, dengan memahami spirit dan nilai liberatif ibadah puasa ini, kita dapat mengaktualisasikannya di kehidupan nyata sebagai upaya untuk menyempurnakan ibadah puasa Ramadhan. Seperti kata Seyyed Hossein Nasr: “kita harus kembali muda atau terlahir lagi yang membuat kita, setiap Muslim, bersiap untuk menghadapi tahun berikutnya dengan lebih mantap untuk hidup sesuai dengan Kehendak Tuhan”.[20] Kutipan Nasr ini bisa dipahami bahwa bagaimana, setidaknya setelah bulan Ramadhan ini, sensitivitas kemanusiaan kita semakin kuat. Dan kita secara optimis berusaha untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan, belenggu subordinasi, dan senantiasa membela mereka yang termaginalkan. Karena dengan menyatakan kebenaran, melawan penindasan, dan berupaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan adalah tujuan diutusnya para nabi.[21] Dengan begitu, menyatakan kebenaran, membela yang lemah, dan berusaha (dengan segenap kemampuan) membebaskan mereka yang tertindas sama halnya melanjutkan risalah kenabian.***

Yogyakarta, 8 Ramadhan 1446 Hijriyah
Dendy Wahyu Anugrah 

*) Tulisan ini merupakan materi Ramadhan Progresif yang diselenggarakan oleh PK PMII Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi (UNIIB) secara online pada 15 Maret 2025

Catatan Akhir

[1] Fenomena semacam ini banyak terjadi, misalnya di dalam Ormas keagamaan yang ada di Indonesia. Berbagai fatwa, instruksi, dan sejenisnya dijadikan alat legitimatif untuk mendukung kebijakan yang cenderung menyengsarakan umat Islam. Sehingga, di balik fatwa dan dukungan mereka terhadap negara terdapat kepentingan terselubung (yang hanya mementingkan golongan tertentu). Selebihnya silahkan baca; Eko Prasetyo, Islam Itu Agama Perlawanan (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hal. 47

[2] Surah Al-Ma’un ini sering kali dijadikan rujukan untuk membela kaum tertindas, membebaskan mereka yang terbelenggu oleh kesengsaraan yang disebabkan oleh sistem sosial, dan di dalamnya mengandung seruan pembebasan. Untuk memahami lebih jauh tentang tafsir QS. Al-Ma’un ini silahkan baca; Nur Khalik Ridwan, Tafsir Surah al-Ma’un: Pembelaan atas Kaum Tertindas (Jakarta: Erlangga, 2008)

[3] Lihat Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzi al-Qur’an al-Karim (Mesir: Darul Kitab al-Misriyah, n.d), hal. 415

[4] Definisi puasa ini dapat dilihat dalam; Muhammad Abduh Tuasikal, Hadits Puasa dari Bulughul Maram (Yogyakarya: Rumaysho), hal. 1-6; bisa juga dilihat dalam catatan kaki nomor 1; Imam al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqolani, Bulugh al-Maram min Adilati al-Ahkam (Beirut: Darul Ihya’ al-Ulum, 1991), hal. 268

[5] Lihat Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain (Mesir: Darul Hadits, n.d), hal. 27

[6] Mengenai syarat, hukum-hukum, dan seterusnya dalam pembahasan fikih dapat dibaca dalam; Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Ibn Qasim bin Muhammad al-Ghazi, Fath al-Qorib al-Mujib fi Syarh al-Fadzi at-Taqrib (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005), hal. 136-141

[7] Lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkami al-Quran wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Mina al-Sunnah wa Ayi al-Furqan Jilid 2, terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib, dan Nashirul Haq (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), hal. 629

[8] Ibid, hal. 630

[9] Sebelum diwajibkan puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah dan para sahabat telah mendapatkan perintah untuk mengerjakan puasa, yakni puasa tiga hari setiap bulan (Ayyamul bidh) dan puasa tanggal 10 Muharram (Asyura). Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi: “Rasulullah berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dan beliau berpuasa di hari Asyura” (HR. Abu Daud).

[10] Lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkami al-Quran..hal. 630

[11] Lihat Ahmad Sarwat, Sejarah Puasa (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2021), hal 12-14

[12] Ibid., hal 14-15

[13] Lihat Imam Abi Zakariya Muhyiddin bin Syarif an-Nawawi, Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzadzab li as-Syirozi Juz 6 (Jedah: Maktabah Al-Irsyad, n.d), hal. 251

[14] Kitab ini memuat keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, termasuk puasa dan fadhilah shalat tarawih. Selengkapnya lihat; Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri Al-Khubawi, Durrotu an-Nasihin fi al-Wa’dhi wa al-Irsyad (Kediri: Pesantren Fathul ‘Ulum, n.d)

[15] Lihat Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1: Pembacaan atas Tradisi Islam Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2015), hal. 31

[16] Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan (Yogyakarta: LKiS, 1987), hal. 140

[17] Ibid., hal. 143

[18] Lihat Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, terj. Robert D. Lee (New York: Routledge, 2019), hal. 108

[19] Lihat Farid Esack, On Being A Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj. Dadi Darmadi & Jajang Jahroni (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), hal. 40

[20] Dikutip Esack dalam; Ibid, hal. 42

[21] Lihat Ziaul Haque, Revelation & Revolution in Islam (Pakistan: Vanguard Books, 1987). Terutama pada pembahasan The Social Mission of Prophet—Revolutionaries, hal. 30
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak