Tulisan ini tidak sedang secara otoritatif (memang tidak memiliki otoritas apapun) menunjukkan jalan bagi kader IPNU IPPNU untuk bagaimana “harusnya” menjadi seorang kader. Ini hanya wujud sharing mengenai salah satu media yang dapat dilakukan para kader untuk membagikan pengetahuannya itu, yakni dengan menulis. Pelajar memang tidak “jauh” dari aktivitas ini.
Dengan jalan ninja menggores pena, entah mengenai kesan, pengetahuan, gagasan, pengalaman, maupun makna, seorang kader sangat berpotensi menarik kader lain untuk memiliki imajinasi kolektif yang termanifestasi dalam kesadaran berproses dalam IPNU IPPNU, rasa memiliki pada organisasi, bersungguh-sungguh dalam menjalani pengkaderan, dan sebagainya.
Walaupun banyak jalan untuk menebar hal tersebut di atas, saya mengarahkan tulisan ini agar sebuah tulisan menjadi alat untuk menarasikan banyak hal dalam IPNU IPPNU, tidak sekedar menulis berita kegiatan saja, tetapi juga menjadi media untuk menampilkan opini kader yang hubungannya dengan organisasi itu sendiri, dengan fenomena sosial, gagasan baru dan sebagainya.
Peradaban Menulis
Dalam mendapatkan pengetahuan baru, banyak hal perlu dilakukan. Bisa saja seseorang mendapat ilmu dari suatu peristiwa yang dialaminya, tetapi jika menunggu demikian, maka manusia harus benar-benar melakukan banyak hal dengan konteks yang sangat kompleks. Ada hal yang lebih efisien, yakni membaca. Orang tidak perlu melakukan suatu hal, tetapi ia bisa mengetahui (seolah mengalami) tanpa harus melakukannya.Aktivitas membaca berpangkal pada sebuah tulisan (teks/buku) yang ada. Memang arti membaca sangat luas. Namun, membaca buku tidak mengharuskan orang untuk melakukan banyak hal, sebagaimana yang dialami oleh penulis. Disiplin-disiplin ilmu, hingga hari ini diketahui juga sebab tulisan (karya) sampai di zaman ini. Dan dengan karya-karya itu pula, zaman ini dinamakan modern; mereka membaca karya ilmuwan, filsuf terdahulu dan kemudian mengembangkannya.
Jika kita telisik jauh, di abad ke-5 SM, ada tokoh yang tidak pernah menuliskan pemikirannya. Adalah Sokrates yang memiliki pemikiran-pemikiran filsafat di zamannya. Pemikirannya mengenai kebenaran absolut, sebagai antitesa Kaum Sofis, merupakan salah satu buah pikirannya. Lalu, terkait dengan ilmu dan amal yang selaras, yang dalam literatur disebut dengan “keutamaan adalah pengetahuan”, juga diadopsi oleh muridnya, Plato.
Sokrates memang tidak pernah menulis buah pikirannya, tapi murid-muridnya-lah yang menuliskan bagaimana pemikiran Sokrates. Kiat hidup dan pemikirannya hanya didapatkan dari kesaksian Plato, Xenophon dan Aristophanes (Herho, 2016:48). Banyak karya Plato (sifatnya dialog) yang karakternya adalah Sokrates. Meskipun cukup sulit membedakan mana Sokrates historis dan mana Sokrates fiktif (Herho, 2016:48), setidaknya berkat Plato menulis itu, kita menjadi tahu bagaimana pemikiran gurunya.
Begitu pentingnya memahami karya tulis (pemikiran) itu juga terjadi dalam sejarah peradaban Islam. Bahwa Islam dalam imajinasi kolektif pemeluknya masih sama-sama merindukan masa keemasan Islam yang menjadi pusat peradaban pengetahuan. Peradaban Islam sangat maju di masa Daulah Abbasiyah, sebab mengakomodir karya tulis Yunani-Helenistik. Di mana karya-karya filsuf di masa Yunani Klasik hingga Helen-Roman diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Ini menunjukkan Islam pada saat itu sangat terbuka untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bahkan berasal dari non muslim. Penerjemahan itu dilakukan dalam dua periode, yakni dari Bahasa Yunani ke Bahasa Syiria dan dari Bahasa Syiria ke Bahasa Arab (Fathurrahman, 2020:47). Dan filsuf-filsuf yang lahir di masa keemasan Islam pun pada akhirnya menjadi rujukan bagi peradaban modern Barat setelahnya, seperti Ibnu Rusyd yang di Barat dikenal dengan nama Averroes, berdasarkan sebuah metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin (Madjid, 2009:94).
Memang tulisan sangat berpengaruh bagi peradaban. Bahkan Barat yang pernah mengalami masa kegelapan, pada akhirnya memutarbalik keadaan menjadi masa pencerahan, juga sebab mempelajari karya tulis. Sama halnya dengan sejarah keemasan Islam yang mengedepankan ilmu pengetahuan dengan jalan menerjemahkan karya tulis filsuf, Barat juga pada akhirnya terlepas dari abad kegelapan setelah melakukan penerjemahan terhadap karya filsuf-filsuf muslim dalam berbagai bidang ilmu ke dalam Bahasa Latin (Zarkasyi, 2009:5).
Membangun peradaban memang tidak bisa dengan waktu yang singkat. Namun, dari beberapa bukti di atas, setidaknya kita menyadari bahwa tulisan menjadi penyambung peradaban.
Pena sebagai Pengungkap Perasaan
Sangat menarik untuk dibaca kembali, bagaimana sebuah tulisan dapat menggetarkan hati, bahkan kekuasaan. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) merupakan salah satu orang yang akibat tulisannya diasingkan, bersama temannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo.Dalam rangka peringatan hari kemerdekaan Belanda yang ke-100 (15 November), pemerintah Hindia-Belanda melakukan pemungutan uang secara paksa dari bumiputera. Tentu ini menjadikan Ki Hajar Dewantara tidak terima, sebab mereka merayakan "kemerdekaan" di bumi yang mereka jajah dan tidak mereka merdekakan. Sehingga, Ki Hajar Dewantara menulis Als Ik Eens Nederlander Was, yang berarti “Andai Aku Sekejap Saja Menjadi Seorang Belanda”. Berikut kutipannya:
“...Betapa senangnya bisa memperingati hari nasional yang begitu besar. Saya berharap saya bisa menjadi orang Belanda sejenak... Betapa saya akan bersukacita ketika hari-hari yang ditunggu-tunggu datang pada bulan November, hari perayaan kebebasan...”
“...Tidak! Jika saya orang Belanda, saya belum bisa melakukan semuanya…”
“...menurut saya sangat tidak tahu malu, sangat tidak pantas, jika saya membiarkan penduduk asli mengikuti perayaan kemerdekaan kita... Jika saya orang Belanda, maka saya tidak akan merayakan pesta kemerdekaan di negara dimana kita menyangkal kemerdekaan rakyatnya...” (esi.kemdikbud.go.id).
Tulisan ini dimuat di surat kabar De Express dan diperbanyak di percetakan N.V Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij (Wiryopranoto, dkk., 2017: 49). Pemerintah Hindia-Belanda muak dan menyita semua terbitan tulisan Ki Hajar Dewantara itu. Seiring waktu, dengan dalih mengganggu keamanan dan ketertiban, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ditangkap dan diasingkan ke Belanda pada 1913 (Tasen, 2015: 34).
Dari perasaan tidak terima, mewujud menjadi sebuah tulisan. Ini menunjukkan bahwa melalui tulisan, seseorang bisa menaruh rasa yang sedang menyelimutinya di atas kertas. Entah perasaan terhadap diri sendiri, kondisi sosial, dinamika bangsa, fenomena-fenomena buruk yang berasal dari lembaga pemerintahan dan sebagainya.
Narasi Identitas, Ketahanan Berproses dan Penebaran Makna
Kembali kepada kader-kader IPNU IPPNU yang “terpelajar”, seyogianya perlu membangun ekosistem menarasikan banyak hal dalam proses berorganisasinya. Narasi yang dimaksud adalah melalui tulisan, meskipun arti narasi sendiri adalah cerita/bercerita, yang dilakukan secara verbal. Namun, untuk keabadian (meminjam istilah Pramoedya) gagasan, makna, kesan dan perasaan, maka bernarasi dengan menulis adalah salah satu hal yang dapat dilakukan.Menarasikan melalui tulisan dalam proses berorganisasi dimaksudkan pada beberapa hal; kampanye identitas, gagasan, gerakan, kesan dan makna berorganisasi. Tulisan ini pun juga bermaksud demikian, yakni sedang bercerita mengenai kepatutan pelajar NU untuk menulis. Identitas IPNU IPPNU dinarasikan melalui tulisan tidak sekedar bertujuan untuk rekrutmen anggota saja, melainkan juga secara implisit mewartakan daya tawar organisasi ini kepada publik.
Di IPNU IPPNU yang non profit ini, ketahanan berproses adalah hal yang menjadi tantangan tersendiri. Ketiadaan perasaan memiliki terhadap organisasi adalah salah satu hal yang membuat kader-kader tidak aktif, bahkan hilang dari radar. Di sinilah sebuah tulisan mendapatkan ruang dalam menebar nilai persuasi bagi kader yang tidak aktif. Selain juga dilakukan secara emosional.
Berdasarkan fakta yang telah dilalui dalam proses berorganisasi, makna-makna yang disebar melalui tulisan yang dilakukan dengan konsisten, akan membangunkan anggota-anggota untuk kembali menyadari bahwa, secara individual, mereka perlu meningkatkan kapasitasnya dengan berproses, dan secara komunal, mereka dapat mendermakan dirinya dalam perjuangan NU melalui IPNU IPPNU.
Jika tulisan tentang menulis ini terkesan muluk-muluk, dan di era digital ini semuanya serba instan, maka membangun narasi mengenai identitas, ketahanan dan makna berproses bisa dilakukan di media sosial. Memang tidak harus sebagaimana para filsuf menulis pemikirannya agar peradaban selalu diteruskan, menulis narasi-narasi sederhana dalam IPNU IPPNU sangat penting untuk dikampanyekan.
Jika makna-makna sudah tersuratkan, maka selanjutnya bisa-lah sebuah gagasan dinarasikan dalam bentuk tulisan.
Terimakasih.
Oleh: Muhammad Sholeh Muria (IPNU Banyuwangi)
Daftar Rujukan:
Fathurrahman. 2020. Filsafat Islam. Bandung: Manggu Makmur Tanjung Lestari
Herho, Sandy HS. 2016. Pijar Filsafat Yunani Klasik. Bandung: PSIK ITB
Madjid, Nurcholish. 2009. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina & Dian Rakyat
Tasen, G. 2015. Pengasingan Ki Hajar Dewantara (1913-1917). Skripsi Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Wiryopranoto, S., dkk. 2017. Ki Hajar Dewantara “Pemikiran dan Perjuangannya. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Zarkasy, Hamid Fahmi. 2009. Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis). Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS)
Posting Komentar