Asa termenung, mendiamkan diri cukup lama di depan rumah lusuhnya. dia juga tak lagi menangis. Mungkin, karena tak lagi tersisa air mata yang dapat dia keluarkan untuk itu. Lalu dengan raut muka tak bersalahnya dia berkata,
"Bu, bisakah Ibu menenangkan diri terlebih dahulu ... Mari bu, ku buatkan secangkir teh atau mungkin secangkir kopi dan menunggu Ayah pulang."
"Tidak! Bahkan Ibumu yang buruk ini penuh harap bahwa ayahmu akan mati ditelan bumi."
"Jika Ibu pergi ... bagaimana dengan keberlangsungan hidupku, Bu?"
Lalu blandar rumah lusuhnya itu bergetar bagai diterpa bumi. Perempuan itu, Ibunya, mengusap air matanya yang menetes tanpa henti mendengar lamunan wajah anak tak bersalahnya penuh harap untuk Ibunya tetap tinggal dan tak pergi. Anak itu, Asa, harus dipaksa menelan luka dari permasalahan keluarga kecilnya.
***
Sepasang burung dara terlepas terbang ke langit. Dari kedua tangannya, mengudara dan terbang dan lungkrah dan jauh dan kalah.
"Sekali lagi! Aku utang 1 juta untuk taruhan terakhir ini!" umpet seorang lelaki tua, Ayahnya Asa.
Sementara Asa (9 Tahun) hanya duduk melihat ayahnya menaruhkan segala harta serta harga dirinya dalam perjudian panjang yang tak pernah dimenangkan. Lalu Lucksana, sahabat kecilnya. Yang sewaktu itu duduk di sebelahnya. Seorang anak manusia yang menjadi satu-satunya manusia di dunia Asa yang masih memiliki detak hangat. Dalam dialog mereka, ada banyak hal yang tak terucap namun terasa. Pertanyaan-pertanyaan Lucksana bukan sekadar pertanyaan, tetapi pukulan-pukulan kecil yang perlahan membuka luka yang selama ini tertutup oleh kepura-puraan. Seperti:
"Sa, mengapa kau tak ikut lungkrah saja dengan Ibumu?" Pertanyaan itu tajam, nyaris seperti ejekan, tetapi juga sebuah ajakan untuk asa menghadapi kenyataan.
"karena aku mencintai Ayahku." Singkatnya.
"Itu dusta, Sa! Maksudku, kau lahir dari darah daging Ibumu."
"Sekaligus aku juga ada karena darah Ayahku."
"tetapi, menurutku, ibumu baik. Bahkan, sebelum ibumu pergi, dia memberiku uang saku, seingatku, sewaktu itu, dua puluh ribu, dan sebungkus indomie."
"Syukurlah jika kau merasa ibuku baik. Hanya saja, Ibuku tak memberiku apa pun sewaktu dia pergi selain hanya luka. Dan bahkan, hampir aku dibunuh olehnya hanya karena menahannya untuk tetap tinggal dan tak pergi."
"Lalu, mengapa setelah itu kau membunuh adikmu yang jelas tak bersalah itu selepas Ibumu pergi?"
"Ya, karena, sudah tak ada lagi yang adikku miliki di dunia ini."
"Kau! Gila!?"
"Tidak! Terlepas dari aku memanglah membenci segala hal tentang perempuan. Justru aku penuh empati dan tak sudi bila nanti adikku jadi perempuan gila apabila dia tahu kenyataan yang didapat ketika dia sudah dewasa nanti. Aku, lahir dari dosa. Ayah Ibuku bercinta sebelum dia sah menjadi sepasang suami-istri."
"Dari mana kau tahu?"
"Aku lahir tepat 3 bulan setelah pernikahan mereka, dan seharusnya kau sudah tahu apa yang menjadi maksudku. Sementara adikku, lahir dari dosa yang lebih dari sekadar dosa. Adikku, Ayahku, siapa pun itu selain Ibuku dan aku tak ada yang pernah tahu. Bahwa adikku ada bukan karena Ayahku, bukan karena percintaan mereka, melainkan dengan bercinta bersama lelaki bangsat lainnya, selingkuhan ibuku."
"Ibumu selingkuh?"
"Ya! Dan bagaimana bisa aku hidup dengan penjahat seperti ibuku. Dan pernah kau bayangkan sebagaimana hancurnya adikku jika kelak dia tahu tentang kenyataan itu? Aku tidak membunuh adikku karena dendam, penyesalan, ataupun kebencian, tetapi karena aku terlalu mencintainya. Aku tak ingin adikku juga merasakan sakit seperti yang aku rasakan. Dan bagiku, kematian adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan seseorang dari dunia yang penuh luka."
"Aku mengerti, Sa. maaf telah memberimu pertanyaan yang menyinggung sakit mu."
"Tak apa, kau satu-satu sahabatku. Dan sudah seharusnya kau tahu perihal itu."
Sore mendadak datang, sementara azan Magrib sudah berkumandang. Mereka, para lelaki sampah desa yang kalah dalam perjudian pulang satu per satu. Sementara yang menang, merayakan.
Lucksana berdiri dari duduknya lalu mengajak Asa pulang.
"Mari pulang, Sa. Bisa habis nanti kita dimarahi ibuku karena pulang terlarut petang."
"Iya, sebentar, sabar. Aku masih menunggu Ayahku. Sepertinya, hari ini dia kalah lagi, dan menambah utang lagi. Aduh! Pusing kepalaku kalau sudah seperti ini."
"Asa! Ayo, pulang."
"Sabar!"
azan magrib telah berhenti. Satu per satu lelaki sampah desa telah pulang. Tak peduli apakah mereka pulang karena kalah ataupun menang, karena keduanya sudah tidak penting lagi ketika magrib telah datang. Yang jelas, saat magrib datang, mereka harus pulang, dan harus cepat pulang.
Mata Asa berkaca-kaca, memperhatikan satu per satu lelaki sampah desa yang ternyata sudah habis meninggalkan kerumunan penuh dosa itu. Namun Asa masih tak kunjung menemukan Ayahnya.
"Sa... Ayolah, pulang! Mati kita nanti, jika ibuku menemukan kita pulang terlarut magrib." Pinta Lucksana dengan penuh kepanikan.
"ke mana ayahku ini? Biasanya, dia selalu menghampiriku dahulu sebelum dia pulang."
"Sa..., Ayahmu sudah pulang."
"Maksudmu?"
***
Sesungguhnya, Ayahnya Asa telah ber-pulang beberapa minggu setelah Ibunya Asa pergi dengan selingkuhannya.— Saat Asa berumur 7 tahun. Tersayat hati Ayah Asa saat melihat dari kejauhan, di depan rumah mereka, sebuah mobil mewah datang. Hingga saat itu, Asa yang sudah tak lagi bisa menahan kepergian ibunya, memilih untuk menahan tangis di antara pintu dan blandar rumah mereka. Sementara Ibunya melangkah penuh percaya diri menghampiri selingkuhannya, mencium bibir lelaki selingkuhannya dengan bibir kotornya, dan tanpa pamit, Ibu Asa benar-benar pergi.
Kepergiannya meninggalkan luka terdalam bagi mereka secara pribadi dan menyisakan trauma terhadap perempuan. Dalam pikiran dan hati Asa dan Ayahnya, andai saja setiap manusia tak membutuhkan rahim perempuan untuk lahir ke dunia, mereka akan membinasakan seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini, atau mereka berdua yang memilih untuk mati.
***
Di lain pikiran Asa yang saat itu sudah berumur 9 tahun. dia masih menganggap bahwa Ayahnya masih ada dan tak pernah mati. Sebab tak ada satu pun yang peduli saat Ayahnya dahulu mati bunuh diri. Setelah utang menggunung. Kalah Judi. Dan judi, sudah menjadi hobi keseharian Ayahnya meskipun dia berprofesi sebagai Guru Pendidikan Moral dan Pancasila. Sedari kecil, di setiap siang, Asa selalu meminta untuk ikut ke mana pun ayahnya pergi meskipun Asa tahu bahwa Ayahnya akan pergi ke tempat di mana banyak lelaki sampah desa untuk menaruhkan seluruh harta dan harga dirinya untuk berjudi.
Seringkali Ayahnya menolak, namun Asa selalu memaksa untuk ikut. karena hanya di sanalah dia bisa bertemu dengan banyak manusia lain. Asa selalu menganggap bahwa jika hanya di rumah, dia hanya mendengar suara Ibunya yang asyik bermesraan dengan selingkuhannya lewat telepon genggamnya. Maka dengan itupula Ayahnya selalu mengajaknya untuk pergi ke tempat dia berjudi.
Sebagai seorang anak kecil yang tak begitu mengenal benar dan salah. Asa selalu bahagia berada di tempat penuh dosa itu. Setiap hari selalu duduk dan berbincang bersama sahabatnya, Luckasana. Membicarakan hal-hal tak perlu, sampai hal-hal tabu. Sehingga, tempat itu telah melekat di dalam diri Asa. Bahwa untuk bertemu dengan Ayahnya, dia harus berkunjung ke sana. Bahwa setiap kali merindu Ayahnya, dia harus melihat lelaki sampah yang berteriak penuh amarah, menangis penuh penyesalan, dan pulang tidak membawa apa-apa karena kalah dalam sebuah perang panjang yang tak pernah dimenangkan bernama, judi.
***
Lucksana mengulurkan tangannya ke depan muka Asa, lalu kembali berkata.
"Sa ... Ayahmu telah mati ... Dan seharusnya kau sudah tahu, kau ini anak pintar, bahkan aku kalah jauh bila dibandingkan denganmu, tetapi mengapa kau begitu bodoh perihal seperti ini?"
"Maksudmu?"
"Bahwa untuk bertemu seseorang yang telah mati, kau harus berkunjung ke makamnya, lalu berdoa kepada Tuhan, dan meminta untuk mempertemukan dirimu dengan Ayahmu. Setidak-tidaknya berharap bahwa mereka akan menemui mu di mimpi-mimpi dalam tidurmu."
—Dan Ayahnya, lelaki yang selalu dia cari di antara nasib sekumpulan pecundang yang kalah judi, ternyata sudah lama tidak ada. Tetapi Asa tidak pernah ingin menerima itu. dia tetap kembali ke tempat itu setiap hari, duduk di antara bau keringat dan amarah lelaki-lelaki yang kehilangan segalanya. Baginya, selama ada meja judi, selama sepasang burung dara masih hidup dan melahirkan, selama masih ada yang bertaruh, selama itu pula Ayahnya masih ada di sana, masih hidup di antara kekalahan yang tak pernah bisa dimenangkan.
Namun, kenyataan dia dapatkan selalu lebih kuat dari sekadar ilusi. Dan pada akhirnya, dia harus menerima bahwa Ayahnya telah lama mati.
"Kau tahu jalan menuju makam?" Tanya Asa penuh harap.
"Mari, ku tunjukkan jalan kepadamu." Jawab Lucksana, seolah itu adalah sesuatu yang sederhana.
Lucksana, dengan tangan kecilnya yang tak seberapa kuat, menuntunnya ke makam, ke tanah yang selalu sunyi dan dingin.
***
Dan pada keheningan di suatu makam. Asa membaca satu per satu setiap nisan yang ada. Namun dia tak pernah sekalipun menemukan nisan yang tertuliskan makam Ayahnya.
"Siapa nama Ayahmu?" Tanya Lucksana.
"Nur!"
"Nur siapa? Di sini ada 6 nisan bernama Nur. Ada Nur Muhammad, ada Nur Bisri, ada Nur Hakiki, ada Nur Syafi'i, ada Nur Hambali, Ada Nur Cristianu. Di antara nama-nama ini, yang mana nama ayahmu?"
"Ayahku, namanya, Nur, itu saja. Tak ada imbuhan."
Menyadari bahwa tak ada satu pun nisan yang tertuliskan nama Nur. Asa menatap ujung barat langit yang sewaktu itu bernama Senja. Indah!—Ciptaanku memang selalu sempurna dan indah. Meski begitu, bukan Senja yang Asa dapati, melainkan tanah. Asa menyadari bahwa jikalau tak ada nisan milik Ayahnya, setidaknya tanah tetaplah tanah. Bahwa di mana pun Ayahnya terkubur, setiap tanah akan selalu bertaut. Maka dengan itupula Asa duduk bersila di antara tanah. Tentunya, Lucksana juga turut serta mengikuti kelakuannya. Mereka berdoa, untuk Ayahnya. Mereka berdua duduk di antara tanah, bukan di depan batu nisan, tetapi di antara debu yang tak bernama, berdoa untuk seseorang yang mungkin sudah lama dilupakan oleh dunia.
Dan yang Asa tak tahu, Ayahnya memanglah bunuh diri dan mati setelah amarahnya membakar pasar kupu-kupu malam sampai hangus dan habis. Namun bukan karena menggunungnya utang yang disebabkan oleh judi. Melainkan bahwa saat itu, Ayah Asa melangitkan angannya bahwa insan tersayangnya telah mati. Maka dengan itupula dia memilih untuk menghendaki kematiannya dengan membunuh dirinya sendiri. Lalu menjadi hantu-hantu masa kecil yang menghantui setiap gang-gang desa di setiap hari kamis malam Jumat. Berharap akan bertemu dengan kekasihnya yang selalu dia sakiti dan telah mati mendahuluinya karena menanggung rindu. Dan tak satu pun anak manusia yang memberitahunya bahwa kekasihnya telah hidup bahagia dengan keluarga kecil barunya di rumah barunya.
Hingga pada senja yang telah digantikan oleh petang.—Setelah magrib. Mereka berdua mendengar teriakan seorang ibu dari pintu makam, Marsati, Ibu Asa. Yang setelah kepergian kedua orang tua Asa, Ibu Marsati dengan sepenuh hati merawat Asa karena terlarut dalam kisah perjalanan hidup Asa yang sungguh penuh luka.
Ibu Marsati melangkah pelan-pelan menghampiri Asa dan Lucksana di tengah makam. Di sisi lain, Lucksana panas dingin karena kedapatan tak pulang sebelum magrib. Sementara Bu Marsati hanya tersenyum tanpa caci-maki ataupun perlakuan fisik terhadap Asa dan Luksana. karena Bu Marsati mengerti, penuh empati, dan menyadari bahwa mereka berdua, Asa dan Lucksana, melakukan hal yang sama setiap hari, tanpa henti, tanpa sadar, di setiap bangun tidurnya, sepulang sekolahnya, mereka selalu berkunjung ke tempat penuh dosa (tempat judi), lalu berkunjung ke makam, lalu duduk bersila di tengah-tengah keheningan makam.
Hingga suatu ketika mereka berumur 19 tahun, hari-hari yang Asa dan Lucksana lalui terhenti. Tepat di hari pertama ketika Lucksana juga turut serta pergi, berpulang, dan mati. Asa kehilangan satu-satunya suara yang masih berbicara padanya. Dan sejak saat itulah Asa benar-benar sendiri lagi.—Kematian Lucksana menjadikan Bu Marsati berubah menjadi perempuan liar yang meruah. Menangis setiap hari dan melamunkan nama anaknya. Bu Marsati seperti kehilangan separuh napas di dalam garis hidupnya. Kehilangan seorang anak, berarti kehilangan hidup.—Perihal Asa, meskipun sebelum-sebelumnya Bu Marsati telah menanggap Asa sebagai anak kandungnya, semenjak kepulangan Lucksana, Asa seperti tak lagi ada.
Pada akhirnya, Asa membunuh Bu Marsati untuk ber-pulang dan menjemput anaknya, Lucksana. karena Asa tak tega melihat Bu Marsati hampir seperti perempuan gila yang mengangankan Lucksana untuk kembali di pelukannya dan menangis sepanjang hari tiada henti.
Dan selepas kematian Bu Marsati, hidup Asa berjalan dengan keheningan. Bukan keheningan yang penuh kedamaian, tetapi keheningan yang terasa seperti jurang yang tak berdasar. Masa kecil Asa ini bukan kisah tentang harapan, bukan kisah tentang cahaya di ujung lorong. Namun seperti kisah tentang seseorang yang tumbuh di antara puing-puing, yang hidup dalam bayangan dosa dan penyesalan, yang akhirnya mengerti bahwa di dunia ini, tidak semua luka bisa sembuh, tidak semua pertanyaan bisa menemukan jawaban, dan tidak semua kekalahan bisa dimenangkan.
Tetapi tetap saja, Asa masih ada. Asa adalah luka yang terus berjalan, sebuah kisah yang tidak berakhir di titik terakhir keusangan ini. Karena anak-anak seperti Asa tidak pernah benar-benar hilang, mereka hanya terus hidup dalam dunia yang tidak pernah memberi mereka pilihan selain bertahan, dan membunuh untuk menyelamatkan setiap rupa yang dia sayangi.
Seruni, 1 Maret 2025.
Oleh: Ferdian N. Yudistiro
Posting Komentar