BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Kritik Nalar Seksisme

Pena Laut -
Terhadap apa yang berhubungan dengan perempuan selalu menarik untuk dikaji dan terus ditafsir lebih lanjut. Sebab isu persoalan gender hingga kini terus di diperbincangkan dalam ruang publik hingga domestik rumah tangga. Perbedaan gender sering menjadi objek kriminalita di beberapa konstruksi sosial terutama dalam kultur fungsional masyarakat.

Stigma terhadap perempuan acap kali masih terafiliasi dari budaya patriarki yang masih mengembang di benak masyarakat. Fakta sosial membuktikan hampir sepanjang zaman kaum laki laki berada pada posisi superior sementara perempuan selalu ditempatkan pada inferior. Hal ini yang menyebabkan ketimpangan relasional dalam panggung kehidupan masyarakat. Salah satu contoh kasus yang bisa kita lihat, yakni isu seksisme di ranah politik.

Dalam akhir akhir ini, isu seksisme kembali menjadi perhatian, terutama terkait bagaimana seorang anggota legislatif Komisi X DPR RI, Ahmad Dhani, menggunakan narasi yang merugikan perempuan dalam sebuah rapat kerja bersama Kemenpora dan PSSI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu, 5 Maret 2025.

Menurutnya, PSSI sebaiknya melegitimasi pemain sepak bola asing yang berusia di atas 40 tahun untuk dinaturalisasi dan dijodohkan dengan perempuan Indonesia. Tujuannya agar anak-anak mereka bisa menjadi atlet berbakat, dan kelak anak yang dihasilkan dari perjodohan tersebut dapat generasi pemain sepak bola mendatang. 

Lebih jauh, ia menyinggung pernyataannya dengan persoalan agama, bahwa jika pemain tersebut beragama Islam, maka mereka bisa menikahi hingga empat perempuan sesuai ajaran agama. Ujaran yang digelontorkan merupakan representasi dari sikap seksisme sebagai paham yang merujuk pada perilaku dan kebiasaan merendahkan perempuan terhadap laki laki.

Sebagai seorang perempuan sekaligus pegiat literature gender, saya merasa tercederai dengan pernyataan yang disampaikan oleh tokoh publik tersebut. Dalam kontrol kebijakan publik pernyataan yang disampaikan tentu merupakan sebuah kesalahan berpikir (logical fallacy), yang sebagaimana seharusnya menawarkan solusi inklusif terkait permasalahan yang dihadapi, justru menunjukkan kalimat sarkas terhadap perempuan yang mereduksi sebagai alat produksi tanpa berkeadilan dan kebebasan. Parahnya lagi, si mafia gender tersebut memanfaatkan ajaran agama secara serampangan demi mendukung gagasannya.

Bentuk Dehumanisasi terhadap Perempuan dan Anak

Mengutip pendapat oleh Simone de Beauvoir (1908-1986), filsuf perempuan dan tokoh feminisme Prancis dalam bukunya Le Deuxième Sexe atau The Second Sex (1949). Ia mengatakan bahwa Perempuan digambarkan seolah tak punya kehadiran, sebab yang memberi makna adalah lelaki. Ia tak punya kebebasan, kesetaraan dan keluhuran martabat sebagai manusia. Seonggok tubuh perempuan tak lain adalah objek pelampiasan nafsu, kekesalan, kekecewaan, dan kekejian Maskulinitas dari laki laki.
 
Dalam pandangan tokoh DPR tersebut bisa diseret kedalam bentuk diskriminasi perempuan yang dinilai sebagai alat strategi biologis atau dijadikan sebagai wadah untuk membiakkan regenerasi pemain sepak bola, bukan sebagai manusia yang memiliki hak, keinginan, dan kebebasan untuk memilih. Hal ini menunjukkan bahwa nilai perempuan hanya bisa diatur oleh martabat laki laki. Sebuah cara pandang patriarkis ekstrem yang menempatkan perempuan sebagai alat reproduksi tanpa mempertimbangkan hak hak manusia.

Dari gagasan tersebut yang mencerminkan sifat seksisme eksplisit, bahwa perempuan hanya sebagai pemuas nafsu dan wadah reproduksi. Hal ini tak lain merupakan Sebuah kepercayaan bahwa jenis kelamin laki laki lebih berharga dari pada perempuan. Selain itu, pernyataan tersebut juga bermuatan rasisme terhadap negara yang merendahkan martabat Indonesia dengan kualitas laki-laki pesepakbola dari luar negeri memiliki sifat genetik yang lebih baik daripada dari Indonesia.
 
Sebagai seorang tokoh publik, Ahmad Dhani tidak seharusnya mengatakan demikian, alih alih membicarakan bahwa perempuan juga bisa menjadi atlet hebat dan bisa mengembangkan citra sepakbola di kancah internasional, justru memperkuat bias gender yang seharusnya budaya patriarki yang tertanam dalam masyarakat menjadi semakin sempit dan tidak ditemukan ruangannya.

Selain itu, dari pernyataan Ahmad Dhani yang tak lain sebagai ujaran sarkas terhadap perempuan, hal tersebut juga mengandung sifat dehumanisasi terhadap anak. Disini Ahmad Dhani berasumsi bahwa jika seorang ayah merupakan karir dari atlet sepakbola, maka anak yang dilahirkan harus menjadi apa yang diharapkan orang tua. Padahal setiap anak memiliki karakteristik nya tersendiri, jika hal tersebut terlalu menekankan dan mengekang seorang anak untuk mengikuti jejak yang sama, maka hal ini tentu melanggar hak asasi manusia dalam memilih kebebasannya. Dan hak asasi manusia telah ada sejak pertama kali ia dilahirkan.

Justru anak yang tumbuh dengan kasih sayang orang tua akan lebih bahagia. Kebebasan anak untuk membentuk karakter dan mengenal diri sendiri. Disini peranan orang tua ialah memberikan ruang kepada anak untuk mengeksplore hal-hal yang ingin mereka tekuni. Skill of life memberi bekal hidup bagi anak agar memiliki rasa percaya diri, jiwa kepemimpinan dan pengendalian diri yang baik, bukan malah memaksa dan mengekang guna menyesuaikan apa yang versi kita inginkan.

Anak bukanlah produk yang bisa dibentuk sesuai keinginan orang tua semata. Mereka adalah individu yang berbeda, dimana mereka juga memiliki pemikiran, perasaan, dan potensi unik yang harus dihargai dan dikembangkan, bukan sekadar diprogram agar sesuai dengan ekspektasi sosial atau keluarga.

Interpretasi yang Keliru tentang Poligami

Pernyataan salah kaprah yang juga dikatakan oleh Ahmad Dhani ialah ketika ia menyinggung terkait pemain sepak bola yang dinaturalisasi beragama Islam, maka mereka bisa menikahi hingga empat perempuan. Interpretasi dari ujaran demikian begitu serampangan mengambil kaidah agama tanpa maksud dari makna kontekstual dalilnya.
 
Adapun Surah An-Nisa’ ayat 3 yang sering dijadikan dasar bagi praktik poligami justru menekankan keadilan sebagai syarat utama. Ayat tersebut berbunyi:

“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,” (QS An Nisa ayat 3).

Kendati demikian, sebenarnya islam tidak memerintahkan poligami, tidak mewajibkan poligami, dan tidak menganjurkan poligami. Melainkan hakikat pernikahan dalam Islam bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Untuk menafsirkan ayat ini, perlu pemahaman yang komprehensif terkait konteks sejarah, makna bahasa dan alasan dibalik turunnya ayat tersebut. Sebagaimana Prof Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa surah an-Nisa’ ayat 3 bukanlah ayat yang menganjurkan atau bahkan mewajibkan melakukan poligami, akan tetapi sebagai bentuk penekanan dalam rangka melakukan pernikahan monogami. Dan bisa juga ditinjau dari pernyataan menurut Syekh Wahbah Az Zuhayli, praktek poligami tidak menggambarkan bangunan yang ideal bagi rumah tangga muslim. Dikatakan bangunan yang ideal adalah ketika suami memiliki satu istri saja atau monogami. Praktek poligami hanya diperbolehkan pada kondisi darurat.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadikan poligami sebagai alat memproduksi atlet bukan hanya merupakan bentuk penyalahgunaan ajaran Islam. Tetapi juga menempatkan perempuan dalam posisi subordinat yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.

Dengan persoalan seksisme seperti ini sebenarnya telah lama terjadi oleh kelompok manusia yang tidak mau mengakui kesetaraan gender. Ini bukan hanya terjadi dalam ruang politik, tetapi sosial dan budaya juga turut melingkupinya. Tindakan diskriminatif merupakan suatu hal yang menyakitkan bagi orang lain, kata kata sinis yang melecehkan adalah hal yang tidak bisa ditoleransi.

Usulan Ahmad Dhani dalam rapat DPR RI tidak bisa dibenarkan. Pemikiran seperti yang Ahmad Dhani gelontorkan tidak boleh dibiarkan tanpa kritik. Khususnya para kaum perempuan perlu menyadari bahwa ucapan atau tindakan seksisme harus segera dihentikan agar tidak berlarut larut. Kaum Hawa perlu memahami bahwa seksisme adalah ilegal dan harus memperjuangkan hak dan harga diri mereka. Perlawanan terhadap seksisme harus terus dilakukan agar praktik diskriminasi ini tidak menjadi lebih parah di masa yang akan datang.
 
 
Oleh: Novia Ulfa Isnaini (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN KH Ahmad Shiddiq Jember)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak