Menehono busana marang wong kang wuda; Menehono pangiyup marang wong kang kaudanan.
Pena Laut - Peradaban umat manusia di masa lalu meninggalkan banyak hal yang bersifat enigmatik. Bagaimana pandangan hidup, tindakan sosial, dan kebijaksanaan yang diwariskan kepada kita akan terus menarik untuk ditelaah supaya keberadaan legacy itu tidak hanya menjadi fosil yang beku dan statis, melainkan selalu kontekstual dan “hidup” di dalam kehidupan masyarakaat saat ini. Terlebih tradisi itu mengandung makna yang tidak bisa dipahami hanya menggunakan cara pandang dangkal dan sepintas lalu.
Tradisi yang selama ini kita jalankan dalam waktu-waktu tertentu adalah khazanah masa lalu yang hadir dalam kehidupan kita saat ini. Salah seorang cendekiawan Islam asal Maroko, al-Jabiri, memahami tradisi sebagai berikut: tradisi yang bersifat maknawi (al-Turats al-Maknawi) dan material (al-Turats al-Maddi), tradisi nasional-kebangsaan (al-Turats al-Qawmi) dan kemanusiaan universal (al-Turats al-Insani) (al-Jabiri, 2000: 24-5). Sehingga, dengan menggunakan pemahaman al-Jabiri ini, kita dapat lebih mudah memahami kembali tradisi yang hadir dan hidup di sekeliling kita.
Dari rentetan panjang sejarah masyarakat kita, salah satu “bonggolan” sejarah yang terus ditelusuri, baik oleh scholar asing maupun peneliti Indonesia, ialah sejarah penyebaran Islam di Jawa oleh Wali Songo. Berbagai hal yang berkaitan dengan Sembilan Wali itu, seperti genealogi mazhab, jaringan kuasa, model dakwah, hingga karya mereka (tembang, kitab, dan sebagainya) sampai saat ini terus menjadi perhatian kaum intelektual. Dan apa yang mereka ajarkan kepada umat manusia kala itu, sekarang masih hadir dan hidup (serta menghidupi) di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan oleh, salah satunya, kecanggihan pemikiran para wali mencerap konteks sosio-budaya yang ada di Tanah Jawa.
Sehubungan dengan peninggalan Wali Songo tersebut, yang telah “menyejarah”, maka menarik untuk dipahami lebih jauh. Sebab, sebagaimana kata Gus Dur, rasa tertarik itu timbul dari kenyataan yang tertulis sering tidak sama dengan yang terjadi. Dengan kata lain, sejarah masa lampau sering dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasan (Wahid, 2010: 1). Oleh karenanya, dalam ulasan ini, kita akan berusaha memahami ajaran dari salah satu ulama yang tergolong ke dalam Wali Songo, yakni Sunan Drajat (1470-1522). Dengan pembacaan kritis, membumi, dan kontekstual.
Raden Qasim: Tentang Nasab, Sanad Ilmu, dan Dakwah
Pada tahun 1470 Masehi, Sunan Drajat yang bernama asli Raden Qasim lahir. Ia merupakan putra bungsu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dengan Nyi Ageng Manila. Dalam Babad Cerbon, Raden Qasim ini adalah adik dari Nyai Patimah (bergelar Gede Panyuran), Nyai Wilis (Nyai Pengulu), Nyai Taluki (Nyai Gede Maloka), dan Raden Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), seperti tertulis sebagai berikut:
Soenan Ampel asiwil//kang nama kalaning moela//Mahdoem Ibrahim djenenge//ja ikoe soesoenan Bonang//kali masja’ich Moemat//ia ikoe ingkang masjhoer//nama pangeran Daradjat//kang istri titiga malih//nama nji gedeng Pandjoeran//lan malih ika nji gedeng//Meloqo lan gede ana// teloeke milaning rata//Toeban ing achire den koekoep//denira djeng soenan Bonang (Brandes & Rinkes, 1911: 70).
Hal ini menunjukkan, bahwa rantai nasab Raden Qasim sama dengan Sunan Bonang, yaitu berdarah Champa, Samarkand, dan Jawa. Karena Sunan Ampel, ayah Raden Qasim, merupakan putra Ibrahim Asmarakandi (Sunyoto, 2016: 304).
Raden Qasim, atau yang lebih dikenal Sunan Drajat itu, sewaktu kecil mendapatkan pendidikan di lingkungan Jawa (keluarga Bupati Tuban). Oleh karena itu, pengetahuan Raden Qasim tentang khazanah bahasa, seni, budaya, sastra, dan agama lebih bercorak Jawa. Maka tak heran, jika Raden Qasim dikenal pandai menggubah berbagai jenis tembang Jawa, seperti tembang macapat langgam Pangkur (Sunyoto, 2016: 306). Raden Qasim mengenyam pendidikan agama (Islam) pertama kali dari ayahnya, Sunan Ampel. Setelah belajar ilmu dasar Islam di bawah bimbingan ayahnya, ia dikirim ke Sunan Gunung Jati untuk memperdalam ilmu agama. Kemudian, Raden Qasim menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Dewi Sufiyah. Pernikahan Raden Qasim dengan Dewi Sufiyah dikaruniai tiga anak, yaitu Pangeran Rekyo, Pangeran Sendi, dan Sayyidah Wuryan (Abi Fadhol: 44). Selain menikah dengan putri gurunya, Raden Qasim juga menikah dengan Nyai Kemuning (putri Kyai Mayang Madu) dan kemudian menikah dengan Nyai Retna Ayu Candra Sekar (putri Arya Wiranatapada, seorang Adipati Kediri).
Dengan bekal pengetahuan ilmu agama dari ayahnya, Sunan Ampel, dan mertuanya, Sunan Gunung Jati, Raden Qasim (atau Masaikh Mumat dalam Babad Cerbon) kemudian kembali ke Ampeldenta. Akan tetapi, Sunan Ampel memerintah anak bungsunya itu untuk menyebarkan Islam di pesisir barat Gresik. Menurut Agus Sunyoto, tidak ada catatan historiografis mengenai perjalanan Raden Qasim dari Surabaya ke pesisir barat Gresik sebagaimana yang diperintahkan oleh Sunan Ampel (Sunyoto, 2016: 308). Dalam kajian Sunyoto (2016), perjalanan Raden Qasim di laut bersumber pada cerita tutur masyarakat setempat (folklor).
Ketika menikah dengan Nyai Kemuning, Raden Qasim tinggal di Jelak, dusun kecil dan terpencil. Di dusun ini, Raden Qasim mendirikan sebuah surau dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Tak lama, wilayah terpencil itu berubah menjadi kampung yang ramai, dan diberi nama Banyuanyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim kemudian pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, yakni Desa Drajat (Sukendar, 2001). Ia menjadi imam bagi penduduk Lawang dan Sedayu, pedukuhan Drajat (Sunyoto, 2016: 308). Di sana Raden Qasim melakukan riyadlah dan mujahadah hingga akhirnya ia diangkat derajatnya oleh Allah Swt. menjadi wali (Abi Fadhol: 44).
Banyak orang yang menjadi pengikut Raden Qasim—yang kemudian dijuluki Sunan Drajat. Setelah sekian lama tinggal di Drajat, Sunan Drajat pindah ke wilayah yang lebih tinggi di selatan. Tempat ini dikenal dengan sebutan Dalem Duwur. Di tempat inilah Sunan Drajat tinggal sampai ia wafat pada 1522 Masehi.
Pepali Pitu: Tujuh Falsafah Dasar Hidup Bermasyarakat
Laiknya seorang pendakwah, Sunan Drajat menyebarkan Islam dengan cara dan sarana tersendiri. Ia dikenal sebagai penyebar Islam yang memiliki jiwa sosial tinggi, sangat memperhatikan nasib kaum fakir-miskin, dan senantiasa memprioritaskan kesejahteraan sosial masyarakat. Model dakwah Sunan Drajat memang “membumi”, berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat, dan sama sekali tidak “melangit”. Ajaran-ajaran Sunan Drajat lebih menekankan pada aspek empati dan etos kerja berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong-royong (Sunyoto, 2016: 309).
Sebagaimana umum diketahui, ajaran Sunan Drajat untuk menyebarkan Islam di beberapa wilayah di Jawa itu, dikenal dengan sebutan “Pepali Pitu” yang memuat tujuh falsafah kehidupan. Tujuh falsafah tersebut sebagai berikut:
1) Memangun resep tyasing sasama (selalu membuat senang hati orang lain);
2) Jroning suka kudu eling lan waspada (dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu waspada);
3) Laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (dalam upaya mencapai cita-cita luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan);
4) Meper hardaning pancadriya (senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu inderawi);
5) Heneng, Hening, Henung (dalam diam akan dicapai keheningan dan di dalam hening, akan mencapai jalan kebebasan mulia);
6) Mulya guna panca waktu (pencapaian kemuliaan lahir-bathin dicapai dengan menjalani shalat lima waktu);
7) Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busana marang wong kang wuda, menehono pangiyup marang wong kang kaudanan (berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada orang yang lapar; berikan pakaikan kepada orang yang tidak memiliki pakaian; berikan tempat berteduh kepada orang yang kehujanan)
Dari ajaran satu sampai enam, nampak sekali nuansa spiritual-sufistik yang fokus pada bagaimana pribadi manusia dapat berlaku baik kepada sesama, memerangi hawa nafsu duniawi, dan usaha mencapai derajat kemuliaan di sisi-Nya. Sehingga, enam ajaran di atas lebih menekankan pada aspek individual. Sedangkan ajaran terakhir, nomor tujuh, lebih berdimensi sosial-kemasyarakatan. Ajaran terakhir itulah yang selama ini kita kenal dengan “Catur Piwulang”. Nasihat yang terakhir itu lebih mengajak masyarakat untuk senantiasa peduli kepada sesama, berusaha membantu kesulitan yang dihadapi orang lain, dan membebaskan mereka yang dihimpit kemiskinan.
Catur Piwulang itu tidak lahir dari ruang hampa, tidak mungkin didapatkan dari hasil uzlah (menyepi), dan mengasingkan diri dari masyarakat. Ajaran itu adalah hasil dari pembacaan Sunan Drajat dari persoalan yang dihadapi masyarakat, dan hal inilah yang perlu kita baca lebih jauh untuk menemukan kembali spirit dan tujuannya. Sehingga, kita dapat memberikan interpretasi yang kontekstual dan “membebaskan” bagi kehidupan masyarakat kontemporer.
Catur Piwulang: Memahami Islam Pembebasan Sunan Drajat
Selama ini ketika mendengar istilah “Islam Pembebasan” atau “Islam Progresif”, kita selalu teringat dengan Islam and Liberation of Theology-nya Asghar Ali Engineer, al-Yasar al-Islami-nya Hassan Hanafi, On The Sociology of Islam-nya Ali Syari’ati, Islam Transformatif-nya Moeslim Abdurrahman, Islam Komunis-nya Misbach, dan lain sebagainya. Sederet nama yang telah disebutkan ini merupakan nama yang masyhur di kalangan kaum intelektual, terutama aktivis. Nama mereka sering disebut dan gagasan mereka sering kali dijadikan pisau analisis untuk membedah isu-isu sosial masyarakat yang berkaitan dengan penindasan sistemik, ekonomi politik kontemporer, dan fenomena otoritas keagamaan. Secara genealogis, pengaruh Barat dalam pemikiran mereka sangat kentara, dan konsep yang lahir itu disesuaikan dengan pembacaan mereka atas problem sosial yang ada di lingkungan mereka tinggal.
Namun, jauh sebelum mereka mencetuskan suatu konsep teoritis membaca Islam (teks, nilai, dan ekspresi keagamaan) secara kritis, di Bumi Nusantara ini sudah muncul gagasan yang tak kalah canggih dan kritis dari seorang ulama-wali yang tinggal Jawa bagian timur, yakni Sunan Drajat. Hal itu dibuktikan oleh ajaran dan model dakwah Sunan Drajat yang selalu memihak kepada mereka yang tertindas, berusaha membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan, dan memiliki pandangan populis—mengingat Sunan Drajat adalah seorang yang dipanggil “raden”, sehingga sangat revolusioner ketika ia memiliki pandangan demikian.
Seperti yang telah diuraikan di atas, Sunan Drajat mempunyai satu ajaran yang revolusioneristik dan sarat akan nuansa “pembebasan”. Ajaran itu dikenal dengan “Catur Piwulang”. Di dalamnya memuat empat nasihat untuk senantiasa memperdulikan mereka yang tidak memiliki apa-apa, berpihak kepada mereka yang tertindas, dan menolong mereka yang memang membutuhkan pertolongan. Sehingga, dengan Catur Piwulang, Sunan Drajat seakan-akan ingin menandaskan satu hal: kesejahteraan dapat terwujud dengan menumpas segala bentuk penindasan di muka bumi. Oleh karena itu, kita perlu membaca dan memahami Catur Piwulang itu secara kritis-liberatif, agar ajaran yang sudah berusia sekian abad itu mampu kita “hidupkan” kembali di tengah bayang-bayang neo-liberalisme, cengkeraman kapitalisme, dan kecongkakan dunia yang kian hari kian mengkhawatirkan seperti sekarang ini.
Menehono teken marang wong kang wuto
Di sini Sunan Drajat mengajarkan kepada kita tentang memberi tongkat kepada orang yang buta. Kata “memberi” dan siapa “ora yang buta” yang dimaksud itu perlu dibahas lebih lanjut. Sebab, dengan memahami kalimat itu secara harfiah semata tidak akan memunculkan makna yang kontekstual dan liberatif. Jika ditelaah secara lebih cermat dan kritis, kata “memberi” bisa berarti menolong, menunjukkan, atau membebaskan. Oleh karena itu, kata menehono di sini dapat dimaknai sebagai menolong, menunjukkan, atau membebaskan mereka yang buta.
Kemudian, orang yang buta itu juga perlu diperluas maknanya. Tidak mungkin kita membaca dan memahami “orang yang buta” adalah orang yang sakit mata belaka. Dalam konteks saat ini, orang yang buta itu bisa dipahami sebagai orang yang silau dengan kekayaan; mereka yang tidak peduli dengan nasib sesama; mereka yang abai terhadap masalah kemanusiaan; mereka enggan melihat kesengsaraan yang dialami kaum marjinal; dan seterusnya. Orang-orang semacam ini termasuk ke dalam “orang yang buta” itu. Bukan buta dalam arti sakit mata, melainkan hati mereka, kemanusiaan mereka, dan kepedulian mereka hilang. Sehingga mereka tidak bisa melihat dan merasakan kesengsaraan yang dialami orang lain, tidak mau melihat, bahkan melirik saja tidak, kepada mereka yang hak-haknya dirampas.
Selain itu, orang yang buta itu juga dapat dipahami sebagai “penindas”. Kendati mereka yang menindas ini adalah orang Islam. Siapa pun dia dan dari mana asalnya, entah seorang Muslim atau bukan, orang asing atau pribumi, namanya penindas tetaplah penindas. Maka, mereka ini perlu ditolong. Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad Saw. yang artinya: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim (menindas) dan yang dizalimi (tertindas)”. Salah seorang sahabat bertanya: “Bagaimana cara menolong orang yang berbuat zalim (menindas)?”, Nabi menjawab: “Cegahlah ia dari berbuat zalim (menindas), maka sesungguhnya engkau telah menolongnya” (HR. Bukhari No. 6952; HR. Muslim No. 2584).
Dari hadis di atas sangat jelas bahwa Rasulullah memerintah kita untuk menolong saudara-saudara kita yang melakukan penindasan. Dan “menolong” mereka yang menindas itu, dengan cara melawan penindasan tersebut (Anugrah, 2025: 106). Kemudian, risalah Nabi Muhammad itu dipahami oleh Sunan Drajat dan diolah sesuai dengan bahasa masyarakat, yakni menggunakan bahasa Jawa. Orang-orang buta itu, selain tidak peduli dengan keadaan sekitar, atau yang lebih kita kenal dengan sikap apatis, juga berarti mereka yang menindas sesama dengan cara apa pun. Entah mereka saudara kita dalam satu komunitas Islam, atau saudara sebangsa, jika mereka menindas, tetap harus kita “menehi tongkat”.
Menehono mangan marang wong kang luwe
Selain orang buta, Sunan Drajat juga menyerukan kepada kita untuk memberi kepada mereka yang lapar. Ia menggunakan tanda (sign) “makan” bagi orang yang lapar. Kata makan itu, tentu, tidak hanya berupa nasi, lauk pauk, dan semacamnya. Kata itu bisa juga bermakna ilmu, nasihat, pikiran, dan tenaga. Sedangkan, maksud dari “orang yang lapar” itu adalah mereka yang membutuhkan nutrisi intelektual, vitamin pikiran yang brilian, bantuan sosial (misalnya, kepada mereka yang mengalami bencana alam), dan seterusnya.
Seruan ini juga bisa berupa memberi bantuan kepada mereka yang untuk makan sesuap nasi saja susah, mereka yang tinggal di bawah kolong jembatan atau di pinggir jalan, menolong mereka yang sulit mendapat pekerjaan, memebaskan mereka dari belenggu kemiskinan yang “disengaja” oleh kekuasaan tertentu, dan membela mereka yang “lapar” dan “haus” akan keadilan. Secara esensial, mereka semua itu “lapar”, sebab kehidupan mereka tidak pernah mendapatkan “makanan” yang bergizi dan sehat.
Dengan cara apa kita menolong mereka? Bisa mengadakan bakti sosial, melakukan riset tentang taraf kemiskinan di wilayah tertentu, mengadvokasi wilayah konflik, menggerakan massa untuk menuntut keadilan bagi mereka yang belum mendapatkan keadilan, atau memberi masukan berupa temuan lapangan kepada pemerintah untuk memperbaiki kebijakan yang belum tepat sasaran. Dengan kata lain, menciptakan gerakan sosial untuk membantu dan memberi kepada mereka yang tengah “kelaparan” (dari keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan).
Menehono busana marang wong kang wuda
Memberi busana kepada orang yang telanjang ini bisa dipahami sebagai upaya kita untuk senantiasa menolong mereka yang telah “ditelanjangi” identitas dan harga dirinya. Misalnya, terdapat masyarakat adat yang tengah “ditelanjangi” identitas dan karakter kebudayaannya oleh golongan tertentu dengan cara mengambil hak atas tanah yang selama berabad-abad telah menjadi tempat tinggal mereka. Atau, upaya segelintir orang yang berusaha “menelanjangi” sumber daya alam di wilayah tertentu. Maka dari itu, memberi “busana” kepada orang yang telanjang juga berarti mengembalikan “busana” identitas kebudayaan dan hak tanah yang dijarah oleh segelintir orang—yang ingin menguasainya.
Ajaran ini juga bisa dipahami sebagai seruan agar kita tidak memandang secara subordinatif kepada mereka yang “terpaksa” mencari penghidupan di wilayah, yang menurut sebagian orang, “menjijikkan” seperti di lokalisasi, perkerja malam, dan lain sebagainya. Bagaimanapun, mereka juga manusia seperti kita. Dengan melakukan penggusuran, mengkafirkan, mengucilkan, atau bahkan pengeboman, bukanlah cara yang manusiawi. Dan hal itu sama sekali tidak dianjurkan oleh Islam.
Menehono pangiyup marang wong kang kaudanan
Ajaran yang terakhir dari Catur Piwulang yang digagas oleh Sunan Drajat ialah memberi keteduhan atau tempat berteduh kepada mereka yang kehujanan. Kata “pangiyup” itu bisa bermakna meneduhkan dan melindungi. Sedangkan orang yang kehujanan itu dapat berarti orang-orang yang tengah mendapatkan “hujan” masalah, dihimpit oleh sistem yang timpang, terpenjara oleh aturan yang dibuat oleh elit-elit politik, atau mereka yang sedang dihujani persekusi. Maka, ajaran ini bisa dipahami sebagai seruan yang mengharuskan kita untuk senantiasa membebaskan mereka dari penindasan, membela mereka yang mendapatkan persekusi, dan mengeluarkan mereka yang sedang dipenjara oleh sistem yang desruktif.
Namun, kata “pangiyup” itu lebih dekat dengan perlindungan. Sehingga, dalam pandangan Sunan Drajat, kita wajib memberi perlindungan kepada mereka yang ditindas oleh kekuasaan, dipersekusi karena suatu kesalahan manusiawi, mereka yang dikucilkan oleh orang-orang yang “sok suci” dengan mengatasnamakan “ajaran Tuhan”, dan melindungi mereka yang diperlakukan tidak adil oleh sebagian masyarakat, oleh hukum, oleh kekuasaan, oleh para penindas kelas wahid. Mereka yang “kalah” oleh sistem yang diciptakan oleh kekuasaan, harus kita lindungi dan kita bela. Sebagaimana pesan Gus Dur yang dipahami Bisri Effendy dalam pengantar buku Tuhan Tidak Perlu Dibela:
Penerjemahan agama dalam realitas kehidupan, baik melalui aksi maupun dalam bentuk penafsiran atas teks-teks yang dipandang suci tak perlu “mengatasnamakan Tuhan” atau “demi kehendak Tuhan”, dan apalagi “untuk membela Tuhan”, tetapi seharusnya atas dasar kepentingan manusia dan kemanusiaan itu sendiri (Wahid, 1999: xxxv).
Keempat ajaran itu, dalam pembacaan yang dilakukan sebagaimana di atas, tidak hanya memiliki dimensi sosial dan seruan moral. Lebih jauh dari itu, Catur Piwulang merupakan manifesto Islam yang “membebaskan”. Dengan kata lain, Sunan Drajat ingin menegaskan kepada umat manusia, khususnya di Jawa dalam konteks kala itu, bahwa Islam itu merupakan agama yang “membumi” dan melebur ke dalam sum-sum kehidupan masyarakat. Agama yang bergerak, dalam arti menggerakkan masyarakat untuk senantiasa saling membantu. Dan Islam sebagai agama pembebas, yakni membebaskan umat dari jeratan sistem yang timpang dan merusak. Wallahu a’lam.***
Penulis: Dendy Wahyu Anugrah al-Jawi
Bacaan Lanjut
Abi Fadhol, as-Syekh al-Alim al-Fadhil, Ahla al-Musamarah fi Hikayat al-Auliya’ al-‘Asyrah. Tuban: Majlis at-Ta’lif wa al-Khuththat, n.d
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Post-Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS, 2000
Anugrah, Dendy Wahyu, Islam Blambangan, Islam Pembebasan: Sebuah Pembacaan Awal. Banyuwangi: Pena Laut Publishing, 2025
Brandes, J. L. A., dan Rinkes, D. A, Babad Tjerbon: Uitvoerige Inhoudsopgave En Noten. Batavia: Albrecht & Co, 1911
Wahid, Abdurrahman, Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur. Yogyakarta: LKiS, 2010
--------------------------, Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS, 1999
Sukendar, Endang, “Sunan Drajat Berdakwah dengan Tembang dan Gamelan”. Gatra, No. 05-06, 13 Desember 2001
Sunyoto, Agus, Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah. Tangerang Selatan: IIMaN & LESBUMI NU, 2016
Posting Komentar