Di beranda rumah yang sederhana, seorang lelaki paruh baya tengah duduk bersila. Matanya menatap langit yang perlahan berubah warna—dari hitam pekat, beranjak menuju biru keunguan, lalu menyiratkan semburat jingga yang mulai tampak. Tangannya menggenggam tasbih, bibirnya bergerak pelan, melafalkan dzikir yang tak henti-hentinya mengalun. Ia adalah Pak Karim, seorang guru mengaji di kampung itu, yang sejak muda telah mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan ilmu agama.
Dari dalam rumah, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pemuda muncul, mengenakan sarung dan peci yang tampak masih baru. Dialah Rahmat, anak bungsu Pak Karim yang baru saja kembali dari perantauan. Senyumnya mengembang saat ia mendekati ayahnya.
"Subuh ini terasa lebih indah, Yah," ucapnya sembari duduk di samping sang ayah.
Pak Karim menoleh, menatap putranya dengan penuh kasih. "Karena kau kini menjalani Ramadan bersama keluarga. Ada keberkahan dalam kebersamaan, Nak."
Rahmat mengangguk. Selama bertahun-tahun merantau ke kota, ia jarang bisa merasakan sahur dan subuh bersama keluarganya. Kesibukan pekerjaan menuntunnya jauh dari kehangatan kampung halaman. Namun, kali ini berbeda. Ia memutuskan untuk pulang, ingin kembali merasakan suasana Ramadan seperti masa kecilnya.
Di masjid kampung, para jamaah telah berkumpul. Beberapa lelaki tua duduk di saf depan, sementara anak-anak muda berada di belakang, menunggu imam memulai salat subuh. Cahaya lampu masjid berpadu dengan sinar fajar yang semakin terang, menciptakan suasana yang khidmat. Setelah salat usai, tadarus Al-Qur'an pun dimulai. Suara lantunan ayat suci terdengar merdu, menggema dalam keheningan pagi.
Usai tadarus, para jamaah keluar dari masjid dengan wajah berseri. Tidak ada yang langsung pulang ke rumah untuk makan seperti hari-hari biasa, sebab puasa telah dimulai. Beberapa orang memilih duduk di serambi masjid, berbincang ringan tentang kehidupan dan hikmah Ramadan, sementara yang lain berjalan perlahan menuju rumah mereka.
Pak Karim dan Rahmat melangkah pulang, menyusuri jalanan kampung yang mulai terang. Sesekali mereka berpapasan dengan tetangga yang menyapa ramah. Embun pagi masih menggantung di ujung daun, menambah kesejukan suasana. Setibanya di rumah, Rahmat mengambil Al-Qur'an dan mulai membaca, sementara Pak Karim kembali melanjutkan dzikirnya. Ramadan adalah waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan mereka ingin mengisi hari-hari di bulan suci ini dengan penuh makna.
Saat matahari mulai meninggi, kesibukan kampung mulai terlihat. Anak-anak bersiap untuk pergi ke sekolah, para lelaki bersiap berangkat bekerja, dan ibu-ibu mulai mengatur pekerjaan rumah. Meski sedang berpuasa, semangat mereka tetap menyala. Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang menguatkan iman dan membangun kebersamaan.
Pak Karim menatap langit yang semakin cerah. "Nak, Ramadan adalah waktu untuk kembali," katanya lembut. "Bukan hanya kembali ke rumah, tetapi juga kembali ke hati yang bersih, kembali kepada Allah dengan penuh keikhlasan."
Rahmat menghela napas panjang. Kata-kata ayahnya menyelinap masuk ke dalam hatinya, menumbuhkan rasa syukur yang selama ini mungkin terlupakan. Ia menyadari bahwa Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga tentang perjalanan kembali—kembali kepada fitrah, kepada keluarga, kepada iman yang mungkin sempat luntur di tengah hiruk-pikuk dunia.
Cahaya subuh di langit Ramadan semakin terang, menandakan awal dari hari yang penuh berkah. Rahmat melangkah dengan hati yang lebih ringan, membawa harapan dan keteguhan baru dalam menjalani bulan yang suci ini.
Oleh: Fathan Faris Saputro (Penulis Buku Pelukan Ramadan)
Posting Komentar