Namun, akhir-akhir ini, sikap Bima berubah drastis. Ia sering terlambat masuk kelas, terlihat mengantuk saat pelajaran, dan nilai-nilainya perlahan menurun. Beberapa guru mulai memperhatikan perubahan ini, termasuk Pak Rudi. Sebagai wali kelasnya, Pak Rudi merasa perlu mencari tahu penyebab perubahan sikap Bima.
Suatu siang, setelah jam pelajaran usai, Pak Rudi memanggil Bima ke ruang guru. Dengan nada lembut, ia bertanya, "Bima, saya perhatikan belakangan ini kamu tidak seperti biasanya. Apa yang terjadi?"
Bima tampak ragu sejenak sebelum menjawab, "Saya sedang sibuk, Pak."
Pak Rudi mengernyitkan dahi. "Sibuk dengan apa? Bukankah tugas utama kamu sekarang adalah belajar?"
Bima menunduk, lalu berkata pelan, "Saya bekerja, Pak. Saya jualan online, ikut bisnis kecil-kecilan. Lumayan, hasilnya besar."
Pak Rudi terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Bima yang biasanya fokus pada prestasi akademik kini lebih sibuk dengan urusan bisnis. "Bima, mencari uang memang penting, tetapi pendidikan juga tidak kalah penting. Apa kamu sadar bahwa nilai-nilaimu menurun?"
Bima menghela napas. "Saya sadar, Pak, tapi saya pikir, kalau saya bisa menghasilkan uang dari sekarang, kenapa harus menunggu lulus kuliah? Sekarang ini banyak orang sukses tanpa harus sekolah tinggi. Saya ingin memanfaatkan peluang yang ada."
Pak Rudi tersenyum tipis. "Saya paham cara berpikirmu, Bima. Banyak orang sukses tanpa gelar, itu benar. Tetapi, lebih banyak lagi yang sukses karena memiliki pendidikan yang baik. Dengan ilmu yang cukup, kamu bisa mendapatkan lebih banyak kesempatan dan menjalankan bisnis dengan lebih cerdas."
Bima terdiam. Kata-kata Pak Rudi membuatnya berpikir. Selama ini, ia merasa bangga karena bisa mandiri secara finansial, tetapi ia juga tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang hilang—mimpinya untuk masuk universitas ternama dan menjadi seorang ahli di bidang teknologi.
"Bima, hidup bukan tentang memilih antara kaya atau berprestasi. Kamu bisa mendapatkan keduanya dengan keseimbangan yang baik. Jika kamu terus mengorbankan pendidikanmu untuk bisnis, mungkin dalam jangka pendek itu menguntungkan. Tapi bagaimana dengan jangka panjang? Bagaimana jika bisnismu gagal karena kurangnya ilmu dan strategi?"
Bima menelan ludah. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, ia hanya fokus pada hasil instan tanpa mempertimbangkan masa depannya dalam jangka panjang.
Pak Rudi melanjutkan, "Saya tidak melarangmu untuk berbisnis. Bahkan, saya mendukung semangatmu untuk mandiri. Tetapi, yang saya ingin tekankan adalah pentingnya keseimbangan. Kamu bisa tetap menjalankan bisnis, tetapi jangan sampai itu merusak masa depan akademismu."
Malam itu, Bima tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan perkataan Pak Rudi. Ia mulai menyadari bahwa kesuksesan sejati bukan hanya tentang mendapatkan uang cepat, tetapi juga tentang membangun fondasi yang kuat untuk masa depan. Ia kemudian menyusun kembali jadwalnya, mencoba menyeimbangkan waktu antara belajar dan bisnis.
Beberapa bulan berlalu. Dengan disiplin dan manajemen waktu yang lebih baik, Bima berhasil meningkatkan kembali prestasinya di sekolah. Ia tetap menjalankan bisnisnya, tetapi dengan lebih bijak dalam mengatur waktu. Tahun berikutnya, ia diterima di universitas impiannya, membuktikan bahwa seseorang tidak perlu memilih antara prestasi dan kesuksesan finansial—keduanya bisa diraih dengan usaha dan keseimbangan.
Penulis : Slamet Priyanto (Pendidik dan Tenaga Kependidikan SMA Muhammadiyah 4 Lamongan)
Posting Komentar