BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

NU Banyuwangi & NU Blambangan: Wacana Pemekaran, Posisi, dan Kritik

Pena Laut
- Dinamika dalam sebuah komunitas atau organisasi akan terus terjadi seiring bergulirnya waktu. Tidak dipungkiri, bagaimana tiap-tiap organisasi, baik organisasi sosial, kepemudaan, atau politik, sering kali dihadapkan pada persoalan yang pelik dan sukar diatasi. Justru hal itu yang menjadi salah satu poin utama dalam sebuah perkumpulan. Menyelesaikan persoalan melalui jalur musyawarah, sehingga mencapai konsensus. Tapi, apa yang disebut dinamika, tidak sepenuhnya alamiah terjadi di dalam sebuah organisasi. Tak jarang kita temui, masalah yang muncul adalah “rekayasa” yang diciptakan oleh pihak tertentu.

Berjibun masalah yang mendekam di organisasi itu juga dapat kita temui, misalnya, di organisasi sekaliber Nahdlatul Ulama (NU). Satu abad lebih NU telah berdiri, tentu demikian bukan perjalanan yang mudah. NU telah—dan akan terus—melewati perjalanan yang beliku tajam, terjal, dan banyak rintangan. Karena perjalanan yang panjang itu, NU menjadi organisasi yang semakin kokoh, seperti yang termaktub dalam al-Qur’an: ...ashluha tsabit wa far’uha fis-sama’ (QS. Ibrahim [14]: 24). NU, selain harus menghujam kuat ke bumi (dalam basis sosial masyarakat), juga harus besar dan kuat menjulang ke langit (struktural kenegaraan-kebangsaan) yang bertujuan untuk mengayomi serta membela kepentingan masyarakat (Baso, 2022: 57).

Berkenaan dengan dinamika yang terjadi di dalam tubuh NU, beberapa waktu lalu terdapat kabar yang membuat warga Nahdliyin mengernyitkan dahi. Sebab, pada awal tahun ini, sejumlah orang yang mengaku “kiai muda NU” berkumpul untuk meresmikan sekretariat PCNU Blambangan sebagai pemekaran PCNU Banyuwangi. Di lain sisi, saat peresmian dilakukan, PCNU Banyuwangi masih dalam kondisi vacum of power. Selang beberapa pekan, turun Surat Keputusan (SK) penunjukan dan pengesahan pengurus definitif PCNU Banyuwangi dari PBNU.

Dua fenomena yang terjadi di Bumi Shalawat Badar itulah yang akan menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini. Memang, sama sekali bukan kapasitas saya untuk mengomentari dinamika yang terjadi pada “generasi tua” NU itu. Hanya saja, persoalan itu membuat pikiran dan hati saya gundah gulana, sebagai anak muda yang ngaku-ngaku Nahdliyin. Dan, adalah maklum, jika saya memiliki serentetan pertanyaan mengenai kedua fenomena di atas.

NU Banyuwangi & NU Blambangan: Menengok Akar Sejarah Pemekaran

Jika kita menengok kembali sejarah perjalanan NU di Banyuwangi, memang dulu pernah berdiri dua kepengurusan Cabang NU, yaitu PCNU Banyuwangi dan PCNU Blambangan. NU Cabang Banyuwangi, atau juga dapat dianggap sebagai pendirian NU pertama di Banyuwangi, berdiri pada 16 Januari 1930 M/15 Sya’ban 1348 H. Sedangkan NU Cabang Blambangan didirikan empat belas tahun kemudian, 12 Oktober 1944 M/25 Syawal 1363 H. PCNU Banyuwangi membawahi beberapa kecamatan, seperti Rogojampi, Kabat, Banyuwangi, Glagah, Giri, Singojuruh, dan Kalibaru. Kemudian, PCNU Blambangan yang berpusat di Srono, mencakup: Genteng, Gambiran, Tegaldlimo, Pesanggaran, Bangorejo, dan Cluring. Sedangkan kecamatan lain seperti Songgon, Muncar, Siliragung, dan lain sebagainya baru berdiri setelah masa itu (Notonegoro, 2021: 29).

Keberadaan dua Cabang NU di Banyuwangi kala itu, merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja NU, yakni memperluas dan mempermudah jangkauan Pengurus Cabang dalam membina Kring (Ranting) dan Central Kring (setingkat MWC NU) di ujung timur Jawa, Banyuwangi. Oleh karenanya, kedua kepengurusan Cabang itu sering kali bersinergi dalam menjalankan roda organisasi. Misalnya, saling bertukar mubaligh, dan saat NU bertransformasi menjadi partai politik, kedua Cabang kerap melaksanakan kegiatan bersama (Notonegoro, 2021: 35-42). Namun perlu digarisbawahi, bahwa pemekaran Cabang NU saat itu, sama sekali tidak didasarkan pada polemik atau kepentingan politik praktis tertentu, sehingga memutuskan untuk membuat Cabang tandingan. Dan pemekaran itu harus mendapatkan pengesahan dari PBNU.

Lambat laun kedua Cabang NU di Banyuwangi itu dihadapkan pada persoalan yang cukup pelik. Persoalan tersebut terjadi sejak tahun 1957, tepatnya setelah terselenggaranya Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur untuk menentukan anggota DPRD Tingkat I dan Tingkat II pada 29 Juli 1957. Kemudian konflik memuncak ketika Pemilihan Kepala Daerah Banyuwangi pada tahun 1964.

Momentum Pilkada itulah yang membuat konflik internal NU Cabang Blambangan (di bawah pimpinan KH. Abdul Latief Sudjak) dan Cabang Banyuwangi (di bawah pimpinan KH. Ali Manshur) menjadi terbuka. Sebab, kedua Cabang mengusung Calon Bupati (Cabup) yang berbeda: NU Blambangan mendukung Letkol. Djoko Supaat Slamet, sedangkan NU Banyuwangi mendukung Suwarso Kanapi (Notonegoro, 2021: 90). Alkisah, setelah 24 tahun lamanya berpisah, akhirnya kedua Cabang NU di Banyuwangi itu melebur atas restu PBNU, dan KH. Harun Abdullah terpilih sebagai Rais Syuriah serta KH. Abdul Latief Sudjak sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Banyuwangi pada April 1968.

Jika melacak dari akar sejarah NU di Banyuwangi, jelas bahwa tujuan pemekaran itu bukan disebabkan oleh kepentingan politis praktis yang bermula dari pasukan “sakit hati”. PCNU Blambangan berdiri, memang karena kebutuhan dakwah kala itu. Kendati dalam perjalanannya, kedua Cabang NU di ujung timur Jawa terjadi dinamika yang cukup panjang. Dan perlu diperjelas di sini, akibat dinamika politik itu, keduanya berfusi. Sebab jika keduanya tetap eksis, maka persoalan yang membuat kubu KH. Ali Manshur dan kubu KH. Abdul Latief Sudjak akan semakin “runyam”. Bahkan berpotensi memecah belah umat. Keputusan fusi itu, adalah keputusan yang bijaksana. Setidaknya untuk mencegah konflik yang berkepanjangan di dalam tubuh NU Banyuwangi sendiri.

Membaca Wacana Pemekaran NU di Banyuwangi: Ada Motif Terselubung?

Lantas bagaimana dengan wacana pemekaran PCNU Banyuwangi yang digagas oleh Kiai Afif Jauhari wa akhihi yang sempat menggegerkan warga Nahdliyin itu?

Pada awal tahun 2025 kemarin, muncul wacana mengenai pemekaran PCNU Banyuwangi yang dipelopori oleh beberapa Kiai dan Gus yang ada di Banyuwangi bagian selatan. Gerakan mereka dapat ditelusuri dari diskusi yang diselenggarakan pada 14 Januari 2025. Diskusi yang mengundang beberapa perwakilan Majelis Wakil Cabang (MWC) NU dari beberapa wilayah itu membahas tentang PCNU Blambangan yang nantinya sebagai pemekaran dari PCNU Banyuwangi. Namun, sebelumnya, mereka juga sempat mengadakan Pengajian dan Diskusi Terbuka; Pemekaran PCNU Banyuwangi, PCNU Blambangan di Pondok Pesantren Al-Islami, Pesanggaran pada 3 Januari 2025.

Selain dihadiri beberapa perwakilan dari MWC NU, juga terdapat tim khusus yang menjadi think tank wacana dan gerakan pemekaran PCNU Banyuwangi, antara lain: Kiai Afif Jauhari, Kiai Fahrurrozi, Kiai Abdurrahman Al-Jawwi, Gus Abdul Fattan Hasan, Nur Hadi, dan Subhan Bastomi (Radar Banyuwangi, 2025). Kemudian, pada 16 Januari 2025, para Kiai, Gus, dan sembilan MWC NU yang mendukung pemekaran itu, meresmikan sekretariat PCNU Blambangan di Graha Zainal Arifin Salam (ZAS) yang terletak di Desa Jajag, Gambiran, Banyuwangi.

Menurut pengakuan Gus Fahrur, salah seorang yang termasuk tim khusus, “inisiasi pemekaran PCNU Blambangan ini merupakan wujud dari dinamika pemikiran kaum muda NU yang juga berdasarkan kajian AD/ART”. Selain itu, wacana pembentukan PCNU Blambangan telah melalui kajian sosiologis dan geografis, sehingga NU di Banyuwangi, menurut Gus Fahrur, sudah “layak” memiliki dua PCNU. Bahkan, hal itu merupakan kebutuhan umat (Radar Banyuwangi, 2025). “Ini untuk optimalisasi pelayanan jamiyah kepada jamaahnya,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Al-Abshor, Bulurejo, Purwoharjo itu.

Membaca pernyataan Gus Fahrur di atas sangat normatif, dan tidak lebih dari sekedar mengulang sejarah. Atau, dengan kata lain, hanya “njiplak” dari NU Blambangan yang didirikan tahun 1944 itu. Justru yang patut diperjelas di sini: apakah dengan mendirikan PCNU Blambangan, kinerja Pengurus NU di Banyuwangi akan semakin melejit, melihat belakangan ini gerakan dan orientasi NU tidak menentu? Bukankah NU di Banyuwangi, sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya, telah berfusi? Dan keputusan fusi itu bukan tanpa alasan. Peleburan itu dilakukan karena memandang bahwa dengan memiliki dua Cabang dalam satu kabupaten, dalam konteks ini Kabupaten Banyuwangi, terjadi konflik yang cukup besar, terutama berkenaan dengan persoalan politik.

Jika toh ternyata di kemudian hari PCNU Banyuwangi menyetujui pemekaran, dan disambut baik oleh PBNU, misalnya, hal yang perlu menjadi fokus ialah bagaimana kedua Cabang NU di Banyuwangi dapat berjalan beriringan, saling membantu, dan harmonis. Tapi sepertinya hal tersebut merupakan sesuatu yang “ndakik” untuk konteks Banyuwangi. Bagaimana tidak, lha wong sekarang ini, di tingkat “generasi tua” saja, masih eker-ekeran kalau sudah musim politik. Singkatnya, mereka tidak satu suara. Alih-alih mengekspresikan kebebasan, malah menyelundupkan kepentingan politis (individu atau circle tertentu), terutama saat Pemilu atau Pilkada.

Selain persoalan di atas, kita perlu membaca sesuatu yang “tidak muncul” di permukaan. Fenomena rencana pembentukan PCNU Blambangan ini, mulai dari diskusi awal hingga peresmian sekretariat yang ada di Desa Jajag, menyeruak setelah Banyuwangi rampung menyelenggarakan Pilkada 2024. Dan saat itu, di satu sisi, kubu Ali-Ali (Ali Makki-Ali Ruchi) tengah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi setelah mendapatkan hasil rekapitulasi Pilkada Banyuwangi pada 6 Desember 2024. Kemudian pada 4 Februari 2025, gugatan itu ditolak oleh MK atas beberapa pertimbangan, sehingga Ipuk-Mujiono sah menang dalam Pilkada tahun lalu (Kompas, 2025).

Di sisi lain, juga pasca Pilkada Banyuwangi, muncul kabar dugaan korupsi yang dilakukan Abdullah Azwar Anas (AAA) beserta istrinya, Ipuk Fiestiandani. Melansir dari Jurnaltinta.com, Yunus Wahyudi, seorang yang dijuluki “Harimau Blambangan” itu, mengungkap serentetan data aset yang dimiliki AAA yang diduga terkait dengan penyalahgunaan wewenang (Jurnaltinta, 2024). Sebelumnya, beberapa bulan menjelang Pilkada 2024, ia telah melaporkan AAA dan Ipuk Fiestiandani ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Javatimes, 2024). Belum lagi kasus “Mamin fiktif” tahun lalu sempat membuat geger rakyat Banyuwangi.

Dua kabar di atas, pertama gugatan Ali-Ali, dan kedua dugaan kasus korupsi yang menyeret nama Abdullah Azwar Anas dan Ipuk Fiestiandani, merupakan sesuatu yang “belum terbaca” ketika rame-rame wacana pembentukan PCNU Blambangan. Bisa jadi, selain tujuan normatif yang disampaikan ke awak media, wacana pemekaran ini adalah upaya untuk menutupi apa yang saya sebut “sesuatu yang belum terbaca” itu. Tapi, bisa juga, wacana itu dilakukan atas keresahan Nahdliyin atas kekosongan jabatan di PCNU Banyuwangi. Bukan suatu kebetulan jika hal yang saya sebutkan tadi terjadi secara bersamaan. Sebab, tidak dipungkiri, generasi tua NU di Banyuwangi kebanyakan—tidak semua—sudah terjebak ke dalam cara berpikir “hitam-putih”.

Kalau tujuan wacana pemekaran itu didasarkan atas kekosongan jabatan, maka seharusnya sudah tidak lagi dilakukan gerakan itu, sebab Surat Keputusan (SK) pengurus definitif PCNU Banyuwangi masa khidmat 2025/2026 telah turun. Kok ternyata masih “ngotot”, berarti ada agenda lain yang masih samar untuk dibaca lebih lanjut. Pertanyaan yang perlu kita jawab bersama, sebagai warga Nahdliyin, khususnya “generasi muda NU” ialah: apakah ada motif terselubung (politis-praktis) di balik rencana pembentukan PCNU Blambangan ini?

PCNU Banyuwangi: Bersimpuh dalam Lingkaran Kekuasaan Pendopo

Kepengurusan PCNU Banyuwangi akhirnya defintif setelah beberapa bulan lalu sempat vakum, dan tidak jelas arah-geraknya. Sebelumnya, warga Nahdliyin di Banyuwangi dihebohkan dengan keberadaan Surat Keputusan (SK) Penunjukan Karteker PCNU Banyuwangi dari PBNU. SK itu diterbitkan pada 9 Maret 2024 M atau 28 Sya’ban 1445 H. Menyusul kemudian Surat Pengesahan PBNU No. 316/PB.01/A.II.01.45/99/03/2024 tentang Perubahan Komposisi Karteker PCNU Kabupaten Banyuwangi.

Sebagaimana yang mafhum diketahui, bahwa kepenguruan karteker itu bertujuan untuk melaksanakan Konferenci Cabang NU Kabupaten Banyuwangi paling lambat tiga bulan setelah SK diterbitkan. Kemunculan SK Karteker ini merupakan keputusan dari PBNU yang sebelumnya juga memperpanjang masa khidmat PCNU Banyuwangi sampai dua kali. Pertama, PBNU mengeluarkan SK perpanjangan kepada PCNU Banyuwangi di bawah kepemimpinan KH. Ali Makki Zaini (Gus Makki) dengan SK No. 294/A.II.04.d/07/2023 tentang perpanjangan masa khidmat sampai pada 3 Oktober 2023. Sedangkan perpanjangan kedua, tertuang dalam SK No. 249/A.II.04.d/09/2023. Dalam surat ini masa khidmat PCNU Banyuwangi diperpanjang hingga 3 Januari 2024 (NU Online Jatim, 2024). Setelah dua kali perpanjangan itu, PBNU tidak memperpanjang lagi, dan akhirnya memutuskan PCNU Banyuwangi dikarteker atau menggantinya dengan kepengurusan karteker.

Seperti yang telah disinggung tadi, bahwa maksud dari kepengurusan karteker ialah melaksanakan Konferenci Cabang (Konfercab) NU di Banyuwangi. Namun, sejak diterbitkannya SK karteker pada Maret 2024 lalu, ternyata Konfercab NU Banyuwangi tak kunjung terlaksana. Ya, memang menyelenggarakan Konfercab tidak seperti agenda ngopi yang ujug-ujug langsung jadi. Perlu koordinasi, menunggu persetujuan PBNU, dan hal-hal lain sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Perkumpulan (Perkum) NU. Jika melihat tujuan kepengurusan karteker, tentu dapat dikatakan, bahwa kepengurusan itu “gagal” menyelenggarakan Konfercab NU di Banyuwangi.

Oleh karena tidak berhasil mengadakan Konfercab itulah, kemudian PBNU mengeluarkan Surat Keputusan PBNU No. 3584/PB.01/A.II.01.45/99/02/2025 Tentang Penunjukan dan Pengesahan Kepengurusan Definitif Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Banyuwangi pada 7 Februari 2025 M/08 Sya’ban 1446 H yang ditandatangani KH. Miftachul Akhyar (Rais Aam), KH. Akhmad Said Ansrori (Katib Aam), KH. Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum), dan Drs. H. Saifullah Yusuf (Sekretaris Jenderal). Melansir Jawa Pos Radar Banyuwangi, penetapan berbagai nama yang tertuang dalam SK tersebut berdasarkan rapat dari Pengurus Karteker yang melibatkan para tokoh NU Banyuwangi (Radar Banyuwangi, 2025).

Dalam SK penunjukan dan pengesahan kepengurusan definitf PCNU Banyuwangi masa khidmat 2025-2026 itu, posisi Rais Syuriah ditempati oleh KH. Masykur Ali dan Katib-nya KH. Ahmad Ghozali. Sedangkan dalam jajaran Tanfidziyah, Kiai Sunandi Zubaidi, S.Pd.I., M.Pd. sebagai Ketua dan Abdul Aziz, MH., sebagai Sekretaris. Dan yang membuat warga Nahdliyin cukup tercengang, khususnya saya, ialah nama KH. Abdullah Azwar Anas, M.Si., sebagai anggota Mustasyar PCNU Banyuwangi. Tapi yang tidak gumun-gumun amat, sebab siapa yang tidak tahu seorang yang dulu dipanggil Kang Anas—yang saat ini sering disebut “Bapak”—ini. Seseorang yang pernah menduduki kursi Bupati Banyuwangi selama dua periode. Dan istrinya, Ipuk Fiestiandani, juga “bernasib” sama.

Dalam struktur kepengurusan PCNU Banyuwangi masa khidmat 2025-2026, ada beberapa nama yang perlu menjadi sorotan, yakni Kiai Sunandi Zubaidi (Gus Nandi) selaku Ketua Tanfidziyah dan Abdul Aziz (Mas Aziz) selaku Sekretaris PCNU Banyuwangi. Dua orang ini memiliki rekam jejak yang cukup melenting, terutama di kancah politik Banyuwangi. Pada Pilkada 2024 kemarin, secara gerilya, Mas Aziz ini melakukan tindakan politis yang mendukung salah satu Paslon, yaitu Ipuk-Mujiono. Hal ini dibuktikan dengan mengumpulkan sejumlah orang yang tergabung dalam komunitas tertentu di Banyuwangi yang kala itu dihadiri Ipuk Fiestiandani untuk kampanye. Dan pada Pilkada tahun-tahun sebelumnya, era Anas maupun Ipuk, Mas Aziz ikut “membantu”. Sehingga nama Mas Aziz cukup familiar di lingkaran Pendopo.

Kemudian, Gus Nandi, adalah seorang kiai yang dulu menjabat sebagai Katib Syuriah pada periode Gus Makki. Namun, nampaknya, di penghujung kepengurusan PCNU Banyuwangi periode sebelumnya, Gus Nandi menunjukkan gelagat ketidakcocokan (secara politis) dengan pimpinannya, Gus Makki. Dan akhirnya ia berada di tampuk kepemimpinan PCNU Banyuwangi saat ini, meski hanya satu tahun. Kendati relatif singkat, tahun ini menjadi “penentu” dirinya untuk menduduki Ketua PCNU Banyuwangi di periode mendatang. Seperti koleganya, Mas Aziz, pengasuh PP Kitab Kuning Al-Kalam, Badean, Banyuwangi ini sudah mulai menampakkan pencapaiannya di dunia politik. Bagaimana tidak, nama Gus Nandi tergolong “selamat” dalam karteker yang dilakukan oleh PBNU, dibanding dengan teman seperjuangannya di PCNU.

Selain itu, Gus Nandi ini juga dekat dengan lingkaran kekuasaan Pendopo. Hal ini dapat dilihat, bagaimana ia mampu mengumpulkan beberapa pimpinan Badan Otonom (Banom) dan Lembaga yang ada di bawah naungan PCNU Banyuwangi di Aula PCNU pada September tahun lalu. Banom dan lembaga yang dikumpulkan, antara lain: IPNU-IPPNU, Muslimat NU, GP Ansor, ISNU, hingga PMII. Pertemuan itu juga dihadiri Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani. Menurut salah seorang kawan yang kala itu juga ikut berkumpul di Aula PCNU Banyuwangi, narasi beberapa audiens cenderung politis, meski pertemuan itu bermaksud “serap aspirasi dan kunjungan” Bupati. Salah satu perwakilan organisasi kemahasiswaan, menurut kawan saya, ada yang sampai nyeletuk: “...kita manut saja, lanjutkan dan tuntaskan!”. Hal itu dikatakan saat tiap-tiap organisasi dan lembaga menyampaikan pendapat.

Dari kasus di atas, apa yang ingin saya katakan adalah, Gus Nandi juga tergolong ke dalam lingkaran kekuasaan Pendopo. Sehingga, Ketua Tanfidziyah dan Sekretaris PCNU Banyuwangi saat ini, adalah orang yang cukup dekat dengan kekuasaan Pendopo. Apalagi Abdullah Azwar Anas, yang jelas-jelas memiliki pengaruh di Banyuwangi. Belum lagi, nama KH. Masykur Ali, mantan Ketua PCNU Banyuwangi masa khidmat 2013-2018 yang juga aktif di Partai Demokrat. Dan nama-nama lain yang menduduki posisi kepengurusan PCNU Banyuwangi saat ini. Sebab, nama yang ada di dalam SK itu, bukan hasil “kocokan” seperti yang dilakukan ibuk-ibuk arisan. Pengambilan dan penempatan nama itu, tentu melalui komunikasi yang cukup panjang, dan yang paling utama adalah ini: siapa mereka; dari golongan mana mereka berada; dan power-nya seberapa dan seterusnya.

Kedekatan orang-orang “penting” dalam jajaran kepengurusan PCNU Banyuwangi ini, membuat posisi NU Banyuwangi mengkhawatirkan. Meski kedekatan itu dianggap sebagai “mitra” pemerintah. Hanya saja, melihat konteks di Banyuwangi, kok sepertinya saya skeptis. Terutama terhadap Gus Nandi dan Mas Aziz. Bagaimana tidak, rekam jejak mereka, di mata kader-kader PMII, khususnya, tidak begitu menarik—untuk tidak mengatakan “tidak cocok”. Hal itu dikarenakan, sampai saat ini, cengkeraman tangan-tangan mereka masih kuat di PMII Banyuwangi sebagai Majelis Pembina Cabang (Mabincab). Dan ironinya, mereka berdua cenderung memilih untuk diam, ketika adik-adik mereka di organisasi diterpa masalah yang besar—untuk ukuran kader. Hal ini sudah saya singgung dalam tulisan saya sebelumnya yang bertajuk: Kader Qabil; PC PMII Banyuwangi Mampus, Mabincab Tidak Becus (2025).

Apakah Gus Nandi dan Mas Aziz akan benar-benar memanfaatkan waktu yang relatif singkat ini di PCNU dengan melakukan kerja-kerja sosial-kemasyarakatan? Atau, justru waktu yang singkat itu digunakan untuk memperkuat kekuatan dan mempertahankan status quo mereka berdua? Belum lagi saat ini di jajaran PCNU ada Pak Anas. Bukankah dengan keberadaan Pak Anas itu malah membuat NU semakin “mengekor” kepada Pendopo, sehingga tafsir-tafsir agama maupun kebijakan NU akan cenderung melegitimasi agenda-agenda kekuasaan (tanpa menimbang kemaslahatan bagi umat)? Lantas, bagaimana tanggapan PCNU Banyuwangi mengenai wacana pembentukan PCNU Blambangan? 

Maka dari itu, sebagai warga Nahdliyin, kita perlu mempertanyakan kepada Gus Nandi, selaku Ketua PCNU Banyuwangi: quo vadis NU Banyuwangi, Gus?

Akhirul Kalam..

PCNU Banyuwangi merupakan organisasi yang memiliki basis massa yang kuat, dan pengaruh yang cukup signifikan. Adalah merugi, jika kekuatan NU ini hanya digunakan untuk kepuasan segelintir orang. Kekuatan NU harus dialihkan kepada problem masyarakat yang sampai saat ini, barangkali, luput dari pandangan para Kiai dan Gawagis. Sebut saja misalnya, persoalan yang ada di Pakel; Gunung Tumpang Pitu; Gunung Salakan; kasus gadis cilik yang ada di Kalibaru; problem petani; pedagang kelontong yang tertindih minimarket borjuis; kenakalan remaja; kriminalitas yang semakin tinggi; problem Banyuwangi berpotensi menjadi Bali kedua; dan lain sebagainya. Masih banyak persoalan yang perlu diperhatikan oleh PCNU Banyuwangi. Sebab, problem yang dihadapi masyarakat merupakan “garapan” NU.

Sudah saatnya NU beranjak dari kenyamanan duduk leyeh-leyeh di tengah teduhnya Pendopo. Sudah saatnya, NU Banyuwangi menjadi mujahid yang sesungguhnya; melawan kezaliman, menentang kemunkaran; membebaskan masyarakat dari belenggu ketertindasan sistemik; dan senantiasa berada di barisan masyarakat ketika terjadi polemik. Demikianlah potret “Islam Blambangan” yang sejati. Sebuah model pemikiran dan gerakan Islam yang menjadi sarana untuk membebaskan masyarakat dari marginalisasi, alienasi, dan ketertipuan (Anugrah, 2025: 68).

Sebagai penutup tulisan yang cukup panjang ini, pernyataan Wak Rainah, seorang petani Osing, perlu kita jadikan renungan:

“Hira karep ngertai wong NU, mung pegawehane ngincengi pesantren karo kiai, yo hing pas, Lik. Ono hing kene delengen ikai, petani kang podo macul lan dadi buruh, ugo sedulur-sedulur kabeh kang podo transmigrasi, lan dadi TKI, kuwi yo wong NU. Hiro karep ndendekaken NU, kadung hing ndeleng ikau, yo hing pas.” (Ridwan, 2019: 29).

Penulis: Dendy Wahyu Anugrah, Anak Orang NU


Sanad Literatur

Anugrah, Dendy Wahyu, Islam Blambangan, Islam Pembebasan: Sebuah Pembacaan Awal. Banyuwangi: Pena Laut Publishing, 2025

Baso, Ahmad, Ngaji Khittah NU untuk Pemula: Ngaji Khittah untuk Bersama Menyusun Kekuatan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Yayasan Garuda Bumandhala, 2022

Notonegoro, Ayung, Manunggaling NU Ujung Timur Jawa: Sejarah Fusi Nahdlatul Ulama Cabang Banyuwangi dan Blambangan. Banyuwangi: Batari Pustaka & Komunitas Pegon, 2021

Ridwan, Nur Khalik, Masa Depan NU: Dinamika dan Tantangannya. Yogyakarta: IRCiSoD, 2019

Sumber Media

Javatimes, “Bukan Gertak Sambal, Harimau Blambangan Resmi Laporkan Mantan Bupati Azwar Anas dan Istri ke KPK”, 18 Juli 2024. Diakses pada 16/02/2025

Jurnaltinta.com, “Pernah Diselidiki KPK pada 2019, Yunus Wahyudi Bongkar Aset Suami Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas”, 30 Desember 2024. Diakses pada 16/02/2025

Kompas, “Gugatan Ali-Ali Gugur, Ipuk Fiestiandani Sah Menang Pilkada Banyuwangi”, 04 Februari 2025. Diakses pada 16/02/2025

NU Online Jatim, “Sesuai Perkum NU: Karteker PCNU Banyuwangi Melibatkan Unsur PWNU Jatim”, 20 Maret 2024. Diakses pada 16/02/2025

Pena Laut Media, “Kader Qabil: PC PMII Banyuwangi Mampus, Mabincab Tidak Becus”, 6 Januari 2025. Diakses pada 16/02/2025

Radar Banyuwangi, “Kiai Muda Tuntut Pemekaran PCNU di Kabupaten Banyuwangi dengan Menjadi Dua Wilayah”, 17 Januari 2025. Diakses pada 15/02/2025

Radar Banyuwangi, “PBNU Keluarkan SK Penunjukan Kepengurusan PCNU Banyuwangi. Kiai Sunandi Ketua Tanfidziyah, Didampingi Dua Rektor”, 12 Februari 2025. Diakses pada 16/02/2025

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak