BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Mewariskan Pengetahuan Kebencanaan Pada Generasi Muda Perlu Upaya Berkelanjutan

Pena Laut -
Tulisan Alfian tentang bully di balik study tour (Radar Banyuwangi, 3/2/2025) memang terasa menggelitik untuk ditanggapi lebih dalam. Pertama, situasi kondisi dewasa ini memang memerlukan pemikiran mengenai solusi semacam tersebut di atas yang kini mulai mencuat ke permukaan. Kedua, dalam jangka panjang pemikiran seperti yang dicontohkan Alfian bisa menjadi model yang dapat didiskusikan lagi ketepatannya. Ketiga, institusi – institusi seperti Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, PGRI dan sebagainya perlu reorientasi model pelaksanaannya yang mungkin sudah waktunya ditinjau kembali.

Masih teringat mungkin di benak pemikiran kita mengenai cerita dan kisah pilu tentang Banda Aceh dan Aceh Besar yang mengalami dampak terparah dengan 96 ribu korban jiwa pada Tsunami 2004 silam. Sementara di Simeulue, pulau yang terletak kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh, korban jiwa hanya 5 orang. Bahkan ada sumber lain yang menyebutkan korban jiwa hanya 3 orang.

Ini disebabkan, salah satunya karena masyarakat Simeulue memiliki pengetahuan tentang smong (tsunami dalam Bahasa Simeulue) yang diwariskan oleh nenek moyang mereka berdasarkan pengalaman peristiwa tsunami 1907.

Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan terkait mitigasi bencana dan bagaimana merawat dan mewariskan pengetahuan tersebut.

Sejauh ini, pemerintah dan masyarakat sudah melakukan berbagai upaya untuk mewariskan pengetahuan terkait mitigasi bencana. Dari segi pendidikan, misalnya berbagai civitas akademika seperti universitas semakin intens dan serius menekuni bidang kajian bencana alam, bahkan membangun pusat studi untuk meningkatkan ketahanan masyarakat atas bencana.

Sebut saja, Universitas Syiah Kuala dengan pusat risetnya yang Bernama Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Negeri Islam Ar – Raniry Banda Aceh (UIN Ar – Raniry) yang menawarkan mata kuliah kebencanaan di sepuluh program studi. Ada juga Universitas Muhammadiyah Aceh yang sengaja membuka program studi S1 Manajemen Bencana, dan Universitas Teuku Umar Meulaboh yang juga membangun Gedung Pusat Edukasi Tsunami Aceh sebagai tempat edukasi bencana gempa bumi dan tsunami di Meulaboh.

Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan terkait upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana pada satuan pendidikan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 tahun 2019 Tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

Namun, upaya – upaya di atas ternyata tidak berjalan dengan mulus karena masih bergantung pada pihak eksternal dan cenderung tidak berkelanjutan. Penelitian yang ada di Banda Aceh tahun 2024 menunjukkan bahwa simulasi terhadap bencana hanya dilakukan ketika pihak eksternal seperti NGO lokal maupun NGO internasional masih berada di Banda Aceh.

Dari 66 sekolah dasar yang diteliti, mereka sering melakukan latihan simulasi terhadap gempa bumi, dan tsunami selama 5 tahun pasca tsunami 2004 yakni rentang 2005-2010. Setelah itu, mereka sangat jarang melakukan simulasi bencana lagi.

Integrasi Pengurangan Resiko Bencana Dalam Kurikulum

Pemerintah berkewajiban mengintegrasikan materi terkait pengurangan resiko bencana (PRB) ke dalam kurikulum nasional, muatan lokal, kegiatan intrakurikuler hingga ekstrakurikuler. Sejauh ini, pemerintah telah mengintegrasikan materi PRB ke dalam beberapa mata pelajaran.

Dalam Pelajaran agama, misalnya integrasinya tampak pada pembelajaran terkait ayat-ayat Al-Qur’an terkait bencana, seperti surat Ar-Rum ayat 41, surat Al-Zalzalah, dan sebagainya. Ini dapat menentukan dan membentuk sikap serta karakter siswa dalam menyikapi bahaya bencana, sehingga terbentuklah sikap dan pribadi tangguh dalam menanggulangi bencana.

Contoh lain, dalam mata Pelajaran IPA, siswa belajar tentang bagaimana mencintai lingkungan dan melindungi alam dengan mengetahui dan memahami bahaya siklus pusar pantai, bahaya penjarahan hutan, bahaya alih fungsi lahan, teknologi yang tidak tepat sasaran hingga wabah penyakit.

Untuk kegiatan ekstrakurikuler, integrasi Pendidikan PRB dapat dilihat pada kegiatan Pramuka yang melatih peserta didik untuk menjadi agen perubahan di lingkungannya dalam pengurangan resiko bencana dan membangun kesiapsiagaan bencana. Namun, setelah ditelisik beberapa hal menemukan indikasi bahwasannya meskipun integrasi pendidikan PRB sudah dilaksanakan di tiap sekolah, Upaya tersebut lambat laun ternyata belum memiliki pola perspektif kerangka indeks keselamatan sekolah yang komprehensif. Tentunya ini mencakup aspek fasilitas sekolah yang aman bencana dan manajemen bencana disekolah.

Kendala Pendidikan Resiko Bencana

Dalam hal simulasi, tersendatnya praktik pendidikan resiko bencana, disebabkan oleh beberapa hal:

1. Ketergantungan pada pihak luar
Pihak sekolah kurang memiliki kesadaran untuk melakukan simulasi kebencanaan secara mandiri. Mereka cenderung berharap ada pihak eksternal yang membantu mereka melakukan simulasi. Memang, masih ada beberapa sekolah yang melakukan simulasi bencana. Namun, frekuensinya tidak serutin yang diamanatkan oleh Permendikbud Nomor 33 tahun 2019, yaitu minimal sekali dalam 1 semester, biasanya, sekolah yang melakukan simulasi adalah sekolah-sekolah binaan pemerintah atau organisasi kebencanaan yang ada di level daerah. Sifat pelatihannya pun akhirnya terkesan seremonial, seperti saat ada peringatan hari pengurangan resiko bencana yang biasanya dilaksanakan tiap tahun sekali, atau dalam rangka memperingati tragedi tsunami 2004.

2. Sosialisasi belum maksimal
Informasi terkait Permendikbud diatas tentang SPAB ternyata juga tidak menjangkau semua kepala sekolah dan keberadaan guru di daerah. Salah satu informan menyebutkan, “Saya belum pernah membaca Permendikbud diatas”, hal serupa juga disampaikan oleh salah satu guru yang mengaku pula tidak tahu isi Permendikbud tersebut. Ini terjadi karena kurangnya pelatihan terkait penanganan kebencanaan. Temuan terakhir yang ada di setiap sekolah bahwasannya sekolah sudah jarang sekali mendapatkan pelatihan terkait kebencanaan. Rata-rata informan menyebutkan, mereka sering mendapatkan pelatihan dan melakukan simulasi kebencanaan di rentang tahun 2005-2010. Sementara setelah tahun-tahun tersebut, sekolah sudah sangat jarang mendapatkan bentuk pelatihan serupa. Kalaupun ada, hanya beberapa sekolah yang ikut terlibat dalam pelatihan tersebut.

3. Fokus bergeser ke program lain
Faktor lain yang menyebabkan pihak sekolah tidak melaksanakan lagi simulasi bencana adalah kesibukan sekolah dengan program lain seperti program sekolah ramah anak, atau sekolah anti perundungan sehingga pendidikan kebencanaan terkesan ditinggalkan dan terabaikan.

Bagaimana Seharusnya Mewariskan Pengetahuan Bencana?

Ada beberapa cara yang bisa menjadi solusi untuk meningkatkan edukasi kebencanaan yaitu:

1. PRB menjadi bagian akreditasi
Sebenarnya peraturan pemerintah terkait pengurangan resiko bencana pada satuan pendidikan sudah ada namun efeknya yang belum kuat, berdasarkan hasil temuan salah satu cara untuk memperkuatnya adalah dengan menjadikan PRB sebagai bagian dari akreditasi. Hal ini berkaca dari hasil temuan bahwa semua sekolah memiliki Alat Pemadam Api Ringan (APAR). Namun, kadangkala APAR sendiri sebenarnya hanyalah upaya pihak sekolah untuk sekedar memenuhi prasyarat penilaian akreditasi – bukan timbul dari kesadaran pencegahan bencana. Artinya, dengan menjadikan PRB sebagai salah satu indikator penilaian akreditasi, sekolah nantinya akan terdorong untuk melaksanakan pendidikan PRB. Penerapan ini berpeluang menjadi alat kontrol kepatuhan sekolah, yaitu jika tidak dilaksanakan sekolah akan mendapatkan akreditasi rendah.

2. Menyediakan anggaran untuk pendidikan PRB
Setelah di telisik ternyata salah satu alasan tidak dilakukannya pendidikan PRB adalah ketiadaan pagu anggaran dalam rencana tahunan sekolah. Oleh karena itu, dinas pendidikan perlu mewajibkan dan memastikan setiap sekolah menyediakan anggaran pendidikan PRB setiap tahun.

3. Edukasi PRB untuk guru dan siswa
Berdasarkan pengakuan siswa, guru dan kepala sekolah, pelatihan serupa sudah sangat jarang sekali ditemukan setelah NGO selesai melaksanakan programnya. Kalaupun ada, hanya beberapa sekolah yang dilibatkan. Alhasil, para guru kurang memiliki kapasitas terkait PRB. Ini berarti pemerintah perlu mengadakan pelatihan khusus untuk guru – guru yang nantinya ditularkan pada para murid. Harapannya, mereka bisa serta sedikit banyak mampu berupaya meredam musibah yang mengiringi setiap kegiatan study tour dengan bekal pengetahuan dalam pemetaan wilayah, mitigasi bencana, termasuk di dalamnya pengenalan terkait bahaya arus pusar pantai termasuk melakukan simulasi kebencanaan secara rutin.


Oleh: Nurika Hari Nurdi, S.S. (Guru SD Negeri 1 Genteng Dan Direktur Pada Center for Intereducational Studies and Conflict Resolution)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak