BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Mengenal Brain Rot

Pena Laut -
Di era serba digital ini, manusia dimudahkan dalam menjalani kehidupannya. Termasuk, dalam melakukan berbagai aktivitas dan pekerjaan. Termasuk adanya gadget, salah satu teknologi komunikasi dan informasi yang merupakan sebuah barang atau ponsel kecil yang memudahkan manusia dalam berkomunikasi antar sesama dan dapat mengakses segala informasi yang berguna bagi kehidupannya. Penggunaannya pun cukup efektif dan efisien, selain mudah dibawa juga memiliki banyak manfaat. Bisa dikatakan, mayoritas manusia dalam lingkup generasi milenial dan Z memiliki barang yang disebut gadget ini. Namun, selain memiliki manfaat, teknologi ini dapat menjadi boomerang atau efek negatif bagi penggunanya.

Media sosial yang menjadi salah satu akses informasi serta komunikasi, memberikan hal yang menarik bagi pengguna, selain berkomunikasi manusia dapat menggunakannya untuk melihat, atau membuat konten-konten. Umumnya, dalam sebuah konten berisi cuitan gambar, tulisan, atau video hal yang informatif, hiburan, atau justru hal-hal yang tidak bermakna (merusak). Tentunya manusia bebas mengakses konten manapun sesuai minatnya. 

Kemudian dalam aspek psikologi, kognisi atau bagian otak manusia yang berguna untuk menyerap atau memahami informasi akan di uji disini. Kognisi, bila diasah akan semakin tajam, dalam artian seseorang akan dengan mudah memahami serta membuat kesimpulan akan sebuah informasi. Namun, sebaliknya jika tidak asah akan mengakibatkan lemahnya penyerapan serta pemahaman akan informasi yang selanjutnya akan menimbulkan kondisi buruk, yang akan dibahas pada tulisan ini.

Apa itu Brain Rot?

Baru-baru ini muncul sebuah istilah yaitu Brain Rot, fenomena yang mempengaruhi kesehatan mental di era digital. Istilah ini menggambarkan keadaan dimana otak kita seolah-olah “membusuk” akibat paparan berlebihan terhadap konten digital yang tidak bermakna atau bahkan merusak. Istilah brain rot awalnya digunakan secara informal untuk menggambarkan efek negatif dari menonton banyak televisi.

Dalam konteks modern, Brain Rot merujuk pada kondisi penurunan mental akibat konsumsi konten berkualitas rendah atau receh secara berlebihan di dunia maya. Fenomena ini sering ditemukan di platform seperti TikTok, yang sangat populer di kalangan Gen Z dan Gen Alpha. Konten singkat yang dangkal, paparan visula yang berlebihan, judul menyesatkan, informasi tidak valid, tayangan mengejutkan, hingga konten berbahaya yang mudah ditiru, semuanya berkontribusi pada terbentuknya kondisi ini. Akibatnya, otak menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis serta mendalam.

Fenomena Brain Rot di era digital tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi berpotensi merusak fungsi otak secara keseluruhan. Brain Rot dapat menjadi pemicu disfungsi kognitif dan emosional yang berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup.

Apa dampak bahaya yang mengancam?

Kemunduran kognitif. Paparan konten instan secara berlebihan menurunkan kemampuan otak untuk memproses informasi kompleks. Ini mengurangi daya analisis, pemecahan masalah, dan kreativitas.
Gangguan regulasi emosi. Overstimulasi dari konten visual dan auditori memperburuk pengaturan emosi. Pengguna menjadi lebih mudah cemas, depresi, atau bahkan agresif. Paparan berulang terhadap konten yang merangsang adrenalin membuat otak sulit mengatur ulang kondisi tenang.

Ketergantungan pada dopamin instan. Konten berkualitas rendah seringkali dirancang untuk memicu pelepasan dopamin sesaat, menciptakan efek kecanduan. Ini mengurangi motivasi untuk mencari sumber kesenangan yang lebih bermakna, seperti belajar atau berinteraksi sosial nyata.

Gejala apa yang bisa dikenali?

a. Kesulitan berkonsentrasi: sulit fokus pada tugas-tugas yang membutuhkan perhatian mendalam, seringkali disertai kebiasaan multitasking yang kurang efektif.
b. Disorientasi mental: kesulitan memahami konteks situasi atau lingkungan, sehingga mudah merasa bingung.
c. Gangguan memori: menurunnya kemampuan untuk menyimpan informasi jangka pendek, terutama untuk hal-hal yang baru terjadi.
d. Perubahan emosi yang tidak stabil: mudah tersinggung, merasa cemas tanpa alasan yang jelas, atau bahkan kehilangan motivasi terhadap hal-hal yang dulu disukai.
e. Kemampuan pengambilan keputusan melemah: sulit mempertimbangkan pilihan secara rasional dan cenderung mengambil keputusan secara impulsif tanpa pertimbangan yang matang

Bagaimana cara mencegahnya?

Untuk mencegah Brain Rot, penting untuk mengambil langkah-langkah yang tepat. Batasi durasi penggunaan layar setiap hari sesuai rekomendasi yaitu tidak lebih dari 2 jam untuk anak-anak dan maksimal 4 jam untuk orang dewasa di luar keperluan pekerjaan. Langkah ini dapat membantu mengurangi kelelahan mata dan mental. Selanjutnya, pilihlah konten dengan bijak dengan cara menghindari aplikasi atau konten yang memicu stres atau adiksi, dan fokuslah pada konten yang edukatif, inspiratif, atau membantu pengembangan diri. 

Detoksifikasi digital secara berkala juga sangat penting. kurangi penggunaan perangkat digital selama beberapa waktu untuk melakukan refleksi diri atau menikmati aktivitas tanpa interaksi dengan perangkat digital.

Selain itu, isi waktu dengan aktivitas yang lebih bermakna. Alihkan perhatian dari perangkat digital dengan kegiatan seperti meditasi, olahraga, membaca buku, atau belajar keterampilan baru seperti memainkan alat musik atau mempelajari bahasa asing.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan gaya hidup digital yang lebih seimbang. Selain melindungi kesehatan mental dan fisik, ini juga meningkatkan fokus, produktivitas, dan kualitas hidup secara keseluruhan di tengah derasnya arus informasi yang terus berkembang.


Oleh: Fawaid Abdullah Abbas (PMII Ibrahimy)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak