Mereka juga menyasar pola relasi kuasa antara Santri dan Kiai. Dengan kepatuhan dan ketundukan Santri kepada Kiai—seperti atasan dan bawahan, tuan tanah dan petani—pasalnya pola relasi kuasa ini sangat membuka praktik eksploitasi, penindasan, dan pembungkaman di dalamnya. Dengan banyaknya viewers dan komentar, video ini telah berhasil menghegemoni masyarakat medsos (netijen).
Feodalisme
Dalam buku “Feodalisme & Imperialisme di Era Global”, secara umum Rudiaji Mulya menyebutkan Feodalisme sebagai paham atau aliran yang meletakkan kekuasaan di segala sektor kehidupan kepada sebagian kelompok kecil masyarakat—dahulu kelompok kecil ini adalah kaum bangsawan. Kekuasaan dalam pelaksanannya digunakan hanya untuk kemewahan, kepuasan, keagungan, dan kejayaan dirinya beserta kelompoknya.Di sisi lain, Feodalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: (a) Sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan, (b) Sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja, (c) Sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Secara historis, budaya Feodalisme ini mulai berkembang di Eropa abad pertengahan antara abad ke-9 dan ke-15. Prinsip yang di pegang adalah pertukaran. Raja memberikan hak tanah kepada bangsawan dengan imbalan layanan militer, sedangkan bangsawan memberikan layanan perlindungan kepada petani dengan imbalan sebagian hasil pertaniannya.
Seiring dengan perkembangannya, feodalisme ini cenderung berkonotasi negatif, sehingga istilah ini sekarang dianggap tidak memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas (Alexanderandi, 2024). Namun, pada umumnya, masyarakat Indonesia menganggap feodalisme sebagai bentuk perilaku yang lalim. Seperti kolot, ingin dihormati, gila kekuasaan, mengkultuskan, dan masih mempertahankan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan.
Dari beberapa deskripsi di atas, setidaknya terdapat dua point yang saling berkaitan. Pertama, dalam feodalisme terdapat hierarki sosial. Seperti: tuan tanah dan petani, borjuis dan proletar, atasan dan bawahan. Ini saya sebut sebagai feodalisme sebagai nilai.
Kedua, feodalisme sebagai bentuk. Artinya, feodalisme dalam praktiknya menghasilkan ketimpangan yang tidak menguntungkan satu sama lain. Pihak atasan merasa dirinya mulia dan agung—tanpa dibarengi dengan prestasi dan kualitasnya, serta mereka menggunakan otoritasnya untuk sewenang-wenang, menindas, dan merugikan bawahannya.
Dari sini dapat kita pahami bahwa feodalisme akan lahir, jika atasan (tuan tanah) dengan keangkuhannya menggunakan kekuasaannya untuk merugikan bawahannya. Sehingga dari sini akan muncul praktik-praktik kesewenang-wenangan, pengkultusan, penindasan, ekploitasi, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa relasi antara atasan-bawahan tidak dibangun dengan prinsip egaliter atau kesetaraan.
Egalitarianisme Pesantren
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam nonformal tentu mempunyai adat, tradisi, budaya, dan ideologi yang berbeda dari banyaknya instansi yang ada. Semua punya tujuan, landasan, dan pijakan masing-masing, tidak asal meniru dan bertindak.Ini dibuktikan dengan kitab-kitab yang dikaji oleh beragam Pesantren. Hampir semua Pondok Pesantren, saya rasa tak akan absen untuk mengkaji kitab akhlak atau etika. Mulai dari kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim (karya KH. Hasyim Asy’ari), hingga Ihya’ Ulumuddin (karya Imam Al-Ghazali).
Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim, misalnya. Terdapat 35 klasifikasi atau nilai-nilai yang harus dilakukan oleh Santri (murid). Setidaknya terdapat tiga pengelompokan: etika yang harus dimiliki pelajar, etika pelajar terhadap guru, dan etika belajar. Sedangkan untuk Kiai (guru), terdapat 48 klasifikasi atau nilai-nilai yang harus dilakukan oleh guru. Juga terdapat tiga pengelompokan: etika yang harus dimiliki guru, etika guru terhadap siswa, dan etika mengajar.
Nilai-nilai etika Santri terhadap Kiai, cukup dipegang hanya oleh Santri. Begitupun sebaliknya, nilai-nilai etika Kiai terhadap Santri cukup dipegang hanya oleh Kiai. Keduanya saling instropeksi diri, sehingga tak ada pendiktean dari salah satu pihak. Saya rasa hampir tak ada Kiai yang mengharuskan Santrinya untuk menunduk-nunduk dihadapannya. Apalagi sampai marah bila ada Santri yang tidak menunduk dihadapannya. Sebab, bila itu terjadi maka Kiai telah mencederai nilai-nilainya.
Dalam hal ini prinsip yang dipegang adalah gotong royong. Tak ada logika pemberi dan penerima, semua hanya persoalan peran yang diampunya. Semua telah diatur dalam kitab tersebut. Sehingga ada kualifikasi ketat antara orang bisa disebut sebagai Kiai maupun Santri, tak hanya sekedar pintar mengemukakan dalil-dalil agama saja untuk mencapai gelar Kiai, begitupun juga dengan Santri.
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa dalam persoalan relasi Santri dan Kiai, idealnya, Pesantren sama sekali tidak merawat budaya feodalisme. Mereka justru malah mempertahankan egalitarianisme (kesetaraan). Sebab, mereka sama-sama dituntut untuk harus saling menjaga nilai-nilainya (etika). Mereka sama-sama harus melakukannya agar terjadi harmonisasi, sehingga tujuan luhur pendidikan pesantren dapat tercapai. Ini yang masih belum dijamah oleh sebagian masyarakat yang menganggap pesantren itu feodal.
Jika dalam bentuknya, Kiai atau Santri melenceng dari nilai-nilai etikanya, misalnya: kesewenang-wenangan Kiai mendikte Santri, pelecehan seksual terhadap Santri, dan memperalat Santri demi kekayaan Kiai, ini saya rasa bisa disebut feodalisme. Bahkan feodalisme akut!
Oleh: Hilmi Hafi (ROLian)
Posting Komentar