Pena Laut - Sebagaimana yang mafhum diketahui, bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Manusia, dengan keterbatasan yang dimilikinya, tidak akan mampu hidup dengan mengandalkan kedua tangan dan kaki. Bagaimanapun, kemampuan manusia terbatas, dan membutuhkan bantuan orang lain. Salah satu contoh yang paling nyata di dalam kehidupan manusia saat ini ialah, ketika terdapat persengketaan antar-manusia atau kelompok. Untuk menyelesaikan, atau memberikan solusi atas persengketaan yang terjadi antara kedua belah pihak yang tengah bersengketa itu, manusia modern menciptakan sebuah institusi pengadilan.
Dalam pengadilan tersebut, seorang hakim (Arab: Qadhi) memiliki peran penting untuk memutuskan sebuah perkara yang disengketakan. Sebab, jika tidak ada seorang hakim atau penengah, kecenderungan antara kedua belah pihak akan terus membela dirinya sendiri, dan kerap kali mengedepankan egoisme masing-masing. Demikian halnya problem yang terjadi dalam spektrum sosial-kemasyarakatan. Karena masalah yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat terbilang kompleks, terkadang terdapat beberapa hal yang kurang mampu—untuk tidak mengatakan “tidak bisa”—diselesaikan di depan meja hijau persidangan. Atau, persoalan itu hanya cukup diselesaikan oleh seseorang yang dipercaya masyarakat, seperti tokoh masyarakat, Kades, anggota kepolisian, kepala Dukuh, kiai, dan seterusnya.
Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap sosok seperti kiai, misalnya, sangat tinggi jika melihat historisitas perjalanan pra-Kemerdekaan hingga hari ini. Kiai, di mata masyarakat Indonesia (khususnya di Jawa), merupakan sosok yang multitalenta. Seakan-akan, setiap persoalan yang dialami seseorang, akan selesai jika “sowan” ke kiai. Di Jawa Timur, terdapat dua tipologi kiai yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat, yaitu Kiai Pesantren dan Kiai Tarekat. Tipe yang pertama, ialah pengasuh sekaligus pemimpin pondok pesantren, sedangkan tipe kedua, merupakan kiai yang memimpin suatu tarekat tertentu (mursyid tarekat) yang membimbing masyarakat dalam urusan bathin (olah rasa).[1]
Berkenaan dengan peran kiai dalam menyelesaikan problem sosial-kemasyarakatan, di ujung timur Jawa terdapat seorang kiai yang selalu menjadi rujukan ulama, politisi, dan masyarakat ketika terjadi perselisihan atau persengketaan yang tidak kunjung menemukan jawaban. Ia adalah kiai kharismatik dan termasuk ke dalam Kiai Pesantren, yaitu KH. Imam Zarkasyi bin Djunaidi Asymuni.
Islam Agama Damai: Pandangan dan Laku Urip Kiai Zarkasyi
Jalan perdamaian dalam menyelesaikan persoalan yang tengah terjadi, apalagi memiliki potensi konflik (perang) antar-golongan, adalah hal yang selalu diprioritaskan oleh seluruh agama, khususnya Islam. Hal itu dapat dipahami dari visi Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam shalil li kulli zaman wa makan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam yang lebih menyerukan perdamaian daripada menyelesaikan persoalan dengan jalan konflik, atau “perang” (jihad). Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi:Dari Tamim Abi Ruqoyyah Tamim bin Aus ad-Dariy, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Agama adalah nasihat”. Kami (para sahabat) bertanya, “Untuk siapa?”. Nabi menjawab: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin” (HR. Muslim)
Hadits di atas telah sangat jelas, bahwa agama (Islam) merupakan nasihat (menghendaki kebaikan) kepada sesama, terutama kaum Muslim. Bahkan, secara umum, seluruh agama memiliki visi yang sama: menghendaki kebaikan. Sehingga, lajur perdamaian dan melalui cara yang ramah, adalah akibat dari nilai-nilai instrinsik dalam sebuah agama, khususnya Islam. Di dalam Islam, setiap Muslim sangat dilarang saling membenci, bermusuhan, dan memperpanjang konflik. Sebagaimana hadits yang disampaikan Anas bin Malik:
Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan kalian saling membenci, jangan saling menghasud, dan jangan saling bermusuhan. Jadilah hamba Allah yang bersaudara, dan tidak dihalalkan seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari” (HR. Bukhari)
Sebagai Muslim yang taat dan memiliki kedalaman ilmu serta keluasan cakrawala wawasan, Kiai Zarkasyi merupakan salah satu tokoh masyarakat yang selama hidupnya senantiasa menyerukan perdamaian. Kiai Zarkasyi memiliki pandangan, “selama memungkinkan jalan damai, hindari menggunakan jalan konflik”.[2] Pandangan ini selalu beliau aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Lebih jauh, beliau sama sekali tidak membenarkan merubah sesuatu melalui cara-cara kekerasan, kendati hal itu bertujuan baik.[3]
Apa yang menjadi lelaku urip Kiai Zarkasyi tidak lain dari potret Islam yang “ramah”, bukan Islam yang “marah”. Bagi beliau, dengan melemparkan fitnah dan melakukan cara-cara kekerasan, tidak akan menyelesaikan masalah. Justru sebaliknya, dengan kekerasan, masalah akan semakin runyam. Hal ini sesuai dengan amanah Kiai Zarkasyi yang disampaikan oleh KH. Nuruddin Qasim, seorang ulama sepuh asal Tegalsari, yang ditujukan kepada Nahdliyin agar tidak saling bertengkar, bermusuhan, dan memperpanjang konflik. Warga Nahdliyin harus menjaga persatuan dan kesatuan, agar tidak mudah terpecah belah.[4]
Seperti halnya para kiai di Bumi Nusantara, Kiai Zarkasyi juga menjadi salah satu rujukan masyarakat, terutama para politisi dan ulama Nahdlatul Ulama, ketika mereka dihadapkan pada persoalan yang sukar diatasi. Menurut pengakuan KH. Hasyim Cholil, Ketua PCNU Banyuwangi kala itu, Kiai Zarkasyi selalu mengislahkan (baca: mendamaikan) perselisihan di tingkat elite politik dan ulama di kalangan NU. Karena, Kiai Zarkasyi, selama hidup tidak pernah terlibat dalam kelompok kepentingan tertentu, dan di kalangan kiai, ketika Kiai Zarkasyi memutuskan suatu perkara, para kiai pasti legowo.[5] Senada dengan Kiai Hasyim Cholil, KH. Nuruddin Qasim menyebut Kiai Zarkasyi sebagai hakim di antara kiai dan tokoh politik di Banyuwangi, khususnya. Setiap ada perselisihan di antara mereka (para politisi atau kiai), hanya Kiai Zarkasyi yang bisa memutuskan.[6]
Dari uraian tersebut, jelas yang menjadi “pemikat” Kiai Zarkasyi menjadi rujukan masyarakat ialah pandangan dan laku urip-nya yang damai, ramah, dan senantiasa mengedepankan kepentingan umat. Peran Kiai Zarkasyi dalam kancah politik lokal maupun nasional membuktikan bahwa kiai kelahiran Madura itu memiliki komunikasi yang baik, dan karakteristik dakwah Kiai Zarkasyi sama sekali jauh dari kekerasan dan diskriminasi kelompok tertentu. Meski beliau dikenal sebagai “perekat” antara kiai dan politisi NU, tak jarang keberadaan beliau justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.[7]
Islam, di mata Kiai Zarkasyi, adalah Islam yang ramah, Islam yang non-violence, dan Islam yang merahmati seluruh alam semesta dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, dan memprioritaskan kepentingan umat. Bukan Islam yang “marah”, ekstremis dalam gerakan, dan Islam yang acap kali “mengkafirkan” sesama Muslim. Kiai Zarkasyi adalah seorang kiai yang mendapat warisan para nabi (al-Ulama’ waratsah al-Anbiya’) dan menanamkan risalah kenabian itu melalui jalan perdamaian.
Kiai Zarkasyi, Sang Qadhi Umat: Jejak-jejak Penyelesaian Konflik
Kiprah seorang ulama kharismatik sekaligus pengasuh kedua pesantren peninggalan KH. Djunaidi Asymuni, Pondok Pesantren Bustanul Makmur, Kebunrejo, itu sangat luas. Pandangan dan nasihat Kiai Zarkasyi laiknya setetes air yang dinanti-nanti di tengah kegersangan kehidupan, baik dalam “kehidupan” politik maupun sosial-kemasyarakatan. Dalam kancah politik, nama Kiai Zarkasyi dikenal dari tingkat lokal sampai nasional. Hampir semua pejabat politik dari level provinsi sampai pusat, ketika berkunjung di Banyuwangi, kebanyakan sowan kepada Kiai Zarkasyi. Meski dalam keadaan sakit, beliau tetap mau menemui mereka dengan sabar dan penuh ketelatenan.[8]Sebagaimana yang telah disebutkan di muka, Kiai Zarkasyi sering kali menjadi penengah dan mengislahkan (mendamaikan) perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat. Setidaknya, seturut sejarah yang masyhur diketahui, Kiai Zarkasyi pernah menyelesaikan dua peristiwa penting dalam sejarah Indonesia; pertama, ketika pemakzulan Gus Dur, dan kedua, peristiwa “geger” santet di Banyuwangi.
Pertama, meredam aksi massa Laskar Pembela Gus Dur
Sepanjang tahun 2000 sampai awal 2001, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kala itu menduduki kursi kepresidenan RI mendapat berbagai ancaman dan tekanan dari berbagai pihak agar bersedia mundur dari jabatan Presiden. Faktor yang melatarbelakangi hal itu, antara lain: pembubaran MPR dan DPR; pemecatan pihak-pihak yang bertentangan secara politis dengan Gus Dur; permintaan maaf kepada korban peristiwa G-30-S 1965; dan beberapa hal lainnya.
Dalam situasi politik semacam itu dan terdengar kabar bahwa Gus Dur “digoyang” oleh lawan politiknya melalui Memorandum dan Sidang Istimewa, membuat masyarakat (khususnya Nahdliyin) tersulut amarah hingga menciptakan gelombang besar aksi dari segala penjuru Tanah Air. Aksi tersebut bukan tanpa alasan, mereka yang turun ke jalan dan bahkan sampai memblokade wilayah tertentu menganggap apa yang dilakukan lawan politik Gus Dur melalui Sidang Istimewa itu adalah tindakan inkonstitusional. Dengan kata lain, tokoh kharismatik di kalangan NU itu telah dizalimi dan wajar jika terjadi gelombang gerakan yang besar, sebab “guru bangsa” mereka tidak diperlakukan secara adil.
Gerakan membela Gus Dur itu juga terjadi di ujung timur Jawa, Banyuwangi. Pada 15 Maret 2001, aksi massa yang terdiri dari berbagai daerah Banyuwangi berbondong-bondong menuju pelabuhan Ketapang. Ribuan massa memenuhi pelabuhan, dan dengan amarah yang meluap-luap terhadap pemerintah, membuat potensi kekacauan (chaos) semakin besar. Apalagi, timbul isu yang bertujuan memecah belah umat Islam, yakni beberapa rumah anggota Muhammadiyah telah diberi tanda silang.[9] Hal ini tentu sangat memicu perpecahan dan permusuhan umat Islam, khususnya di Banyuwangi. Dalam rangka meredam amuk massa aksi itu, bergantian beberapa tokoh masyarakat, kiai, pejabat maupun aparat penegak hukum. Namun, upaya yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Ribuan massa aksi yang memenuhi pelabuhan Ketapang tidak bisa diredam.
Kemudian, Kiai Zarkasyi mendapat telepon dari Gus Dur (Presiden RI ke-4) dan KH. Hasyim Muzadi, selaku Ketua Umum PBNU, atas kericuhan yang terjadi di pelabuhan Ketapang itu. Melalui telepon, Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi, meminta agar Kiai Zarkasyi meredam aksi massa yang ada di pelabuhan Ketapang. Meski dalam keadaan sakit, Kiai Zarkasyi tetap menghampiri lautan manusia yang berada di Ketapang dengan dibonceng menggunakan motor. Sesampainya beliau di tengah Laskar Pembela Gus Dur itu, Kiai Zarkasyi hanya menyampaikan pesan dari Gus Dur dan KH. Hasyim Muzadi: “...bahwa dengan cara seperti ini kita tidak (akan) mendapatkan keuntungan, melainkan kita sendirilah yang akan dirugikan”.[10]
Mendengar pesan yang disampaikan Kiai Zarkasyi, tidak membutuhkan waktu lama amarah aksi massa dapat diatasi. Kalimat demi kalimat yang dikeluarkan Kiai Zarkasyi bagaikan angin sepoi yang menyejukkan massa yang ada di pelabuhan Ketapang. Hal itu karena apa yang disampaikan Kiai Zarkasyi langsung dari Gus Dur, dan juga ditopang oleh kewibawaan dan ketulusan Kiai Zarkasyi. Setelah meredam massa di pelabuhan Ketapang, Kiai Zarkasyi langsung menuju ke Gunung Gumitir (jalan Jember-Banyuwangi) untuk meredam aksi blokade jalan—dengan menumbangkan pohon-pohon besar. Namun, seperti yang terjadi di Ketapang, Kiai Zarkasyi mampu meredam aksi blokade itu.[11]
Kedua, menghadapi peristiwa Geger Santet 1998
Dalam sejarah Indonesia, pada tahun 1998, tercatat sebuah gelombang besar-besaran dari masyarakat sipil, khususnya mahasiswa, yang membawa arus Reformasi dalam rangka “menumbangkan” Rezim Soeharto yang telah menguasai Indonesia selama puluhan tahun. Karena gelombang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kekuatan sipil dan krisis ekonomi (ekonomi-politik internasional), akhirnya Presiden Soeharto harus mundur dari jabatan pada 21 Mei.[12] Dan, kemudian, terjadi proses peralihan kepemimpinan, dari Presiden Soeharto ke BJ. Habibie. Kendati peralihan kepemimpinan itu berjalan dengan lancar, namun terdapat beberapa pihak yang justru menginginkan terjadinya kerusuhan di masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan meletusnya tragedi bersejarah di Banyuwangi, yaitu pembantaian dukun santet pada 1998.
Tragedi yang merenggut nyawa manusia itu terjadi, mulanya, pada 4 Februari 1998 yang menjadi korban pembunuhan pertama ialah Soemarno Adi, warga Sumberwadung, Kaligondo. Keesokan harinya, terdapat dua korban lain bernama Sahroni dan Asmaki. Keduanya merupakan warga Pakis Jalio, Banyuwangi. Hampir secara berurutan, beberapa korban dari berbagai daerah di Banyuwangi menjadi sasaran, seperti Desa Selorejo, Desa Cluring, Desa, dan Desa Bedewang.[13] Namun setelah itu, sepanjang bulan Maret hingga Juni, tidak ada kabar tentang pembantaian dukun santet di Banyuwangi.
Sebulan kemudian, pada Juli 1998, kabar bahwa terjadi lagi pembunuhan terhadap seseorang yang dianggap sebagai “dukun santet”. Dan, pada bulan-bulan berikutnya, jumlah korban semakin bertambah, yaitu pada Agustus-September. Terutama, pada September, jumlah korban mencapai 73 jiwa.[14] Berkenaan dengan jumlah korban tragedi geger santet Banyuwangi ini, beberapa laporan menunjukkan angka yang berbeda. Seperti, jmlah korban sebanyak 174 jiwa (versi Komunitas Pencari Keadilan, Kompak), 147 jiwa (versi Tim Pencari Fakta Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama, TPF-PWNU), 103 jiwa (versi Pemda Banyuwangi), dan 95 jiwa (versi Polda Jawa Timur).[15]
Menghadapi situasi dan kondisi yang demikian, Kiai Zarkasyi selaku salah seorang pimpinan di PCNU Banyuwangi kala itu, berinisiasi dan membentuk Tim Investigasi Nahdlatul Ulama. Menurut penelusuran Tim Investigasi NU yang diketuai oleh Ali Makki Syamwiel, terdapat 102 korban meninggal dunia dan 45 luka berat. Dan, mayoritas dari korban ialah warga Nadliyin. Oleh karena itu, pada 9 Januari 1999, PCNU Banyuwangi menyalurkan tali asih kepada keluarga korban.[16]
Karena tragedi yang merenggut ratusan nyawa itu, kemudian Kiai Zarkasyi menginisiasi gerakan pemakzulan Purnomo Sidik, Bupati Banyuwangi. Sebab, Purnomo Sidik adalah orang yang bertanggung jawab atas peristiwa pembunuhan orang yang dianggap dukun santet. Penilaian itu tidak terlepas dari dua radiogram yang dikirim Bupati ke sejumlah Camat untuk melakukan pendataan terhadap warga yang dicurigai sebagai dukun santet.[17] Lantas, gerakan itu diwujudkan dalam bentuk mosi yang ditandatangani oleh 99 ulama Banyuwangi di bawah pimpinan Kiai Zarkasyi. Dengan dinamika yang terjadi, akhirnya Bupati Purnomo Sidik menanggalkan jabatannya pada pertengahan 1999.
Dengan tekad yang kuat, Kiai Zarkasyi bersama dengan ulama lainnya, mampu menenangkan umat di tengah situasi yang menegangkan itu. Meski sempat terjadi krisis, namun Kiai Zarkasyi dan para ulama Bumi Blambangan mampu mengontrol agar tidak terjadi pembantaian yang lebih mengerikan lagi. Dan, beliau mampu meminimalisasi potensi konflik antar-umat, khususnya umat beragama dan elemen sosial lainnya.[18]
Dari dua kasus yang telah diuraikan di atas, Kiai Zarkasyi sangat berperan penting dalam menangani problem yang terjadi di masyarakat. Strategi yang dilakukan Kiai Zarkasyi, tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan yang berpotensi menambah masalah. Seakan-akan, setiap persoalan yang terjadi, di “tangan” Kiai Zarkasyi dapat teratasi. Hal ini tidak lain dari kedalaman ilmu, keikhlasan hati, keluasan cakrawala pemikiran, dan spirit Islam “ramah” yang diaktualisasikan oleh Kiai Zarkasyi semasa hidupnya.
Beliau adalah Qadhi bagi umat, terutama di Banyuwangi. Seorang ulama kharismatik, dan konon salah satu “Kiai Khos”-nya Gus Dur ini, mampu menyelesaikan problem yang dihadapi oleh umat dengan penuh kebijaksanaan. Spirit dan laku urip Kiai Zarkasyi, seakan memberi ibroh kepada masyarakat dari berbagai kalangan, khususnya generasi saat ini, bahwa jalan damai adalah yang paling utama, ketimbang jalan konflik yang berpotensi memicu pertikaian tanpa ujung dan justru dapat menghasilkan banyak korban.***
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, Penulis 5 Wasiat KH. Imam Zarkasyi Djunaidi
Catatan Akhir
[1] Selain Kiai Pesantren dan Kiai Tarekat yang telah disebutkan di atas, Turmudi juga menyebutkan dua tipe lain, yaitu Kiai Panggung dan Kiai Politik. Keempat tipologi kiai tersebut merupakan tokoh agama Islam yang banyak ditemui di dalam kehidupan masyarakat. Selebihnya lihat; Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS, 2004
[1] Selain Kiai Pesantren dan Kiai Tarekat yang telah disebutkan di atas, Turmudi juga menyebutkan dua tipe lain, yaitu Kiai Panggung dan Kiai Politik. Keempat tipologi kiai tersebut merupakan tokoh agama Islam yang banyak ditemui di dalam kehidupan masyarakat. Selebihnya lihat; Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS, 2004
[2] Lihat Ainur Rofiq S. Ahmad, Tiga Kiai Khos. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008, hal. 114
[3] Lihat Dendy Wahyu Anugrah, 5 Wasiat KH. Imam Zarkasyi Djunaidi: Syarah Wasiat Untuk Institut Agama Islam Ibrahimy. Malang: Dinun, 2024, hal. 79
[4] Amanah ini disampaikan KH. Nuruddin Qasim, Rais Syuriah PCNU Banyuwangi, dalam “Kiai Penyejuk Massa Itu Telah Tiada”, Surya Jatim, 3 Desember 2001
[5] Lihat Radar Banyuwangi, “Kiai Zarkasih Wafat”, 3 Desember 2001
[6] Lihat Radar Banyuwangi, “Jadi Hakim Pertikaian Antarkiai dan Politisi NU”, 3 Desember 2001
[7] Ainur Rofiq S. Ahmad, Tiga Kiai Khos, hal. 115
[8] Lihat Radar Banyuwangi, “Sejak Muda Sudah Mengenal Organisasi Perjuangan”, 3 Desember 2001
[9] Ainur Rofiq S. Ahmad, Tiga Kiai Khos, hal. 117
[10] Ibid, hal. 118
[11] Ibid.
[12] Menurut Hasyim Wahid, terjadinya proses Reformasi sebenarnya bukan semata-mata merupakan perjuangan rakyat Indonesia, namun ada tangan-tangan ghaib yang ikut bermain sehingga kekuatan politik Soeharto yang begitu kuat dan mengakar bisa runtuh hanya dalam waktu tiga bulan”. Selengkapnya lihat; Hasyim Wahid, dkk, Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 1999
[13] Veven Sp. Wardhana, Abdul Manan, dan Imam Suma Armadja, Geger Santet Banyuwangi. Jakarta: ISAI, 2001, hal. 6-9
[14] Ibid.
[15] Ibid, hal. 1-2
[16] Ayung Notonegoro, Lentera Blambanga: Biografi Sembilan Ulama Teladan. Banyuwangi: Komunitas Pegon, 2023, hal. 300
[17] Ibid.
[18] Ibid, hal. 301
Posting Komentar