BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Intervensi Kebudayaan untuk Kedaulatan Pangan

Pena Laut -
Permasalahan pangan bagi negara Indonesia maupun negara-negara lain di dunia, merupakan isu yang paling krusial dan memiliki dampak yang signifikan terhadap nasib suatu bangsa. Pilar utama dalam menjaga kesejahteraan suatu negara terpatri dari ketersediaan pangan yang cukup, aman, dan berkualitas. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia meletakkan persoalan pangan sebagai isu yang paling mendominasi dalam ruang demokrasi dari upaya membangun kesejahteraan masyarakat.

Tantangan yang masih dihadapi termasuk ketimpangan akses terhadap pangan, ketergantungan pada impor pangan, perubahan iklim serta degradasi lingkungan dan sumber daya alam menjadi penghalang utama dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs). Beberapa indikator SDGs pertanian Indonesia hingga kini belum terpenuhi secara komprehensif seperti indikator proporsi lahan pertanian di bawah kriteria lahan produktif dan berkelanjutan, proporsi penduduk dengan kepemilikan atas lahan pertanian, dan volume produksi per unit tenaga kerja untuk petani skala kecil.

Budaya Pondasi Utama Kedaulatan Pangan

Di situasi seperti ini, permasalahan yang cenderung terabaikan dalam pembicaraan soal sistem pangan ialah kebudayaan. Sepanjang perjalanan bumi ini berevolusi, manusia mengembangkan beragam cara untuk memenuhi kebutuhan pangannya, kebudayaan menjadi nilai yang paling fundamental untuk memperkukuh ketahanan pangan di setiap daerah.

Konsep kedaulatan pangan dilahirkan pertama kali saat pertemuan petani yang dibentuk tahun 1992 pada Kongres The National Union of Farmers and Livestock Owners (UNAG). Dari pertemuan ini berhasil dirumuskan visi, yakni kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa untuk mempertahankan dan mengembangkan kemampuanya sendiri untuk menghasilkan pangan dasar dengan menghormati keragaman budaya dan sistem produksinya sendiri, masyarakat memiliki hak untuk memproduksi makanannya sendiri di wilayahnya. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat untuk mencapai keamanan pangan sejati (genuine food security).

Ide dasar kedaulatan pangan adalah mengangkat kesejahteraan petani kecil yang selama ini masih terpinggirkan. Pendekatan kedaulatan pangan lebih menghargai budaya lokal, sehingga petani dapat menanam varietas sendiri yang disukainya, dengan cara sendiri, dan memasak dengan selera sendiri karena menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan mendukung sepenuhnya pola-pola pertanian yang berbasis keluarga, di mana mereka menanam sendiri dan memakan sendiri dari lahannya (land to mouth).

Sementara dari deklarasi Forum for Food Sovereignty, Nyéléni di Mali tahun 2007, dirumuskan sembilan prinsip kedaulatan pangan. Beberapa di antaranya adalah perhatian kepada perempuan, konservasi dan rehabilitasi lingkungan, serta perhatian kepada petani kecil, dan kultur mereka. Termasuk mengakui dan menghormati keragaman pengetahuan tradisional, nilai-nilai petani, makanan, bahasa, dan juga budaya, serta mempertahankan dan penguatan kemampuan petani untuk membuat keputusan tentang pemenuhan kebutuhan mereka terhadap materi, warisan alam, dan spiritual. Pada hakekatnya, tujuan hakiki kedaulatan pangan adalah meningkatkan kualitas kehidupan petani.

Menelusuri Akar Budaya

Berbicara tentang kedaulatan pangan berarti juga mencangkup pelestarian warisan budaya dan praktik pertanian tradisional. Kedaulatan pangan bukanlah konsep yang terlepas dari akar budaya Nusantara, justru hal tersebut merupakan satu kesatuan pokok yang perlu kita jaga dan dilestarikan. Hal ini tersampaikan oleh Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (kemendikbud ristek) Indonesia menekankan bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan.

Menurutnya, dengan memahami dan memanfaatkan bahan pangan lokal berarti juga menjaga melestarikan identitas bangsa. Dalam konteks Indonesia, sebagai bangsa yang kaya akan keragaman geografis dan budaya, sepanjang sejarah dalam budaya pangan, berbagai suku, komunitas, dan etnis memiliki cara unik dalam memproduksi, mengelola, dan mengkonsumsi makanan. Hal ini dapat diartikan bahwa makanan bukan hanya sekedar memenuhi asupan gizi dan menambah energi, namun ia tak lain merupakan bentuk ekspresi budaya, kekayaan warisan leluhur, dan jalan bagi masyarakat bersosialisasi.

Dalam ekosistem yang berbeda, manusia melahirkan kebiasaan dan pola pangan yang berbeda juga. Dari beragam kebiasaan tersebut kemudian membentuk pola kehidupan masyarakat yang diwariskan dari generasi seterusnya melalui berbagai bentuk tradisi budaya, diantaranya pengetahuan lokal tentang pertanian dan ritual adat istiadat.

Dr. Vandana Shiva seorang ilmuwan dan aktivis lingkungan yang berasal dari India berpendapat bahwa kedaulatan pangan adalah kunci untuk mencapai keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Ia menekankan pentingnya membangun sistem pangan yang berbasis pada kearifan lokal, menghormati pengetahuan tradisional masyarakat, dan memperkuat peran petani sebagai pengelola sumber daya alam.

Selain itu, menurut Vandana Shiva kedaulatan pangan yang di sektor oleh masyarakat sendiri akan memberikan kontrol pangan yang lebih besar, yang dapat mengurangi ketergantungan pada industri pertanian, pengolahan pangan pada pupuk kimia dan mendorong kemandirian pada sistem pangan lokal yang berkelanjutan. Pengembangan sistem pangan yang berlandaskan pada nilai-nilai budaya lokal menjadi fondasi untuk mencapai kedaulatan pangan.

Antara Panti, budaya dan Pangan

Di Panti, lebih tepatnya desa kecil di pinggiran kota Jember, Jawa Timur, terdapat konsep gotong royong tanpa pemberian upah terhadap petani lainnya dalam mengelola pertanian. Biasanya kerja sama tersebut dilakukan ketika hendak menanam dan memanen padi. Selain sebagai sistem kerja yang mendukung kebersamaan, hal ini juga mencerminkan hubungan yang harmonis antara manusia, alam dan kultur budaya di Desa Panti. Prinsip pertanian di Panti melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, dan pelestarian lingkungan yang telah beradaptasi dengan masyarakat setempat.

Selain itu di desa Panti partisipasi dari seorang perempuan juga diperdayakan, yakni melalui kegiatan perkumpulan ibu-ibu RKK yang membangun wadah ketahanan pangan dengan membentuk arisan disetiap bulan. Arisan tersebut diisi dengan beberapa jumlah uang dan beras sebanyak 2 kg setiap perorangan. Kegiatan Arisan diartikan sebagai alat distribusi ketersediaan bahan makanan untuk memenuhi lumbung pangan masyarakat. Kesadaran ini tidak hanya memperhatikan ketahanan pangan masyarakat lokal yang mencangkup aspek produksi, tetapi juga mempertimbangkan pemasaran dan konsumsi. Tentu fokus utama adanya praktek tersebut adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan pada pencarian keuntungan melainkan membangun kebersamaan untuk mencapai kesejahteraan pangan.

Di Panti sendiri, ritual adat yang masih terjaga hingga saat ini ialah ritual pemberian sesajen di setiap ladang ketika hendak menanam dan memanen padi. Sesajen tersebut berisi jenang merah dan putih, mawar, pandan, tembakau, buah pinang dan daun sirih. Menurut kepercayaan masyarakat setempat ritual ini disebut sebagai "Minah ". Ritual tersebut sudah ada sejak nenek moyang terdahulu. 

Melalui tradisi adat terkait pangan nilai-nilai budaya, pengetahuan lokal, dan kearifan masyarakat menjadi sumber kebijaksanaan dalam menjaga keseimbangan alam serta memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan lingkungan. Tradisi ini tidak hanya mencerminkan rasa syukur kepada Sang Pencipta, tetapi juga menjadi bentuk penghormatan terhadap leluhur serta simbol keberlanjutan dalam praktik pertanian masyarakat Panti.

Sistem pertanian yang dikembangkan di Panti telah menunjukkan praktik kedaulatan pangan yang berbasis kemandirian petani dan penggunaan sumber daya lokal. Selaras dengan tujuan dalam mencapai kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Peran perempuan di sana juga turut memainkan peranan yang andil dalam mengelola lahan pertanian. Keberlimpahan alam dikelola dengan sebaik mungkin dalam memenuhi asupan gizi masyarakat. Terbukti di setiap meja makan keluarga dihasilkan dari hasil panen ladang sendiri. Hal ini yang menjadi landasan bahwa implementasi nilai kebudayaan membawa kontribusi yang signifikan terhadap upaya kedaulatan pangan.

Dalam konteks kedaulatan pangan, penting untuk menghargai dan memperkuat keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Dengan melestarikan pengetahuan lokal dan menghormati praktik-praktik tradisional berarti telah menjaga identitas bangsa. Membangun sistem kedaulatan pangan tidak bisa dibentuk hanya dengan kelompok tertentu. Perlu adanya sinergi lebih luas yang meliputi pemerintah dan seluruh masyarakat, agar upaya pelestarian budaya pangan dapat berjalan secara inklusif, adil dan berkelanjutan.


Oleh : Novia Ulfa Isnaini (Mahasiswa UIN KH. Achmad Shiddiq Jember)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak