BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Feodalisme; Penyakit Peradaban dan Ketertinggalan Sejarah

Pena Laut
- Menjadi manusia, dalam menjalankan fungsi sosial memang sangat berat rasanya. Ini baru jadi manusia, apalagi menjadi pejabat. Ampun, deh! Begitu, kok, banyak yang cari-cari jabatan. Apa ndak momprot itu? ah, sudahlah. Hal seperti itu urusan masing-masing. Tapi kalau sampai merugikan orang lain dengan jabatannya, baru jadi lain soal. Harus dikasih angpau kritik, atau didemo dengan topeng wajahnya dicoret garis merah. Hehe.

Ngomongin soal fungsi sosial, beberapa hari lalu beredar dua tulisan di platform ini yang membahas tentang feodalisme ala pesantren. Para penulis mengakui tulisan tersebut merupakan tanggapan atas isu yang tengah beredar di sosial media tentang relasi guru-murid, atau kiai-santri di dalam pesantren yang dianggap oleh sebagian orang sebagai praktik feodalisme. Saya sebagai sahabat mereka cukup bangga, sebab selaku mahasiswa, mereka telah melaksanakan fungsi sosial mereka sebagai agen analisis sosial. Sebab itu dalam opini ini, alih-alih sebagai respons dan tanggapan saya atas isu tersebut, tulisan ini juga dapat dipandang sebagai komentar atas dua tulisan yang telah di-publish oleh dua sahabat saya yang melabeli diri mereka sebagai ROLian, yakni Hilmi Hafi dan Fawaid Abdullah Abbas dengan pembahasan yang sama.


Tentang Feodalisme dan Pencerahan Yang Paradoks


Manusia sebagai zoon politicon, telah banyak menciptakan sistem sosial dalam upaya interaksi mereka dengan manusia yang lain. Sebagai dampak dari segala sistem ini, pola relasi pada akhirnya terbentuk dengan sendirinya—yang konon telah banyak dibahas oleh para filsuf dan sosiolog. Masing-masing agama dan ideologi masyhur di dunia telah menciptakan semuanya ini bersama dengan efek baik dan buruknya sendiri bagi penganut sistem masing-masing.

Salah satu sistem politik dan sosial-budaya paling tua yang pernah—atau bahkan sedang—dianut oleh manusia ialah feodalisme. Bentuk feodalisme dikenal secara awam sebagai sistem kerajaan, atau monarki. Namun secara etimologi feodalisme berasal dari kata feudal yang diambil dari bahasa latin, yakni feudum. Feudum sendiri memiliki makna yang sama dengan fief yang berarti sebidang tanah yang diberikan untuk sementara kepada vasal (bangsawan) dengan imbalan hasil bumi diberikan kepada lord atau raja sebagai pemilik tanah (Rahmawati, 2023). Pendapat lain mengatakan bahwa feodalisme adalah pendelegasian kekuasaan sosio-politik yang dijalankan kalangan bangsawan untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerjasama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra (Iddian, 2022).

Dalam pengertian umum, feodalisme merupakan paham yang menempatkan kekuasaan di tangan sebagian kecil kelompok masyarakat. Kelompok kecil ini bisa dalam berbagai bentuk. Yang jelas, kelompok yang dimaksud adalah kelompok yang memiliki ikatan; keluarga, bisnis, hierarki dan bentuk-bentuk lainnya. Ikatan ini menjadi privilese untuk melegitimasi keabsahan individu untuk memperoleh kekuasaan tertentu, sehingga prestise atau privilese tersebut menempatkannya dalam derajat setinggi-tingginya dalam pandangan sosial masyarakat. Dalam praktik feodalisme, kekuasaan adalah tujuan utama. Bentuknya bisa berbagai macam; ekonomi, wilayah, pangkat sosial, dan lain sebagainya (Mulya, 2012). Sampai di sini dapat kita katakan bahwa feodalisme adalah paham, sistem politik, dan budaya bersifat dominatif, ekspolitatif, dan hegemonik.

Omon-omon’ soal feodalisme, saya teringat dengan perdebatan yang terjadi antara Habermas dengan kaum yang ia sebut dalam pidatonya yang berjudul Modernity: An Incomplete Project, sebagai kaum “Konservatif Muda” atau masyhur disebut oleh kalangan akademisi sebagai kaum “Post-Modernis”—yang paling kentara dalam kritik habermas adalah Lyotard, Foucault, dan Derrida yang diimani oleh genealogi Nietzche. Mereka memang tidak membicarakan feodalisme secara langsung, namun jika perdebatan para filsuf hanya dipandang sebagai pertengkaran semata, maka filsafat tak ubahnya telenovela. Justru dari perdebatan tersebut kita banyak menerima bentuk wacana progresif dan menjadikannya sebagai kajian baru untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang tidak ada habisnya ini. Maka biarkan saya bercerita sedikit.

Pada mulanya, perdebatan ini dipantik oleh Lyotard yang secara radikal mengkritik rasionalitas modern yang mengekor dirinya pada paham fondasionalisme dan representasionalisme dan dianggap telah menjerumuskan manusia dalam totalitarianisme dan irasionalisme masyarakat modern (Afifi, 2022). Lyotard menganggap bahwa abad modern identik dengan grand narrative atau metanarasi, semacam kisah besar yang memiliki fungsi untuk mengarahkan dan menjadi jiwa, atau dengan bahasa lain adalah hegemoni, sehingga cita-cita Pencerahan jadi sebuah paradoks.

Bagi Habermas, semangat abad Pencerahan dipercaya sebagai narasi besar emansipasi manusia. Metanarasi ini dimulai oleh Descartes melalui ungkapannya yang terkenal di kalangan mahasiswa ‘aktivis’ yang berbunyi cogito ergo sum. Lalu kemudian semangat emansipasi ini diamini oleh Immanuel Kant dengan meruntuhkan pandangan tentang subjektivitas dan objektivitas sehingga ia menyatakan bahwa manusia harus menggunakan akal budi murni untuk mencapai kedewasaan berpikir (Abror, 2018). Artinya manusia harus mampu berpikir sendiri, menolak segala dogmatisme dan irasionalitas para pemilik otoritas seperti agama, raja, gender, dan bentuk dominasi lainnya.

Sayangnya setalah empat abad modernitas melenggang bebas dan berhasil menciptakan teknologi melalui rasio, paradigma liberalisme-antroposentris akhirnya menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri. Peperangan, genosida, kapitalisme dan eksploitasi merupakan produk yang mungkin ‘tidak diinginkan’ oleh Pencerahan, namun menjadi konsekuensi logis atas cita-cita abad Pencerahan yang telah diamini selama empat abad tersebut. Inilah yang menjadi fokus kritik para kaum post-modernis. Dapat kita lihat dalam masa kini, bahwa logika modernitas berujung pada birokrasi modern yang dimulai oleh rasio penguasaan instrumental atau yang disebut universalitas sebagai manifestasi will to power yang melahirkan berbagai ideologi dunia (Afifi, 2022).


Kembali Kepada Feodalisme (gaya baru)


Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, bahwa jika perdebatan para filsuf disikapi dengan fanatisme, maka perdebatan ini hanya menjelma kisah telenovela yang berujung menjadi sejarah dan cerita belaka tanpa melahirkan kesimpulan baru atas dinamika sosial yang terjadi. Maka di sini saya ingin membawa pembaca dalam kontekstualisasi modernitas atas budaya feodal—yang diasumsikan masih langgeng hingga kini.

Diakui atau tidak, bentuk kekuasaan yang terjadi di abad modern seperti yang diperjuangkan oleh para ideolog adalah manifestasi will to power—alih-alih sebagai emansipator manusia. Gagasan besar Pencerahan menjadi paradoks jika ditinjau dari ideologi-ideologi dunia yang berkembang pesat sejak Adam Smith hingga Karl Marx. Seluruh ideologi berujung kepada kekuasaan dan sistem politik yang mendominasi. Liberalisme Smith telah melahirkan kapitalisme, dan materialisme Marx yang berujung pada kediktatoran proleteriat.

Feodal sebagai sistem politik yang berimbuhan -isme dapat kita baca sebagai paham ideologi tersendiri dari ideologi lain yang memiliki sifat yang sama seperti kapitalisme, fasisme, dan konservatisme. Kendati feodalisme awam dipahami sebagai penguasaan, dominasi, dan eksploitasi dalam konteks wilayah teritorial, maka neo-feodalisme dapat kita pahami sebagai kekuasaan yang melingkupi wilayah ekonomi, intelektual, sosial-budaya, maupun pendidikan. Artinya, makna wilayah di sini bukan hanya diartikan sebagai teritorial semata, melainkan beralih pada konotasi yang lebih fleksibel dan universal.

Feodalisme berbeda tipis dengan kapitalisme. Jika kapitalisme bertitik tolak atas penguasaan modal (kapital) untuk menciptakan monopoli perdagangan, feodalisme melancarkan dominasinya melalui hegemoni dengan menggunakan propaganda, legitimasi konstitusi dan sosial, fanatisme, serta sistem sosial. Tentunya, hal ini diperketat justifikasinya melalui sifat-sifat feodalisme itu sendiri. Feodalisme gaya baru dapat dikenali dalam berbagai bentuk dan dapat masuk ke dalam berbagai sektor kehidupan manusia seperti sektor pendidikan, ekonomi, bahkan ke dalam bentuk negara republik yang mengagungkan demokrasi sebagai bentuk negara ideal sekalipun.

Mirisnya manifestasi neo-feodalisme ini belakangan masih terjadi di Indonesia. Pertama, Secara kultural feodalisme merambah dalam logika masyarakat Indonesia. Ada semacam hirarki kelas yang terbentuk dalam budaya ini. Masyarakat kita masih mempercayai bahwa di dunia ini ada segelintir orang yang mendapatkan privilese sebagai ‘darah biru’ melalui keturunan yang berhak dimuliakan dan mendapat hak yang lebih tinggi daripada masyarakat biasa. Mengenai ‘darah biru’, saya teringat salah satu tulisan singkat Sujiwo Tejo di akun Instagram-nya pada tanggal 3 Desember 2024 saat menanggapi viralnya video Gus Miftah. Ia mengatakan:

“Malam ini medsos penuh dengan hujatan terhadap Dursasana yang mengolok-olok kasta Sudra pengasong minuman. Herannya, tak satu pun yang secara esensial menghujat Resi Bisma yang, kok, bisa-bisanya menobatkan Dursasana sebagai pangeran. Padahal esensi/intinya di situ. Heuheuheu.”

Dalam tulisan singkat ini, Mbah Tejo menunjukkan bahwa duduk persoalan Gus Miftah kepada pedagang es teh tidak terjadi di malam itu saja. Gus Miftah dengan gelar ‘gus’-nya telah menciptakan bentuk pengkultusan. Bahkan parahnya, Gus Miftah dianggap sebagai wali oleh sebagian orang. Pengkultusan ini adalah salah satu ciri berkembangnya budaya feodalisme di suatu masyarakat. Budaya feodalisme ini menciptakan fanatisme dalam bentuk legitimasi sosial yang pada akhirnya melahirkan diskriminasi sosial.

Selain itu, budaya feodalisme dalam pendidikan dengan kasat mata tampak dan kita alami dalam penyelenggaraan pendidikan. Komersialisasi pendidikan melalui legitimasi akreditasi, serta budaya kritisisme murid kepada guru yang dinilai sebagai pembangkangan. Budaya ini diperkuat dengan nilai-nilai yang dipercaya kuat, sehingga menjadikan dominasi ini semakin langgeng.

Kedua, secara struktural feodalisme kerap terjadi dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pengampu jabatan tertentu cenderung memiliki kebebasan yang lebih banyak daripada masyarakat sipil melalui praktik-praktik tersebut. Mereka tak ubahnya para valas yang memanfaatkan kewenangannya untuk berbuat sewenang-wenang. Ekpolitasi alam, nepotisme, korupsi, dan represi seolah-olah dengan lenggang dilancarkan, bahkan cenderung membudaya. Sistem ini telah menjerumuskan masyarakat dalam paradigma yang seolah tidak menginginkan adanya oposisi. 

Dan sebenarnya masih banyak budaya dominatif yang belum saya sebutkan. Dalam organisasi, misalnya, budaya senioritas agaknya masih berlaku dan langgeng di lingkungan organisasi masyarakat dan mahasiswa. Anehnya, dominasi senior masih seringkali diamini oleh kader yang mendaku sebagai 'junior'. Padahal jelas, kita harus bisa membedakan mana masukan dan intervensi, mana yang maslahah dan mana yang mursalah. Kalau ndak begitu, ya, mampus kita! Maaf di bagian ini saya agak sedikit emosional. Hehe.


Feodalisme di Pesantren


Mendengar asumsi liar tentang feodalisme ala pesantren yang tengah berkembang di media sosial, akan sangat wajar apabila mendapat reaksi keras bahkan kecaman dari kalangan para santri. Seperti ungkapan Romi The Jahats dalam lagunya yang berjudul Sudah Punah, ia mengungkapkan dalam liriknya; Bila dua benda berbenturan, pasti ada satu yang ‘kan rusak.

Opini Hilmi Hafi mengenai isu ini berangkat dari sudut pandang agama, tepatnya menggunakan teori dalam kitab ‘Adabul ‘Alim wal Muta’alim. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai etika santri dan etika kiai harus dijalankan sesuai dengan tupoksi masing-masing, sehingga tercipta konsep kafa’ah (kesetaraan/egaliter). Maksudnya adalah ia mengatakan bahwa anggapan tradisi pesantren yang berlaku bukan termasuk dalam praktik feodalisme apabila dijalankan secara ketat. Namun, wacana etika santri kepada kiai lebih populer daripada wacana etika kiai kepada santri, bahkan di kalangan pesantren sendiri. Sehingga potensi terjadinya relasi yang eksploitatif dan dominatif cenderung banyak terjadi.

Namun, Hilmi lupa menerangkan bagaimana detail bentuk relasi yang ia katakan kafa’ah itu, kapan dan bagaimana kondisi sosial-politik yang terjadi pada saat kitab itu ditulis, dan apa saja poin yang terkandung dalam etika masing-masing pihak serta menganalisisnya melalui pendekatan filosofis—padahal ia mengaku sebagai ROLian.

Di akui atau tidak, dalam kasus-kasus miring di lingkungan pesantren secara langsung atau tidak, diakibatkan oleh pengkultusan kepada seseorang dan (mungkin) salah kaprah dalam memaknai sifat tawadhu’. Pengkultusan dapat dicirikan melalui beragam teori pendidikan yang disalahgunakan sebagai alat hegemoni massa, melegitimasi status sosial ke-pesantren-an, dan doktrin agama seperti barokah dan doa yang justru diperalat sebagai pengkondisian sosial.

Pada akhirnya, dalam tulisan ini saya mengajak pembaca untuk kembali merefleksikan praktik feodalisme gaya baru yang masih langgeng di lingkungan sekitar, atau bahkan di dalam pesantren. Kendati penulis adalah sama-sama seorang santri seperti mayoritas pembaca sekalian, namun penulis menekankan bahwa feodalisme akut dapat meruntuhkan esensi demokrasi dan egalitarianisme bagi manusia. Bahwa praktik eksploitatif dan dominatif sekelompok manusia atas manusia lain akan mengakibatkan penyakit peradaban yang tak kunjung usai. Kelaparan, kemiskinan, pengangguran, genosida, dan eksploitasi akan tetap langgeng, meskipun narasi besar Pencerahan telah digaungkan sejak berabad-abad lalu. Apabila budaya ini tetap berlangsung, maka kita bukan lagi menuju masa depan berkeadilan, tetapi kita akan tetap terkurung dalam ketertinggalan sejarah. Terdengar pesimis memang, tapi inilah yang paling realistis.

Oleh : Hafid Aqil (ROLian)


Daftar Rujukan:

Abror, R. H. (2018). Pencerahan Sebagai Kebebasan Rasio dalam Pemikiran Immanuel Kant. 4, 177–194.

Afifi, I. (2022). Jurgen Habermas; Senjakala Modernitas. https://books.google.co.id/books/about/Jurgen_Habermas_Senjakala_Modernitas.html?id=2Sy1DwAAQBAJ&redir_esc=y

Iddian, S. (2022). Warisan Feodalisme Dalam Pendidikan. Arriyadhah, 19(1), 34–43. http://www.jurnalstaiibnusina.ac.id/index.php/ary/article/view/118

Mulya, R. (2012). Feodalisme dan Imperialisme di Era Global. https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=qtpMDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=feodalisme&ots=540OjruIry&sig=ZQ2R5CypzUvSkQltSXMneFBuFWU&redir_esc=y#v=onepage&q=feodalisme&f=false

Rahmawati, D. (2023). Permasalahan Feodalisme Tanah Di Indonesia. Court Review: Jurnal Penelitian Hukum, 3(4), 5–24. http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5510/5/BAB 2.pdf



Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak