Obrolan ringan di cafe pinggir jalan pada sore hari, trotoar yang ramai pengguna karna waktu beraktivitas telah usai, teh hijau yang sudah tandas, dan biscotti-mu yang tersisa sepotong menjadi pelengkap sesi melepas penat.
"Aku paling suka saat saat ini, lelahku seperti terangkat, entah mengapa semua terasa indah dan menenangkan, iya kan?"
Ucapmu dengan binar teduh tersajikan untukku. Aku hanya mengulas senyum. Tolong jangan bertanya seperti itu, eksistensimu lah yang memperindah segala penjuru. Hal di sekitar seakan mengabur saat kau menjadi fokus ku.
Angin yang berhembus membuat rambutmu terbuai, semakin elok nan menyilaukan mata. Oh ternyata bukan hanya rambutmu, aku pun ikut terbuai dengan pemandangan di depanku. Tak ada kata jenuh dalam kamus jika menyangkut dirimu.
Kau mengeluarkan ponsel dan earphone dari dalam tas. Mengutak-atik ponsel itu sebentar kemudian memasangkan earphone pada salah satu telinga kami masing masing. Lagu ku dengar tak berselang lama dan aku hanya diam menikmati perlakuanmu seraya mewanti ocehan mu.
Kalimat apa yang meluncur setelah ini? Batinku.
"Belakangan aku mendengarkan lagu ini, dan aku benar benar dibuat jatuh cinta dengannya. Chorus adalah part kesukaan ku"
"Siapa artis dibalik lagu ini?" Tanya ku.
"JP Saxe, dia melakukan kolaborasi dengan Julia Michaels. Aku tidak akan bosan mendengar mahakarya satu ini"
Aku mengangguk angguk kecil sambil menikmati lantunan lagu. Kulihat dirimu menatapku dengan senyum kecil. Netra bulat memercikkan cahaya seakan ingin mengungkapkan sesuatu namun hanya ditahan pada ujung bibir. Tak seperti biasanya.
"Ada apa? Sampaikan saja"
Senyum kecil berubah jadi cengiran. Kamu mengagumi bagaimana aku bisa dengan cepat menerka bahasa tubuh mu.
"Kalau dunia berakhir kau akan datang kepadaku tidak?"
Ku cerna sekejap maksud dari pertanyaanmu yang berujung membuatku tertawa pelan memperlihatkan deretan gigiku.
"Kalau dunia kiamat, kamu akan tetap berada di sisiku tidak?"
Pertanyaan satu belum ku jawab, pertanyaan lain muncul. Lagu sudah berhenti. Aku menarik nafas pelan, ku tarik earphone dari daun telingamu guna mendengar ucapanku dengan seksama.
"Datang kepadamu? Disaat aku bahkan tidak berniat pergi dari sisimu? Jangan berkata seolah aku akan menjauh"
Aku tersenyum menatap penuh puja pada gadis yang duduk di depanku.
"Tapi jika itu terjadi, aku akan tetap menggenggam tanganmu, memelukmu, mengelus punggung mu, membisikkan kalimat penenang agar kau tetap merasa aman. Jika aku diharuskan menghadapi akhir dunia, ku harap aku menghadapi nya bersamamu. Kalau langit runtuh, kita lihat langit itu bersama sama. Tidak ada akhir yang ku impikan selain berakhir dalam dekapanmu. Tapi jika bisa, aku meminta pada sang Pencipta agar dunia abadi saja, agar aku bisa mengabadikan kebersamaan dan perasaan ini untuk kita berdua. Bahkan jika aku bisa meminta lagi, aku ingin meminta waktu berhenti sejenak..."
"Buat apa?"
"Melihat wajahmu untuk yang terakhir kali sebelum dunia benar-benar berakhir, menyimpannya dalam relung"
Kau berkedip beberapa kali sebelum tergelak tanpa suara dengan sedikit menunduk. Mata sipitmu ketika tertawa, senyum lebar amat menawan menampilkan lesung menggemaskan, juga pipi yang semakin penuh ketika tertarik ke atas. Aku terpana olehnya.
Ucapan ku memang terdengar sedikit berlebihan, atau mungkin sangat (?). Tapi tak apa. Di dunia yang sementara ini biarlah aku berandai tentang sesuatu yang diluar kuasa ku, biarlah aku berucap seolah aku mampu melawan hukum yang berlaku. Manusia memang cenderung mengatakan/melakukan apa saja ketika mereka dimabuk cinta. Kebahagiaan yang bisa berakhir kapan saja ini, biarkan aku melahap, menenggak nya hingga habis, menikmati, meresapi, merekam, memotret, membuat nya beku, tanpa memedulikan hal lain.
~~~
Terduduk raga ini pada kursi tunggal yang menghadap ke arah jendela besar. Memperlihatkan secara langsung ruang hijau yang sejuk. Halaman rumah kami menyuguhkan pohon rindang dengan patio di bawahnya dan beberapa jenis tanaman bunga. Mereka tumbuh dengan cantik, kau pandai merawat bunga bunga itu.
Kurasakan lengan mengalungi leherku dari belakang. Itu dia, duniaku. Aku tersenyum tanpa mengalihkan pandangan pada halaman rumah. Tanpa ku toleh pun aku sudah tahu, duniaku juga sedang tersenyum. Kau mendarat kan dagu mu di bahu dan melabuhkan kepala pada telingaku. Genggaman hangat ku beri pada tangan kecil itu.
Padahal aku bisa melakukan hal ini setiap hari dengan nya, namun mengapa aku merasakan rindu yang menggebu? Ku biarkan perasaan aneh itu datang dan pergi seketika.
Tiba tiba sebuah lagu mengalun menyapa telingaku. Aku mengenal lagu ini dengan baik, lagu yang membuatmu jatuh ketika mendengarnya. "If the World Was Ending" karya JP Saxe ft. Julia Michaels. Ah andai kau tahu aku baru saja memutar memori disaat kau pertama kali mengenalkan lagu itu kepadaku. Entah dari mana lagu itu terputar, aku tidak ingin terlalu memikirkan nya. Kedatangan lagu itu seperti menambah kesan manis kebersamaan diantara kita sekarang. Aku menikmati nya, sungguh. Namun lagu hanya berbunyi penggalan chorus, bagian yang paling kamu sukai. Tidak ada intro, verse, outro pun tak kunjung sampai.
but if the world was ending you'd come over right?
you'd come over and you'd stay the night?
would you love me for the hell of it?
all our fears would be irrelevant
if the world was ending you'd come over right?
the sky'd be falling and i'd hold you tight
and there wouldn't be a reason why
we would even have to say goodbye
if the world was ending you'd come over right, right?
if the world was ending you'd come over right, right?
if the world was ending you'd come over right.
Lagu itu bersenandung dengan sopan. Piano yang mengiringi kalimat bernada membuat rasa asing menguap. Sebelum hal aneh terjadi.
Halaman yang sejuk nan asri berganti warna kontras dengan semula. Rumput menguning, bunga bunga layu, pohon kering meliuk kebawah menggugurkan daun daunnya. Aku mengernyit menyaksikan kejadian di depanku. Semuanya terjadi begitu cepat. Namun kurasakan kau tidak bergeming, senantiasa memeluk leherku dengan senyuman yang tidak luntur. Niatku mengadukan peristiwa didepan kepadamu. Lagi lagi namun, seolah ada batu menjepit paru paru, aku kesulitan bernafas. Tenggorokan tercekat berusaha meraup udara yang menghilang dalam sekejap. Aku tak bisa berbicara, maupun bergerak. Pandangan ku buram. Kulihat semuanya mengabu, halaman, dinding, lantai, bahkan warna kulit lenganmu yang masih tersampir di pundakku. Badan bergetar hebat merasakan kengerian.
Tiba tiba semuanya menggelap.
~
Aku membuka mataku dengan kejut tiada kira. Hembusan nafas tidak beraturan mengisi ruang sunyi tempat ku berpijak. Masih di tempat yang sama, kursi yang sama, jendela yang sama, namun dengan suasana yang berbeda. Halaman hijau kini hanya tinggal rumput kuning yang memanjang, beberapa petak tanah ada yang gundul, pot pot bunga yang bahkan tidak ada bunga diatasnya, pohon tidak lagi memperlihatkan dedaunan rimbun. Halaman itu jelas tidak terawat.
Aku disadarkan dengan tepukan kecil pada bahu kiri. Terkejut dibuatnya dan langsung menoleh ke arah pelaku, mama.
"Ada apa?"
Wanita tua itu menatap khawatir ke arahku, sedetik berikutnya usapan ringan ku rasakan di pundak. Aku memalingkan wajah ke jendela, lagi. Tersenyum kecut ketika menyadari sesuatu. Senyuman itu berubah dalam senyuman kekecewaan, penuh sakit, pedih, dan kesepian.
Mimpi ternyata.
Aku memimpikan nya.
Wanitaku.
"Hari ini, sudah peringatan satu tahun. kau tidak ingin datang ke pusara? Jangan seperti ini, dia pasti juga merindukan mu"
Suara mama yang sendu mengetuk pendengaran. Ah, kau bisa merindukanku dari sana rupanya. Potongan lirik berputar di kepala. Selayaknya mengajak berdialog, bercampur jadi satu dengan kenangan suatu sore di cafe itu. Aku menanggapi nya dalam kesunyian yang sebenarnya amat sangat berisik di dalam.
(but if the world was ending you'd come over right?)
"kalau dunia berakhir kau akan datang kepadaku tidak?"
Cuplikan kejadian saat kau bertanya tergambar dengan jelas di anganku. Seperti nyata, aku merasakan tatapan terang saat kau melontarkan kalimat itu, seakan kau sedang menatap ku sekarang, di sini. Hanya menyisakan sebongkah penyesalan, seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan itu kepadamu... seharusnya...saat itu...aku yang-
"if the world was ending you'd come over right? the sky'd be falling while i hold you tight"
Dunia belum berakhir, tapi aku sudah tak dapat meraih mu. Cairan bening keluar tanpa aba-aba. Mengalir tanpa beban, tanpa mengetahui perasaan sang empu. Aku terisak pilu.
"and there wouldn't be a reason why, we would even have to say goodbye"
no my dear...the world has not ended, but you said goodbye first, you left me.
"i know, you know, we know, we weren't meant for each other and it's fine"
Tidak, ini tidak baik baik saja bagiku. Tolong jangan seperti ini. Tidak ada yang baik baik saja setelah kau pergi.
Kepingan tentang dirimu tumbuh hidup dengan sehat didalam jiwa ku yang perlahan sekarat. Aku pernah bilang tidak ada akhir yang ku impikan selain berakhir dalam dekapanmu. Saat itu kita memang sedang bersama, menggenggam tangan satu sama lain, bercengkrama di dalam mobil yang melaju menuju kota Surabaya. Sebelum kendaraan besar yang juga memuat kendaraan diatasnya kehilangan kendali dan memisahkan kita berdua.
Masih sulit mengakui keadaan. Belum kutemukan keberanian untuk menjenguk mu. Aku serius ingin bertemu denganmu, bukan gundukan tanah dengan nisan bertuliskan namamu. Aku ingin disambut dengan sebuah pelukan ketika datang, bukan sambutan duka yang mendalam. Rindu, aku merindu, merindu parasmu, suaramu, binarmu, tingkahmu, segala hal tentangmu. Harusnya kau mengikutsertakan ku saat itu. Bukan hanya kaki, lumpuh juga mendera hati.
Tragedi setahun lalu membuat warna cerah sebelumnya, berubah menjadi hitam putih.
Duniaku berhenti kala itu juga.
Oleh: Jijo
Posting Komentar