Sejak zaman dahulu, pepatah "diam itu emas" sering dikumandangkan sebagai pedoman hidup. Kata-kata yang terucap tanpa pertimbangan bisa menjadi pedang bermata dua, melukai diri sendiri dan orang lain. Dalam kebijaksanaan, diam adalah pertahanan terbaik, seperti samudra yang tenang menyimpan kedalaman misteri. Orang yang tahu kapan harus diam sering kali lebih dihormati daripada mereka yang berbicara tanpa kendali. Diam menjadi penanda kedewasaan, tempat bernaungnya akal sehat dan kebijaksanaan. Layaknya mutiara yang tersimpan dalam cangkang kerang, berharga karena keheningannya.
Namun, diam juga bisa menjadi petaka, ibarat langit yang menahan badai hingga akhirnya meledak dalam kehancuran. Ketika kebenaran harus ditegakkan, tetapi mulut tetap terkunci, diam bukan lagi emas, melainkan racun yang menyebar dalam sunyi. Sejarah telah membuktikan, banyak ketidakadilan terjadi bukan hanya karena kejahatan, tetapi juga karena terlalu banyak orang memilih diam. Saat kebohongan merajalela, tetapi tak seorang pun bersuara, maka diam adalah sahabat ketidakbenaran.
Bayangkan seseorang yang melihat ketidakadilan di depan matanya, namun memilih untuk bungkam. Apakah itu kebijaksanaan, atau justru sikap pengecut yang membiarkan kegelapan merajalela? Dalam situasi seperti ini, diam bukanlah emas, melainkan rantai yang membelenggu, menghambat kemajuan, dan menjerumuskan dunia dalam kehancuran. Seperti malam yang tak berujung, diam dalam ketidakadilan hanya memperpanjang penderitaan.
Segala sesuatu di dunia ini memiliki takarannya, begitu pula dengan diam. Ada kalanya diam menjadi bahasa paling bijak, saat kata-kata tak lagi mampu menjelaskan maksud. Namun, ada saatnya suara harus menggema, menerjang tembok kebisuan yang menindas. Bijaklah dalam memilih kapan harus diam dan kapan harus berbicara. Sebab, diam bukanlah emas atau petaka secara mutlak, melainkan pisau bermata dua yang harus digunakan dengan penuh kehati-hatian.
Pada akhirnya, diam itu seperti samudra yang luas. Kadang menenangkan, kadang menakutkan. Kadang menyimpan rahasia, kadang menenggelamkan. Jangan biarkan diam menjadi penjara yang membungkam hati nurani. Tetapi juga jangan biarkan kata-kata menjadi badai yang menghancurkan segalanya. Dalam keseimbangan itulah, kita menemukan makna sejati bahwa bukan sekadar emas atau petaka, tetapi kebijaksanaan diri dalam menavigasi kehidupan.
Oleh: Rosalinda
Posting Komentar