Menteri Keuangan Sri Mulyani menguraikan bahwa, bentuk efisiensi anggaran ini dimaksudkan untuk mendukung program ‘Quick Win’, yakni platform kampanye Prabowo-Gibran; “Ketahanan Pangan” dan MBG (Makan Bergizi Gratis). Kebijakan ini oleh Presiden dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 yang dilanjutkan dengan Surat Edaran Menteri Keuangan nomor S-37/MK.02/2025, pemerintah Prabowo-Gibran berencana memangkas anggaran belanja Kementerian/Lembaga hingga mencapai angka 306,7 Triliun rupiah(DDTC, 2025). Tampak bijaksana dan heroik, mengingat budaya penghamburan anggaran, potensi lubang-lubang korupsi dan penyalahgunaan anggaran pada kegiatan-kegiatan seremonial sering sekali dilakukan oleh pejabat-pejabat kita. Namun, mari kita teliti dampak dan pengaruhnya.
Pasalnya pemangkasan anggaran ini menurunkan total pagu di berbagai Kementerian/Lembaga hingga mencapai lima puluh persen. Misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang disadur dari laporan Kompas.com pada tanggal 13 Februari 2025. Arifah Fauzi menyatakan bahwa sisa anggaran di kementeriannya adalah Rp 148,4 miliar rupiah dengan hibah 5,3 miliar, atau mengalami pemangkasan sebesar 48,86 persen dari pagu awalnya yakni 300 miliar rupiah. Ia mengaku bahwa anggaran diprioritaskan untuk gaji dan tunjangan kinerja pegawai dari bulan Maret hingga Desember(Kompas.com, no date).
Parahnya, pemangkasan ini berbuntut pada optimalisasi program nasional yang hanya tersedia untuk gaji tenaga layanan pengaduan Call Center SAPA 129, sedangkan program lainnya seperti layanan pendampingan, penjangkauan, dan rehabilitasi korban yang sama-sama menjadi program penting terpaksa ditiadakan. Terbukti bahwa pemotongan anggaran ini telah mengancam keamanan perempuan dan anak di bawah umur, mengingat kasus kekerasan seksual terjadi sebanyak 2.647 korban perempuan dan 60 persen di antaranya adalah anak perempuan di bawah umur(Anak, no date). Sedangkan program pendampingan dan rehabilitasi tidak dapat dilaksanakan akibat kebijakan efisiensi yang dapat kita pandang sebagai ambisi rezim.
Sesuai dengan pernyataan Sri Mulyani di atas, bahwa kebijakan ini adalah untuk mendukung prioritas pemerintah atas Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win yang pernah dikampanyekan oleh pasangan calon nomor urut 02 yang kini telah berhasil dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Namun kebijakan reformatif semacam ini memerlukan kejernihan dan rasionalitas berpikir, agar tujuan kebijakan tidak justru membuat permasalahan baru. Ini sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi “Ma lam yudroku kulluhu, la yutroku kulluhu”, apabila kemaslahatan tidak dapat terlaksana seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya.
Selain itu, kebijakan reformatif semacam ini seharusnya mengalam uji publik terlebih dahulu sebelum dilaksanakan, sehingga akses publik untuk mengoreksi suatu kebijakan pemerintah menjadi transparan, serta akuntabel. Seperti yang telah dikatakan oleh Hannah Arendt bahwa kebijakan publik harus melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusannya, sehingga esensi demokrasi dalam suatu negara dapat terjalankan dengan baik. Namun ironinya, akibat kelalaian penguasa atas partisipasi publik menimbulkan kecurigaan dan kontroversi. Sehingga kebijakan ini menimbulkan berbagai pertanyaan menyeruak di benak masyarakat; bagaimana efisiensi ini dilakukan? Mengapa uang pajak kita bayarkan hanya untuk memenuhi ambisi rezim? Mengapa Prabowo-Gibran amat antusias dalam program ‘food estate’ dan Makan Bergizi Gratis sehingga mengorbankan aspek yang juga sama pentingnya?.
Apa Itu Program Quick Win?
Dilansir dalam laporan CNN Indonesia yang mereka publish pada tanggal 22 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win dengan anggaran lebih dari 100 triliun, kebijakan ini dianggap merupakan langkah inisiatif yang dapat dicapai dalam waktu satu tahun. Program ini telah mendapatkan persetujuan oleh DPR melalui Undang-undang Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025(Indonesia, no date).
Tempo.com juga memberitakan tentang rincian program Quick Win ini. Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Wahyu Utomo, menjelaskan kepada wartawan Tempo.com, bahwa di tahun 2025 ini Quick Win mendapatkan tambahan dana 8 triliun rupiah dari semula disiapkan sebanyak Rp113 triliun menjadi Rp121 triliun, dengan alokasi paling besar digelontorkan kepada Badan Gizi Nasional untuk program Makan Siang Gratis (MBG) sebanyak 71 triliun rupiah(Tempo.com, no date b). Tempo juga membeberkan tentang tujuh program yang tercakup dalam PHTC atau Quick Win, di antaranya;
1. Program Makan Bergizi Gratis (Rp71 triliun)
2. Pemeriksaan kesehatan gratis (Rp3,2 triliun)
3. Pembangunan rumah sakit lengkap di daerah dan meningkatkan kualitas rumah sakit (Rp1,8 triliun)
4. Pembangunan dan perbaikan sekolah sebanyak 22 ribu (Rp4 triliun)
5. Pembangunan lumbung pangan nasional atau Food Estate (Rp15 triliun)
6. Melanjutkan program kartu kesejahteraan serta kartu usaha untuk menghilangkan kemiskinan absolut hingga mencapai angka 0 persen
7. Pembangunan infrastruktur desa dan penyediaan rumah bersanitasi baik, serta pengentasan 563,1 hektar pemukiman kumuh.
Namun, sebab pendapatan negara yang tidak sesuai dengan kebutuhan kebijakan yang reformatif, mengakibatkan tukar guling antara tujuh program ini dengan pemangkasan anggaran di berbagai kementerian dan lembaga memunculkan ketimpangan hak di tengah hak-hak masyarakat yang juga memerlukan perhatian. Seperti perlindungan Perempuan dan anak, deforestasi, hingga efektivitas sistem pendidikan nasional.
MBG dan Food Estate yang Problematik
Rezim Prabowo-Gibran memiliki cita-cita untuk mengembangkan program lumbung pangan atau food estate yang sentralistik. Penggarapan tanah seluas 20 juta hektar yang konon akan dibuka melalui lahan kehutanan memicu krisis iklim yang akan semakin parah(Greenpeace Indonesia, no date). Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan “Gagasan kedaulatan pangan dan energi seperti yang diinginkan Prabowo tak akan tercapai dan menjadi omon-omon saja jika dilakukan dengan alih fungsi lahan yang justru akan memperparah krisis iklim, sebab krisis iklim akan memicu krisis multidimensi. Pembukaan 20 juta hektare hutan jelas akan meningkatkan emisi karbon, termasuk juga memicu kebakaran dan kabut asap jika alih fungsi lahan ini dilakukan di lahan gambut. Ujungnya adalah kegagalan pemerintah memenuhi komitmen untuk mengatasi krisis iklim dan menjaga keanekaragaman hayati,”.
Di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran, Kementerian Pertanian melanjutkan dan memperluas program food estate dengan target meningkatkan produksi pangan nasional dan mencapai swasembada pangan dalam 3-4 tahun ke depan. Amran Sulaiman, Menteri Pertanian, melaporkan bahwa program ini sudah dimulai di Merauke dan Kalimantan Tengah, dengan rencana ekspansi lebih lanjut ke Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan(RI, 2024). Beberapa wilayah memang sangat dengan calon ibu kota negara (IKN). Kendati program yang cenderung sentralistik daripada desentralistik—ini berpotensi mengalami kegagalan seperti kejadian di Kalimantan Tengah dan Merauke, namun Presiden Prabowo justru getol untuk mengupayakan kembali proyek strategis ini.
Dalam penelitian berjudul Dinamika Sosial Masyarakat Kawasan Food Estate (Studi Masyarakat Desa Anjir Sarapat Baru, Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas) menjelaskan bahwa kegagalan Food Estate merupakan kebijakan yang buru-buru. Pasalnya program ini dilaksanakan oleh korporasi yang bekerja sama dengan pemerintah, sehingga melahirkan konflik baru antara perusahaan dengan masyarakat, deforestasi akibat penggunaan kawasan hutan, dan ketimpangan regulasi antara Pemda dengan Pemerintah Pusat(Silalahi, Yuliana and Iskandar, 2023). Kebijakan yang sentralistik ini disebut sebagai tindakan rasional-instrumental oleh Habermas. Ia mengatakan bahwa pola semacam ini hanya akan membunuh esensi demokrasi dan emansipasi manusia. Ia menawarkan solusi alternatif yang ia sebut sebagai rasional-komunikatif yang melibatkan komunikasi horizontal antara subjek dengan subjek, sehingga tercipta keadilan sosial dalam bentuk emansipasi partisipatif. Sedangkan dalam laporan wartawan Tempo, mengatakan bahwa food estate semacam ini akan dilakukan kembali oleh Presiden Prabowo meskipun telah menemui kegagalan ketika rezim Joko Widodo(Tempo.com, no date a).
Kedua, Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah dikampanyekan oleh Paslon Prabowo-Gibran pada saat Pemilu agaknya menjadi pemakan anggaran yang paling fantastis daripada enam program lain dalam Quick Win. Rp71 triliun tanpa ragu dianggarkan—yang konon dianggap menjadi solusi atas persoalan stunting di Indonesia. Program ini akan diberikan kepada anak sekolah untuk makan siang mereka sewaktu berada di sekolah. Kendati demikian, program ini kabarnya akan bekerja sama dengan dapur-dapur umum yang bermodal besar milik perusahaan-perusahaan makanan. Kebijakan ini lagi-lagi bersifat sentralistik daripada desentralistik, sehingga potensi UMKM sebagai penopang perputaran ekonomi di daerah menjadi tidak dilibatkan.
Skema sentralisasi dapur MBG ini akan berpotensi menjadi peluang bagi korporasi yang bekerja sama dengan pemerintah dengan menyalahgunakan kekuasaan dan tender. Selain itu, risiko inefisiensi anggaran jika MBG menggunakan skema ini akan lebih besar. Menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menyarankan agar skema ini diubah dalam bentuk desentralisasi. Yakni memberikan partisipasi untuk UMKM yang berada di dekat sekolah, sehingga terbentuk kebijakan yang pro-lokal(Jakarta, no date).
Indonesia Gelap; Pendidikan Bukan Prioritas Pemerintah!
Ambisi rezim yang tertuang dalam Inpres No. 1 Tahun 2025 yang melahirkan produk tujuh program Quick Win, pada akhirnya juga memangkas anggaran subsidi untuk pendidikan. Kendati dalam uraiannya terdapat kebijakan yang seolah mendukung amanat UUD 1945 tentang kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa yang terdapat dua di dua poin—MBG dan Renovasi 22 ribu sekolah, namun kebijakan ini adalah pembangunan fisik semata—alih-alih juga problematis—dan tidak menyentuh bagaimana pembangunan kualitas sistem pendidikan itu sendiri secara langsung.
Pemangkasan anggaran pendidikan ini menuai kritik dan munculnya tagar #IndonesiaGelap di media sosial. Pagu anggaran untuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) yang mencapai Rp57,6 triliun, mengalami pemangkasan sebesar Rp22,3 triliun. Parahnya lagi, Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), dan Bantuan Pendanaan Perguruan tinggi Negeri Berbadan Hukum (BPPTNBH) masing-masing dipotong sebesar 50%, BOPTN yang awalnya memiliki pagu anggaran sebesar Rp.6 Triliun menjadi hanya Rp.3 Triliun, dan BPPTNBH dari pagu anggaran sebesar Rp.2 Triliun menjadi hanya Rp.1 Triliun(Kompas.com, 2025a).
Bantuan Kelembagaan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dipotong 50% (Rp182 miliar) KIP-K dipotong 9% (Rp1,3 Triliun, artinya 663 ribu dari 844 ribu penerima KIP on-going terancam berhenti dan tak ada penerimaan mahasiswa KIP baru di 2025), Tunjangan Dosen non-PNS dipotong 25 persen (Rp676 miliar), Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIk) dipotong 10%, Beasiswa Dosen dan Tendik dipotong 25%, dan banyak lagi(Kompas.com, 2025b). Di lain sisi, pagu anggaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) adalah Rp33,5 Triliun, rencananya akan dipotong 23 persen menjadi Rp25,5 triliun. Termasuk dalam pemotongan ini adalah program kualitas pengajaran dan pembelajaran tenaga didik serta PAUD, SD, dan sekolah menengah sebesar 80 persen. Anggaran program wajib belajar juga dipotong sebesar 87 persen(Nasional, 2025).
Hal ini memicu kemarahan publik, terutama mahasiswa, dosen, dan guru-guru sekolah. Pemangkasan anggaran pendidikan ini jelas-jelas telah mencurangi amanat konstitusi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yaitu kewajiban negara untuk mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebanyak 20 persen dari total keseluruhan APBN. Pada kenyataannya kebijakan Presiden Prabowo membawa alokasi dana pendidikan untuk belanja wajib saja semakin menjauh dari amanat konstitusi itu.
Pemangkasan anggaran ini akan semakin memperburuk berjalannya sistem pendidikan, bahkan cenderung akan jatuh ke dalam kolonialisme pendidikan di Indonesia. Kebijakan ini tidak jauh dari gaya Government Hindia Belanda yang membatasi anggaran pendidikan, menciptakan kesenjangan antara kaum terdidik dan tidak terdidik, memperluas kesenjangan akses pendidikan untuk kaum-kaum subordinat, dan memperterang potensi tirani kekuasaan akibat masyarakat yang mudah dibodohi (Dion, 2025). Pemotongan anggaran beasiswa mengancam penerima beasiswa KIP-K terpaksa putus kuliah. BOPTN dan BPPTNBH yang dipangkas akan memaksa perguruan tinggi untuk menaikkan biaya kuliah tunggal agar operasional mereka tetap tercukupi.
Rezim Prabowo; Neo-Orba?
Dengan argumentasi untuk mendukung program food estate dan Makan Bergizi Gratis dengan dugaan yang telah kami uraikan di atas, pada akhirnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang inkonstitusional. Pemangkasan anggaran pendidikan mengakibatkan semakin tingginya biaya pendidikan. Sivitas akademika akan dipaksa terlibat dalam perampasan tanah dan pembangunan industri. Efisiensi yang melahirkan kemarahan publik ini adalah kebijakan neo-liberalisme yang pro terhadap imperialisme dan korporasi oligarki.
Serupa mertua, serupa menantu. Proyek ketahanan pangan yang pada dasarnya telah mengalami banyak kegagalan sejak Era Soeharto berpotensi terjadi lagi di rezim Prabowo-Gibran. Program yang sentralistik semacam ini justru banyak mengancam kedaulatan pangan dan krisis iklim, pada akhirnya mertua-menantu ini memiliki skema yang sama dalam mewujudkan cita-cita swasembada pangan, yakni dengan jalan yang “merusak”. Kendati swasembada pangan ini memang sudah seharusnya menjadi cita-cita tiap presiden, namun kali ini, cara yang represif juga turut direplikasi. Soeharto menekan pejabat daerah dan memaksa petani untuk menanam bibit yang telah direkomendasi. Jika tidak, tanaman akan dicabuti aparat. Sementara yang tak mau pakai urea dan pestisida, jualan gabahnya bakal dipersulit. Hal yang kurang-lebih sama terjadi lagi, efisiensi menjadi dalih atas represi kekuasaan untuk melancarkan ambisi mereka. Swasembada pangan memang ambisi tiap pemimpin, termasuk Prabowo hari ini. Namun, cara yang keliru untuk mencapainya hanya menimbulkan mudharat yang lebih besar. Dalam laporan Mojok.co, merak mengutip ungkapan peneliti senior Charles Darwin University, Jonatan A. Lassa pernah mencatat, “swasembada pangan tidak sama dengan ketahanan pangan”. Bagi Lassa, ketahanan pangan bukan persoalan produksi semata. Akan tetapi, ia lebih soal manajemen investasi pada sektor-sektor non pangan dan non-pertanian, yang harus dilihat sebagai bagian integral dari pencapaian ketahanan pangan (Mojok.co, 2024).
Oleh: Moh. Hafid Aqil Syiraj (Ketua PK PMII UNIIB)
Daftar Rujukan:
Anak, K.P.P. dan P. (no date) Data Kekerasan Seksual. Available at: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan.
DDTC, P. (2025) ‘SURAT MENTERI KEUANGAN’.
Dion, K. (2025) Penghasilan Anggaran Pendidikan 2025: Kolonialisme Pendidikan Gaya Baru, Omong-omong.com. Available at: https://omong-omong.com/pemangkasan-anggaran-pendidikan-2025-kolonialisme-pendidikan-gaya-baru/.
Greenpeace Indonesia (no date) Pembukaan 20 Hektare Hutan Akan Perparah Krisis Iklim: Gagasan Kedaulatan Pangan dan Energi Jadi Omon-omon. Available at: https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers-2/62102/pembukaan-20-juta-hektare-hutan-akan-perparah-krisis-iklim-gagasan-kedaulatan-pangan-dan-energi-jadi-omon-omon/.
Indonesia, C. (no date) Apa Itu Program ‘Quick Win’ Prabowo yang Telan Anggaran Rp100 T Lebih? Available at: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241022060801-32-1158153/apa-itu-program-quick-win-prabowo-yang-telan-anggaran-rp100-t-lebih.
Jakarta, K. (no date) Jika MBG Berjalan dengan Skema Sentralistik, Celios Ingatkan Potensi Kerugian pada 2025 Bisa Sebesar Ini. Available at: https://koran-jakarta.com/jika-mbg-berjalan-dengan-skema-sentralistik-celios-ingatkan-potensi-kerugian-pada-2025-bisa-sebesar-ini.
Kompas.com (2025a) Anggaran Pendidikan Kena Imbas Efisiensi, Apa Saja Rinciannya? Available at: https://www.kompas.com/tren/read/2025/02/13/170000765/anggaran-pendidikan-kena-imbas-efisiensi-apa-saja-rinciannya-.
Kompas.com (2025b) Uang Kuliah Mahasiswa PTN dan PTS Berpotensi Naik jika Anggaran Kemdiktisaintek Dipotong. Available at: https://www.kompas.com/edu/read/2025/02/13/132021571/uang-kuliah-mahasiswa-ptn-dan-pts-berpotensi-naik-jika-anggaran.
Kompas.com (no date) Anggaran Dipangkas hampir Setengah, KemenPPPA Prioritaskan Gaji dan Tukin Pegawai. Available at: https://nasional.kompas.com/read/2025/02/13/19584181/anggaran-dipangkas-hampir-setengah-kemenpppa-prioritaskan-gaji-dan-tukin.
Mojok.co (2024) Akisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani. Available at: https://mojok.co/liputan/ragam/prabowo-ulangi-kesuksesan-semu-swasembada-pangan-suharto/.
Nasional, F. mahasiswa (2025) ‘Lawan Pemangkasan Anggaran Pendidikan! Lawan Kedok Efisiensi Neo-Liberal yang Hanya Akan Menyengsarakan Rakyat!’
RI, B. (2025) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025.
RI, S.D. (2024) Food Estate di Era Prabowo: Solusi Swasembada Atau Ulangi Kesalahan Lama? Available at: https://id.wikipedia.org/wiki/Food_Estate.
Silalahi, J.N., Yuliana and Iskandar, D. (2023) ‘Dinamika Sosial Masyarakat Kawasan Food Estate (Studi Masyarakat Desa Anjir Sarapat Baru, Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas)’, Jurnal Sosiologi, VI(1), pp. 27–44. Available at: https://e-journal.upr.ac.id/index.php/JSOS/index.
Tempo.com (no date a) 100 Hari Kabinet Prabowo: Food Estate, Lumbung Pangan atau Masalah? Available at: https://www.tempo.co/ekonomi/100-hari-kabinet-prabowo-food-estate-lumbung-pangan-atau-masalah--1202006.
Tempo.com (no date b) Mengenal Program Quick Win Prabowo Berbiaya Rp113 Triliun, Termasuk IKN? Available at: https://www.tempo.co/ekonomi/mengenal-program-quick-win-prabowo-berbiaya-rp113-triliun-termasuk-ikn--50075.
Posting Komentar