"Kenapa hidup selalu seberat ini?" batinnya mengeluh.
Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa ini bukan pertama kalinya ia merasa seperti ini. Sejak dulu, hidupnya adalah perjalanan panjang yang penuh rintangan. Laras adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Sejak remaja, ia sudah terbiasa membantu ibunya berjualan di pasar, bangun sebelum matahari terbit, dan pulang ketika bulan mulai menampakkan wajahnya. Ayahnya telah tiada, meninggalkan keluarga dalam keterbatasan ekonomi yang memaksa Laras tumbuh lebih cepat dari usianya.
Ketika akhirnya ia mendapat kesempatan untuk berkuliah dengan beasiswa, dunia seolah memberi harapan baru. Namun, perjalanan itu juga bukan tanpa tantangan. Berbagai pekerjaan sampingan ia jalani, dari menjadi tutor hingga bekerja di kafe demi mencukupi kebutuhannya. Laras percaya, jika ia bisa melewati semua ini, suatu saat ia akan mencapai sesuatu yang lebih baik.
Kini, setelah bertahun-tahun berjuang, ia sudah berada di titik yang dulu hanya ada dalam angannya. Sebagai seorang wanita karier yang mandiri, seorang ibu yang penuh kasih, dan seorang anak yang tetap berbakti, ia merasa bangga, tetapi juga lelah. Sangat lelah.
Tiba-tiba, sebuah suara kecil membuyarkan lamunannya. "Bunda, ayo pulang! Aku lapar," ujar putrinya, Nadira, yang sedari tadi bermain di taman.
Laras tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. Kelelahan yang tadi terasa menyesakkan dada perlahan menguap. Ada banyak alasan untuknya merasa lelah, tapi ada lebih banyak alasan untuk bangkit kembali. Baginya, kehidupan adalah tentang terus berjalan, terjatuh, menangis, lalu bangkit lagi. Ia tahu, selama ia memiliki alasan untuk terus melangkah, ia tidak akan berhenti.
Laras menggandeng tangan kecil putrinya, melangkah pulang dengan semangat baru. Karena baginya, capek itu boleh, tapi bangkit lagi adalah keharusan.
Oleh: Fathan Faris Saputro (Penulis Buku Pelukan Ramadan)
Posting Komentar