BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Cahaya di Antara Kata

Cahaya di Antara Kata
Penalaut.com
- Mentari pagi merayap pelan di balik jendela ruang kelas. Angin berdesir lembut, membawa aroma buku-buku tua di perpustakaan sekolah. Di barisan bangku paling belakang, seorang anak laki-laki bernama Bima duduk dengan kepala tertunduk, jarinya menggambar pola-pola tak beraturan di atas meja kayu. Matanya sesekali melirik ke arah papan tulis, di mana Bu Rani, guru Bahasa Indonesia, tengah menulis kalimat yang bagi Bima terasa seperti simbol-simbol asing yang tak bisa ia mengerti.

"Anak-anak, siapa yang bisa membaca dan menjelaskan makna dari paragraf ini?" suara Bu Rani menggema di ruangan.

Satu per satu tangan terangkat. Namun, Bima tetap diam. Hatinya berdebar kencang. Ia takut jika tiba-tiba namanya dipanggil.

"Bima, bagaimana dengan kamu? Coba bacakan kalimat pertama," kata Bu Rani dengan lembut.

Bima menelan ludah. Ia memandangi tulisan di papan tulis, tetapi huruf-huruf itu tampak berputar-putar di matanya. Kepalanya semakin tertunduk.

Seisi kelas mulai berbisik. Beberapa anak tertawa kecil. Bima merasakan panas di wajahnya. Ia ingin menghilang saat itu juga.

Setelah beberapa saat, Bu Rani melangkah mendekati bangku Bima. Ia tidak marah, tidak memaksa, hanya tersenyum.

"Tidak apa-apa, Bima. Semua orang punya awal yang berbeda dalam belajar. Yang terpenting adalah kita terus mencoba. Setelah kelas nanti, ayo kita ke perpustakaan bersama. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Sepulang sekolah, Bima menepati janjinya. Ia berjalan ragu-ragu menuju perpustakaan. Begitu masuk, ia terkejut melihat betapa banyaknya buku yang tersusun rapi di rak-rak tinggi. Ruangan itu terasa damai, dengan cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar.

Bu Rani sudah menunggunya di sana dengan sebuah buku di tangan. Buku itu berwarna biru dengan ilustrasi seorang anak kecil yang menggenggam lilin.

"Ini adalah cerita tentang seorang anak yang menemukan cahaya dalam kegelapan," kata Bu Rani sambil menyerahkan buku itu kepada Bima. "Setiap orang bisa menemukan cahaya mereka sendiri. Kamu juga bisa."

Bima menerima buku itu dengan tangan gemetar. Dengan bimbingan Bu Rani, ia mulai mengeja kata demi kata. Awalnya sulit, tetapi perlahan-lahan ia mulai memahami. Setiap halaman yang ia baca adalah tantangan baru, namun juga sebuah kemenangan kecil.

Hari-hari berlalu, dan Bima semakin sering mengunjungi perpustakaan. Ia mulai menikmati dunia yang tersembunyi di balik halaman-halaman buku. Ia membaca tentang petualangan, ilmu pengetahuan, dan sejarah. Ia bahkan mulai menulis cerita pendek di buku catatannya sendiri.

Suatu hari, sekolah mengadakan lomba menulis cerita pendek. Dengan penuh keberanian, Bima mengumpulkan tulisannya. Ia menulis tentang seorang anak laki-laki yang awalnya takut membaca, tetapi menemukan keajaiban dalam kata-kata. Ketika pengumuman pemenang tiba, namanya disebut sebagai juara kedua.

Bima tak bisa menahan senyum lebarnya. Ia berlari menghampiri Bu Rani dan berkata, "Terima kasih, Bu. Sekarang aku mengerti. Literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga tentang menemukan dunia yang lebih luas."

Bu Rani mengangguk, matanya berbinar. "Betul sekali, Bima. Dan sekarang, kamu telah menemukan cahayamu sendiri."

Di dalam benaknya, Bima tahu bahwa ini baru awal perjalanannya. Namun, ia siap melangkah lebih jauh, membawa cahaya itu ke dalam hidupnya dan mungkin, suatu hari nanti, membagikannya kepada orang lain.

Minggu-minggu berikutnya, semangat membaca Bima semakin besar. Setiap sore, ia menghabiskan waktu di perpustakaan. Kadang ia membaca sendiri, kadang bersama teman-temannya. Ia bahkan mulai membantu teman-teman yang mengalami kesulitan membaca, berbagi kisah-kisah yang ia temukan di dalam buku-buku itu.

Suatu hari, kepala sekolah mengumumkan akan ada program literasi baru di sekolah. Mereka membutuhkan relawan untuk membantu teman-teman yang kesulitan membaca. Tanpa ragu, Bima mengangkat tangan. Ia ingin membagikan pengalaman dan semangatnya.

"Baiklah, Bima. Kamu bisa menjadi bagian dari program ini," kata kepala sekolah dengan bangga. "Semangatmu dalam membaca akan menginspirasi banyak teman."

Saat program dimulai, Bima mendampingi beberapa teman yang memiliki kesulitan serupa dengannya di masa lalu. Ia mengajari mereka dengan sabar, seperti bagaimana Bu Rani pernah membimbingnya. Ia mulai memahami bahwa literasi bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga kunci untuk membuka berbagai peluang dalam kehidupan.

Beberapa bulan kemudian, Bu Rani memberi kejutan kepada Bima. Ia menyerahkan sebuah buku kecil dengan sampul sederhana bertuliskan nama Bima di dalamnya.

"Apa ini, Bu?" tanya Bima dengan bingung.

"Ini adalah kumpulan cerita yang kamu tulis selama ini. Aku membantumu menjadikannya sebuah buku kecil agar kamu bisa menyimpannya sebagai kenangan," jawab Bu Rani.

Mata Bima membelalak. Ia memegang buku itu seolah-olah sedang memegang harta karun. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kebahagiaannya. Ia memeluk Bu Rani erat. "Terima kasih, Bu!"

"Teruslah menulis dan membaca, Bima. Dunia ini luas, dan kamu bisa menjelajahinya dengan literasi."

Hari itu, Bima mengerti bahwa literasi bukan hanya tentang mengeja kata-kata atau memahami teks. Literasi adalah tentang menemukan diri sendiri, memperluas wawasan, dan memberikan cahaya kepada orang lain. Dengan keyakinan penuh, ia pun berjanji dalam hati untuk terus belajar dan menginspirasi orang-orang di sekitarnya.

Penulis: Selamet Priyanto (Lamongan)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak