BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Pondok Pesantren

Pena Laut -
Beberapa hari yang lalu, penulis menemukan sebuah postingan reels (video pendek) yang cukup mengejutkan dan bikin garuk kepala. Video tersebut mengundang reaksi komentar banyak pihak di dalamnya. Video tersebut diunggah oleh sebuah akun Instagram bernama hermeneuta.id. Video tersebut menunjukkan dua fenomena yang berbeda. Fenomena pertama ialah terlihat orang-orang yang jalan sambil jongkok, menunduk-nunduk untuk menerima bungkusan sesuatu yang dibagikan oleh seseorang. Pada fenomena kedua, menunjukkan seorang kulit putih yang melempar-lemparkan sesuatu ke segerombolan orang-orang, yang kemudian mereka memperebutkan ‘sesuatu’ tersebut

Menurut analisis pribadi dan cuitan komentar yang ada, fenomena pertama terjadi di sebuah pondok pesantren, dan subjek-subjek dalam video tersebut ialah para santri yang sedang menerima bungkusan makanan yang dibagikan oleh seorang pimpinan pondok pesantren yang umumnya disebut ‘Nyai’. Pada fenomena kedua, menunjukkan orang ‘kulit putih’ yang melempar-lemparkan makanan kepada rakyat pribumi (Indonesia) yang terjadi pada masa kolonialisme masa lampau.

Narasi yang disampaikan oleh akun tersebut ialah “Feodalism Is Not Dead Yet", jika diartikan dalam Bahasa Indonesia ialah “Feodalisme Belum Mati”. Menurut tafsiran penulis, akun tersebut berusaha menunjukkan feodalisme yang terjadi pada masa kolonial dengan masa modern kini.

Selain itu, penulis juga menemukan opini di sebuah blog dan sebuah webinar dari salah satu organisasi kemahasiswaan dari salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. Pada opini tersebut, berupaya untuk membantah stigma terkait adanya praktik feodalisme yang terjadi di Pondok Pesantren. Berbeda halnya di sebuah webinar yang penulis ikuti tersebut. Dalam pembahasannya berupaya untuk mengafirmasi adanya praktik Feodalisme yang ada di Pondok Pesantren.

Kemudian, Badan Semi Otonom (BSO) yang dimiliki oleh Organisasi Kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi (UNIIB) yaitu Republic Of Letters (ROL), yang penulis juga tergabung didalamnya, merasa terpantik akan fenomena yang cukup ramai dan menarik ini. Sedikit penulis jelaskan akan BSO tersebut, ROL ialah sebuah forum diskusi yang dilaksanakan secara rutin mingguan oleh kader-kader PMII internal UNIIB, yang mana pembahasannya dominan filsafat dan kontekstualisasinya atas isu sekitar.

Pada hari Sabtu, 08 Februari 2025 ROL sepakat melaksanakan agenda mingguan, yang bertempat di sebuah Warung Kopi dan dalam pembahasannya mengangkat tema yaitu Dekonstruksi: Pesantren Dalam Bayang-Bayang Feodalisme. Tema ini diangkat atas fenomena yang cukup ramai dan menarik tersebut, yang kemudian menjadi judul yang diangkat oleh penulis sendiri. Karena penulis kurang lebih akan menuliskan analisis serta kesimpulan yang penulis dapatkan dalam diskusi ROL atas fenomena tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa penulis tidak memiliki latar belakang ‘santri’ dan penulis dalam hal ini, memberikan sudut pandang akan fenomena ini serta dari diskusi dengan sahabat-sahabati—berlatar belakang ‘santri’—yang terlibat dalam forum diskusi.

Apa itu Feodalisme?

Sebelum melangkah lebih jauh, seyogyanya kita mengetahui dasar atas apa yang menjadi label istilah yang disematkan pada tema ROL tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Feodalisme adalah (i) sistem atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. (ii) sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja. (iii) sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah. 

Feodalisme, sederhananya, merupakan sistem sosial yang bertumpu pada relasi atasan-bawahan yang sangat kuat yang bersandar pada relasi sosial pada masa lalu yang didasarkan pada status kebangsawan dan kepemilikan tanah. Para bangsawan dan tuan tanah mempunyai kekuasaan mutlak atas rakyat jelata. Penguasa tak bisa dikritik, apalagi ditentang,karena rakyat jelata bergantung padanya. Kehidupan rakyat seakan diberikan oleh penguasa, bukan soal hak. Bagi rakyat, yang ada hanyalah kewajiban.

Pesantren dalam Bayang-Bayang Feodalisme

Pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah lama menjadi bagian integral dari masyarakat Nusantara. Sejarah pesantren tidak terpisahkan dari sejarah Walisongo pada Abad ke 15 dan 16 di Jawa. Pada masa Kesultanan Mataram Islam, pemerintahannya bersifat desentralisasi. Sultan menunjuk orang-orang pilihan, biasanya ahli agama (Kyai), untuk memimpin wilayah dan mengajarkan agama kepada rakyat. 

Kyai sering dijadikan pimpinan atau wakil adipati dan konsultan dalam perkara agama. Mereka mendirikan pesantren tanpa memungut biaya, dan sebagai gantinya, santri diharapkan berkhidmat kepada Kyai. Ciri khas feodalisme adalah ketaatan mutlak dari santri (lapisan bawahan) kepada tokoh agama (atasan). Dalam konteks pesantren, santri diharapkan memuliakan guru (Kyai) beserta keturunan dan sanak saudaranya.

Patron-klien

Feodalisme di pesantren terlihat dalam hubungan patronasi antara kyai dan santri, dimana kyai memiliki posisi superior dan santri berada dalam posisi inferior. Kyai dianggap sebagai sosok yang tidak mungkin berbuat salah, dan perkataannya harus dipatuhi berdasarkan prinsip ‘sami’na wa atha’na’ (kami mendengar dan kami taat).

Gelar “Gus”

Sebutan “Gus” untuk anak laki-laki pemimpin pesantren berkembang dari panggilan feodal yang dimulai pada era Mataram Islam. Awalnya, sebutan ini digunakan di lingkungan priyayi dan kemudian meluas ke pesantren.

Pewarisan Otoritas

Sistem pewarisan otoritas di pesantren seringkali berbasis keturunan, dimana anak kyai (Gus) dianggap memiliki hak istimewa untuk melanjutkan otoritas keagamaan. Hal ini dapat menimbulkan fanatisme Dan mengabaikan aspek kemampuan

Penutup

Feodalisme dalam pesantren dapat menimbulkan dampak negatif jika berlebihan, seperti sikap tidak kritis terhadap Kyai dan pengkultusan individu. Pemahaman tentang sosok Kyai perlu disusun ulang, dan norma yang melahirkan kepatuhan tanpa batas (sami’na wa atho’na) perlu dievaluasi. Kyai seharusnya tidak terjebak pada kemewahan politik dan harus fokus pada pendidikan dan pengayoman.


Oleh : Fawaid Abdullah Abbas (ROLian)

Referensi :
Life.indozone.id. (21 September 2024). Penyebab Budaya Feodalisme Masih Kental di Lingkungan Pesantren, Ternyata Ada Sejarah Tersendiri di Baliknya.
Maimun. (2018). Pesantren Sebagai Prototipe Pendidikan Nusantara. Jurnal Studi Islam. Ejournal.iainmadura.ac.id.
Kompasiana.com. (08 September 2022). Feodalisme Pesantren, Otoritas Tanpa Kontrol
Bacaini.id. (02 September 2024). Asal-usul Gus, Gelar “Feodal” yang Dimulai Era Mataram islam.
Duniasantri.co. (07 Februari 2025). Membedah (Mitos) Feodalisme Pesantren.
Kompasiana.com. (09 Februari 2025). Feodalisme Pesantren.
Nu.or.id. (05 Agustus 2004). Transformasi Pesantren Terbentur Feodalisme.
Kompasiana.com. (08 Juli 2025). Praktik Budaya Feodal di Ruang Lingkup Pesantren
Kompas.id. (21 November 2024). Feodalisme dalam Politik Indonesia
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak