BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Bahasa Sebagai Alat Pemersatu dan Simbol Kedaulatan Bangsa

Pena Laut -
Bahasa bukan ibarat pisang matang di pohon yang siap dikupas dan langsung dihidangkan di meja makan. Sebagai sumber orientasi maupun kekayaan referensi nilai – nilai dan acuan moral, bahasa sulit disikapi sebagai panduan yang sudah final. Perlahan namun pasti ternyata ia lebih memberi bobot pertanyaan ketimbang jawaban terhadap banyak hal dalam tata hidup sosial, ekonomi, dan budaya.

Dalam banyak literatur, penggunaan bahasa Indonesia sebagai salah satu dasar pemersatu dan simbol identitas bangsa memang telah diamanatkan dan diikrarkan dalam piagam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 silam. Kedudukannya sebagai bahasa resmi negara kemudian dikukuhkan oleh Indonesia dalam Undang - Undang Dasar 1945, terutama dalam Bab XV pasal 36.

Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir, kita sedang berada dalam spirit dan optimisme untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pada 20 November 2023, misalnya UNESCO telah menyepakati bahwa bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa resmi yang digunakan dalam konferensi umum di lembaga tersebut.

Namun, eksistensi bahasa Indonesia sekali lagi bukan tanpa tantangan yang cukup berarti. Selain soal kedaulatannya di dalam negeri, globalisasi juga telah memberikan dampak tersendiri pada invasi bahasa - bahasa asing melalui masuknya produk budaya dari luar negeri semisal film, buku, lagu, konten di media sosial, dan sebagainya. Dan ini juga tidak menutup kemungkinan termasuk eksistensi mobilitas warga negara asing (WNA).

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan simbol dan identitas bangsa. Karena itu, ekspatriat - WNA yang tinggal atau bekerja di dalam negeri perlu memiliki kemampuan atau skill berbahasa Indonesia yang baik. Sebab, ketidakmampuan mereka dalam berbahasa Indonesia dapat menyebabkan kesenjangan komunikasi, menghambat integrasi, dan menciptakan stereotipe negative yang dapat berujung konflik.

Meningkatnya Interaksi Multikultural

Menurut data Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker), terdapat sekitar 168 ribu tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia sepanjang 2023. Jumlah tersebut naik 50,66% dibanding tahun sebelumnya (2022) yang berjumlah 111 ribu orang.

Berdasarkan lingkup ikhtisarnya, data yang dihimpun Kemnaker pada 2023 menunjukkan bahwa kebanyakan TKA bekerja di sektor jasa (49,18%), sektor industri (47,9%), serta sektor pertanian dan maritim (2,8%).

Pada tahun yang sama, mayoritas TKA berasal dari China, yaitu 82.623 orang. Kenaikan jumlah ekspatriat ini, lebih - lebih di sektor jasa, turut meningkatkan interaksi multikultural. Namun, lagi – lagi kendala berbahasa membuat komunikasi memiliki tendensi pilar penghalang yang justru menganga dan berakibat fatal dalam hal interaksi.

Padahal, penting bagi perusahaan memahami bahwa faktor perbedaan budaya para pegawai akan dapat mempengaruhi kinerja mereka. Dengan pemahaman tersebut, perusahaan bisa mengembangkan strategi yang efektif guna mengelola perbedaan budaya yang ada.

Mirisnya, kita masih mendapati TKA yang tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Saat rapat dengar pendapat oleh komisi VII DPR - RI, contohnya sangat terpaksa dilakukan dalam bahasa Inggris dan Mandarin. Padahal, bahasa resmi yang digunakan di parlemen adalah Bahasa Indonesia.

Bahkan, saat menggelar pengadilan tindak pidana korupsi, hakim Fahzal akhirnya mengungkapkan rasa herannya saat melihat seorang petinggi perusahaan yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Padahal, petinggi tersebut sudah sepuluh tahun menetap dan berhasil mendapatkan proyek besar di Indonesia.

Pernah juga terjadi bentrok fisik antara TKA dan pekerja lokal di Konawe, Sulawesi Tenggara. Insiden tersebut akhirnya berujung tidak dapat diselesaikan oleh pihak kepolisian karena mereka kesulitan memeriksa TKA yang tidak terampil sama sekali berbahasa Indonesia.

Andai saja ekspatriat tersebut memiliki kecakapan berbahasa Indonesia, tentunya perselisihan mungkin dapat dihindari lantaran sebenarnya terdapat dalam pemahaman antar budaya yang tak terlepaskan dari pembelajaran bahasa asing.

Belum Ada Regulasi yang Selaras

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019 menerangkan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah maupun swasta. Komunikasi ini meliputi hubungan antar pegawai, antar kelembagaan, serta antar lembaga dan masyarakat.

Meskipun belum tegas mensyaratkan standar level tertentu, pemerintah sebenarnya telah membahas penyelenggaraan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), khususnya untuk kepentingan dunia kerja, melalui peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 70 Tahun 2018 tentang standar Kemahiran berbahasa Indonesia.

Sayangnya, dua ketentuan diatas masih belum selaras dengan regulasi lainnya. Misalnya, Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang cipta kerja yang baru saja direvisi Mahkamah Konstitusi pada 31 Oktober 2024, tidak juga menegaskan arti pentingnya keterampilan berbahasa Indonesia bagi para TKA. Alhasil, kebijakan bersertifikasi kompetensi Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di dunia kerja menjadi sangat tidak efektif penerapannya.

Bahasa Mempermudah Integrasi

Selain mempererat interaksi antara ekspatriat dan masyarakat lokal - juga diluar lingkungan kerja - penggunaan Bahasa Indonesia oleh TKA dapat berpeluang menciptakan hubungan yang lebih setara. Salah satunya melalui komunikasi yang berlangsung efektif, adanya saling pengertian, dan produktifitas kerja yang lebih meningkat.

Hasil riset di Kanada menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa sangat berpengaruh langsung terhadap kesempatan kerja, tingkat pendapatan, dan integrasi sosial. Imigran yang menguasai bahasa negara tuan rumah akan memperoleh pendapatan dan mobilitas sosial yang lebih tinggi ketimbang mereka yang tidak mampu. Di sana, kemampuan berbahasa menjadi salah satu faktor kunci dan tolok ukur dalam mempersempit kesenjangan ekonomi antar imigran dan penutur asli.

Di banyak negara seperti China, Arab Saudi, Prancis, Swiss, yang pernah ditinggali banyak ekspatriat sering diminta mereka (TKA) untuk menunjukkan bukti penguasaan dasar bahasa resmi negara setempat secara periodik sebagai bagian dari integrasi sosial dan profesionalitas sebagai syarat izin tinggal. Pendekatan yang sama sepatutnya turut dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia.

Harapan untuk Pemerintahan Prabowo

Upaya meningkatkan martabat negara kita di mata dunia seharusnya sejalan dengan rasa bangga kita terhadap bahasa Indonesia, sebab, bahasa nasional berperan sangat penting dalam membangun identitas kolektif serta mengurangi ketergantungan pada bahasa asing di ranah domestik. Dalam konteks ini, bahasa Indonesia bukan hanya berperan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai penunjang sarana diplomasi budaya yang meningkatkan daya tawar (bargaining power) budaya Indonesia di kancah internasional. Pemerintahan Prabowo dapat mempertimbangkan penggunaan kebijakan bahasa yang mendukung kesetaraan dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta mengacu pada role model negara lain yang telah berhasil menerapkan kebijakan serupa. Harapannya, ini dapat memperkuat ikatan antara ekspatriat dan masyarakat lokal, membuat lingkungan yang makin harmonis dan saling menghormati antar sesama.

Pemerintah idealnya juga menilai secara kualitas calon ekspatriat tidak hanya melulu dari segi finansial belaka, tetapi juga dari segi wawasan budaya Nusantara, termasuk dalam hal ini kemampuan berbahasa Indonesia. Pemberian golden visa kepada calon investor asing yang semakin menarik dan makin mempermudah WNA untuk dapat menetap tinggal di Indonesia, selayaknya juga melewati tahapan sekaligus meliputi aspek-aspek evaluasi tersebut.

Sehingga bahasa Indonesia bukan lagi sekedar alat komunikasi, tetapi juga simbol identitas bangsa. Dengan demikan, penting untuk mendorong ekspatriat agar belajar dengan gigih dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai upaya mewujudkan ikatan yang lebih setara sekaligus mempertegas penghargaan sekaligus penghormatan terhadap kebudayaan lokal dan kesadaran akan jati diri bangsa besar yakni Indonesia.


Oleh: Nurika Hari Nurdi, S.S. 
(Pengamat Sosial pada Center for Educational Studies and Conflict Resolution sekaligus Guru di SD Negeri 1 Genteng - Banyuwangi)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak