BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Asu Sila: Sikap Tak Bermoral Aparat Penegakan Hukum

Pena Laut -
Ontologi hukum adalah cabang filsafat hukum yang membahas tentang hakikat atau keberadaan hukum itu sendiri. Pertanyaan yang dibahas seputar "Apa itu hukum? Apa yang menjadi inti dari hukum? Apakah hukum merupakan sesuatu yang bersifat objektif (independen dari manusia) atau subjektif (dibangun oleh masyarakat)?

Ontologi hukum sering mengeksplorasi konsep dasar hukum, seperti apakah hukum itu hanya aturan tertulis, atau perintah penguasa? Apakah hukum bersifat absolut (berdasarkan prinsip keadilan yang universal) atau relatif (berubah-ubah tergantung pada budaya dan zaman)? 

Selain ontologi, dalam hukum ada juga aksiologi. Aksiologi adalah cabang filsafat yang menjelskan tentang ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Dalam teorinya, aksiologi mempelajari nilai-nilai dan norma-norma.

Aksiologi hukum sering berkaitan erat dengan nilai-nilai moral dan etika hukum. Moralitas adalah standar perbuatan yang terdapat pada manusia, sehingga dengan moral manusia dapat menilai perbuatan itu benar atau salah, baik atau jahat. 

Unsur moralitas merupakan hak dan kewajiban manusia yang terikat dengan hukum. Sehingga secara moral, dalam perbuatannya otoritas hukum harus memenuhi hak dan kewajiban seperti halnya manusia yang bermartabat atau sebagai penegak hukum.

Media masa merupakan saluran resmi yang menjadi pusat informasi bagi masyarakat. Secara positif media turut menjamin demokrasi dengan mengawasi pihak yang berkuasa dan isu-isu penting yang menjadi sorotan masyarakat. Media juga mengontrol kebijakan dan sikap sewenang-wenang pemerintah terhadap rakyat dalam upaya mewujudkan keseimbangan sosial pada rakyat. 

Pada tahun 2022 lalu, isu yang banyak diperbincangkan oleh masyarakat adalah mengenai instansi penegak hukum (Polisi). Seperti, viralnya seorang Polisi tembak Polisi, yaitu Brigadir J ditembak oleh Ferdi Sambo; tewasnya Afif Maulana, pemuda yang berumur 13 tahun, diduga disiksa polisi dengan dalih tawuran; siswa SMK di Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy (17 tahun) tewas ditembak polisi berkat dituduh melakukan tawuran, terduga Begal ditembak Polisi di depan anak dan istri di Lampung; dan masih banyak lagi fenomena brutalitas yang dilakukan oleh penegak hukum, jika kita mengikuti berita lebih cermat.

Penembakan yang menjadikan seorang kehilangan nyawa adalah pelanggaran terhadap hak hidup seseorang. Kepolisian sebagai lembaga negara yang digadang-gadang sebagai garda terdepan masyarakat, diamanatkan melayani keamanan masyarakat. Sebagai penegak hukum, Polisi sudah seharusnya memperlihatkan citra yang baik melalui sikap profesional saat bekerja maupun dalam kehidupan sehari-hari. 

Sering kali beberapa media masa menayangkan wajah aparat--yang katanya penegak hukum (polisi), dengan tingkahnya yang membuat geleng-geleng kepala. Hal itu yang menghilangkan citra kepolisian dan fungsinya. Alhasil, kepercayaan masyarakat akan mengurang, seiring dengan pemberitaan media tentang citra buruk kepolisian.

Apalagi saat para polisi dalam menangani masyarakat yang cenderung menggunakan tindakan represif. Munculnya Tagar #Acab (All Cops Are Bastards), ini muncul sebab kekecewaan masyarakat. Aparat yang seharusnya melindungi, berbalik seringkali menjadi ancaman nyata bagi masyarakat. Hal ini yang seringkali bermunculan di media. Dalam hal ini, media sebagai pengawas kekuasaan memberikan perfektif terhadap masyarakat dalam melihat bagaimana peran pemerintah dalam upaya pembangunan nasional. 1312 menjadi salah satu refleksi dari kebrutalan polisi di Kanjuruan, penembakan gas air mata dan kekerasan yang merenggut nyawa, sampai sekarang masih menjadi misteri. Dimana penegak hukum jika pelakunya saja oleh otoritas hukum yang berjiwa predator!

Nietzsche menggagas, "Eternal return atau eternal recurrence" adalah konsep filosofis yang menyatakan bahwa waktu berulang dalam siklus yang sama, terus-menerus, dan untuk selamanya. Konsep pengulangan bisa dikaitkan dengan fenomena yang pernah terjadi di negara ini akan terjadi lagi dan terus berulang. Bukan rahasia lagi kondisi aparatur negara sebagai agen penegak hukum juga sebagai pelaku. 

Polisi yang menjaga keamanan pada faktanya sering kali menjadi tangan elit yang mengutamakan kepentingan ekonomi politik segelintir golongan. Supremasi hukum yang seharusnya netral dengan demikian dialihfungsikan sebagai tameng untuk membenarkan tindakan otoriter terhadap rakyat kecil. Seperti aksi masa protes, sering kali di bungkam dengan kekerasan, sementara pelanggaran yang dilakukan oleh para elite sering diabaikan, yang menjadikan sistem ketidakadilan merugikan bagi masyarakat kecil.

#polisibaikhanyadikomik


Oleh: Moh. Danil Fathoni

Rujukan:
Ridha Rasyid Muhammad, Ontologi Hukum, Artikel Kompas.com, 2 November 2022.
A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, h. 223.
H.R Otje Salman, Anthon F Susanto, Teori Hukum.
S.P Tjahyadi, Hukum dan Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperaktif Kategoris, BPK Gunung Mulia Kanisius, Yogyakarta, 1991, h.47.
Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Masyarakat, jakarta: Kompas.com, 2002.
Krisiandi, Tsarina Maharani, Kasus Kekerasan Oleh Polisi Jakarta: Kompas.com, 2021.
Adila V M, Dua Wajah Pemerintahan: Memahami Demokrasi dan Otoriter, Gramedia.com.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak