BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

All Eyes On Carla: Persekusi HAM, Kemanusiaan, dan Ironi Birokrasi Kepolisian Sebagai Buntut Rasionalisme Modern dalam Filsafat

Pena Laut
- Cerita berawal dari Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Pada hari Rabu, tanggal 13 November 2024, seorang siswi bernama Dinda Carla Nur Anindita—yang selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut Carla, gadis berusia 7 tahun, yang baru duduk di kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah diduga dibunuh dan diperkosa sepulang gadis itu dari sekolah. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kalibaru menerangkan bahwa peristiwa tersebut terungkap saat orang tua korban curiga, Carla tak kunjung pulang di jam seharusnya ia biasa telah tiba di rumah, kemudian kecurigaan itu berlanjut pada pencarian yang dilakukan oleh orang tua Carla dan beberapa guru sekolahnya yang dihubungi sebelumnya, hingga akhirnya mereka menemukan jasad Carla dalam posisi telentang di area kebun yang hanya berkisar 200 meter dari rumahnya. Dalam keterangan kepolisian juga menyebutkan bahwa terjadi indikasi pemerkosaan yang ditinjau melalui hasil investigasi barang bukti seperti kancing baju yang copot, korban ditemukan telentang, lolipop, dan sepatu yang terlempar cukup jauh dari lokasi Carla ditemukan(Kompas.TV, no date). Allahu yarhamha wa yaghfir laha.

Peristiwa ini telah menarik perhatian banyak pihak, dari mulai Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan dan Kemahasiswaan, Netizen, hingga advokat/pengacara kondang Hotman Paris turut memberikan tanggapan, dan kabarnya akan menerjunkan Tim Hotman 911 untuk mengawal kasus itu(Detikcom, 2024). Bahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi dengan tanggap mendelegasikan dua psikolog untuk mendampingi keluarga korban. Tak hanya itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin juga turut memberikan sikap kepada pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas kasus tragis ini(Indonesia, no date). Meskipun sampai setelah tiga bulan, Kapolresta Banyuwangi dengan dukungan Dikrimum dan Jatanras Polda Jawa Timur telah turun ke lokasi untuk melakukan upaya identifikasi terhadap pelaku, tapi sayangnya “hingga saat ini masih gelap” pungkas warta seorang jurnalis Detik Jatim dalam laporannya(DetikJatim.com, 2025).

Dari nasib Carla yang masih belum menemukan ‘punjer’-nya selama kurun waktu tiga bulan lalu, saya membaca setidaknya tiga fenomena yang terjadi dalam serangkaian kasus ini. Pertama adalah yang paling tersorot; yakni kekerasan seksual dan pembunuhan pada anak di bawah umur. Ditinjau dari segi manapun, poin pertama ini saya yakin sebagian besar orang akan sepakat apabila saya katakan hal ini adalah sebuah tindakan kriminalitas dan dugaan pedophillia (penyimpangan seksual), sebab dalam keterangan yang ada, memuat dugaan tindakan kekerasan seksual pada anak di bawah umur(Probosiwi and Bahransyaf, 2015), serta pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kriminalitas dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan tindakan kejahatan yang melanggar hukum dan dapat dihukum menurut undang-undang pidana(Amini and Fauzi, 2023).

Kedua, reaksi masyarakat dalam menanggapi nasib Carla adalah reaksi kemanusiaan yang memang seharusnya terjadi sebagai konsekuensi moralitas yang dimiliki tiap individu. Memang sepatutnya, solidaritas kemanusiaan tidak mengenal tabir dan batas teritorial. Semangat emansipasi menjadi angin segar yang membawa sikap egaliter dan kepedulian yang mendorong manusia untuk (segera) berbuat maupun tidak (lagi) berbuat sesuatu, karena memandang identitas yang melekat dalam diri masing-masing—latar budaya, sosial, agama, dan bangsa—yang terbungkus dalam satu komando tunggal yang bernama kemanusiaan itu sendiri. Hal ini telah terkandung dalam ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin dalam dalil masyhurnya yang berbunyi “amar ma’ruf wa nahyi ‘anil munkar”.

Ketiga, potret upaya kepolisian sebagai eksekutor dari hukum perundang-undangan yang ada di Indonesia. Eksekutor hukum yang kita kenal sebagai aparatur negara tersebut telah diperkenalkan oleh nenek moyang kita sejak masa feodalisme-monarki—atau bahkan mungkin sebelum itu. Konon, tentara-tentara kerajaan telah berfungsi sebagai alat pengamanan negara (atau lebih tepat disebut sebagai alat pengamanan penguasa/raja). Mereka dengan setia dalam jiwa patriotisme telah gagah berani dalam mengawal kepentingan kerajaan, bahkan rela berperang. Namun setelah Pencerahan (Aufklarung), rupa mereka berganti menjadi lebih birokratis seiring perubahan paradigma berpikir manusia yang tergolong tradisional, menuju masyarakat modern, yakni modernitas dengan ciri khas yang disebut oleh Max Weber—seorang sosiolog Jerman—cenderung lebih birokratis dan administratif. Rupa ini dikenal di Indonesia sebagai TNI dan Polri yang telah tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

dalam pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI menyebutkan fungsi dari kepolisian; “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”(Negara Indonesia, 2002). Pasal ini menyebutkan peran kepolisian dalam berlangsungnya NKRI sebagai aparatur negara. Perundangan ini—seperti penjelasan Weber—adalah bentuk birokrasi-administratif yang melahirkan prosedur-prosedur tertentu dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara eksistensial. Sehingga, dalam konteks kasus yang menimpa Carla, kepolisian merupakan penanggung jawab secara fungsional.

Birokrasi Weber adalah konsekuensi dari diafirmasinya konsep rasionalitas oleh seluruh umat manusia sebagai produk utama filsafat modern Barat. Weber mengemukakan beberapa syarat-syarat birokrasi modern yang hierarkis, kualifikatif, obyektif, serta mengekang (ketat), yang melahirkan berbagai prosedur dalam pelaksanaannya. Konsep ini telah diterima dengan baik oleh berbagai negara di dunia, tentu dengan penyesuaian dari ideologi, sosio-kultural, agama, dan kondisi politik di masing-masing negara. Teori Max Weber berangkat dari paradigma filsafat modernisme yang bersifat positivistik serta antroposentris(Wakhid, 2011). Meskipun pada akhirnya paradigma semacam ini dinilai oleh kaum Post-modernis sebagai sebuah paradoksal dalam modernisme, sebab sifatnya yang ‘tidak membebaskan’ manusia itu justru bertolak belakang dengan cita-cita besar Pencerahan —bagi Kant—sebagai ‘kedewasaan’ dan emansipasi manusia(Abror, 2018).

Investigasi kasus Carla yang belum terungkap hingga hari ini dapat kita lihat sebagai keterlambatan pihak kepolisian. Benar atau salahnya argumentasi ini, sangat bisa diperdebatkan. Namun, birokrasi yang rumit seringkali menjadi alasan utama mengapa berjalannya fungsi-fungsi kenegaraan menjadi berjalan lambat dan cenderung merepotkan—alih-alih mempermudah. Maka dari itu, tiga fenomena di atas kami baca melalui sudut pandang filosofis, meskipun kami sadar bahwa perspektif ini bukan merupakan analisis hukum yang menjadi solusi praktis dalam menegakkan keadilan—setidaknya hal itu yang diyakini oleh kaum saintis. Namun dalam filsafat, fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah suatu bentuk genealogi atau sanad, serta nilai yang ‘terberi’ dari sejarah peradaban dan revolusi berpikir manusia beserta konsekuensi baik-buruknya(Sugiharto, 1996). Hal ini kami rasa bukan usaha yang ‘muspro’ apabila kekhawatiran atas kepolisian di Banyuwangi menjadi penulis cerita yang sama dengan kasus Vina Cirebon yang viral beberapa tahun lalu.


Penolakan Atas Paradigma Berpikir Yang Birokratis

Kabar matinya Abad Pertengahan menyebar luas dengan cepat seiring dengan konstruksi paradigma modernisme oleh para pemikir Barat, hingga ‘virus’ ini menyebar ke negara-negara Timur setelah itu. Renaissance dianggap sebagai pemantik lahirnya Modernisme dengan euforia harapan tentang kembalinya masa Yunani (baca: kebebasan berpikir). Kemudian hal ini diafirmasi oleh Pencerahan dengan tawaran cita-cita besar; kemajuan teknologi, individualisme, kebebasan, kemudahan untuk manusia, dan salah satu produk yang menjengkelkan—kapitalisme.

Hegel adalah filsuf pertama yang mengemukakan Modernisme secara teoretis, sekalipun Hegel hidup di masa yang cukup jauh dari awal mula Modernisme dibangun, namun Habermas yakin bahwa Hegel lah yang pertama kali mengkaji Modernisme secara filosofis(Afifi, 2022). Hegel berbicara tentang konsep negara modern dan prinsip negara modern. Tesis Hegel yang mengatakan “the truth is the whole” atau berarti “kebenaran itu universal” bermaksud untuk mengungkapkan keyakinannya bahwa negara berfungsi sebagai instrumen untuk membangun nasionalisme, supremasi ide masing-masing individu dengan menggabungkan masyarakat sebagai sebuah kesatuan utuh, dari sana muncul kepercayaan Hegel tentang negara sebagai Roh Absolut(Ajeng Yolani, Muhammad Rafli Syamsulhadi, Nurul Aini, 2022).

Sementara seniornya dari Konigsberg, Immanuel Kant, mengumandangkan ‘Sapere aude! Beranilah berpikir sendiri!’ dalam esai yang ia tulis dengan judul; Beantwortung der Frage: Was ist Aufklarung? Memantik semangat modernisme dengan semangat rasionalisme. Keyakinan yang luar biasa atas supremasi rasio itu ditunjang dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan revolusi industri(Afifi, 2022). Keyakinan kaum modernis tentang kebenaran obyektif yang dibangun melalui paradigma berpikir fondasionalisme dan representasionalisme menambah kekuatan argumentasi kaum tersebut tentang ‘kebenaran universal’ yang oleh Habermas dinilai sebagai kekuatan ilmiah. Fondasionalisme adalah pandangan yang menganggap manusia memiliki fondasi terkahir yang bersifat objektif. Pandangan ini mendikotomi secara mendasar antara ilusi><kenyataan, penampakan><hakikat, kesadaran palsu><pengetahuan sejati. Artinya tugas filsafat adalah menemukan dasar pengetahuan(Ryadi Agustinus, 2004).

Sedangkan representasionalisme memberikan konsep bahwa sebuah subjek memiliki tugas untuk merepresentasikan kenyataan objektif. Kedua pandangan ini membangun corak filsafat modernisme, dengan anak dari perkawinan kedua paradigma itu adalah obyektivisme-universal dan konsep yang dikenalkan oleh Auguste Comte sebagai paradigma berpikir positivistik yang kini menjelma aturan etis kaum saintis(Nugroho, 2016). Pada akhirnya produk pemikiran Comte ini menjadi metode penelitian ilmiah yang kita nikmati dari bangku sekolah hingga meraih gelar profesor sekalipun.

Bagi kalangan Postmodernisme konsekuensi paradigma modernisme di atas sangat mengerikan. Paradigma ini disinyalir menjadi pemicu kemunculan berbagai konflik kemanusiaan di muka bumi; kemiskinan, pengangguran, kapitalisme, kediktatoran, oligarki, eksploitasi manusia dan alam, bahkan genosida yang dapat kita lihat dalam satu frame besar atas nama penindasan dalam kepentingan individu(Sugiharto, 1996). Liberalisme-individual ini pada akhirnya terpaksa menghapus moral dan mitologi sesuai dengan cita-cita Pencerahan yang membebaskan diri dari belenggu dogmatisme agama. Moralitas dipercaya dapat diraih tanpa agama, yang menyisakan sekulerisasi politik, hingga diakuinya peraturan perundangan sebagai aturan baku dalam kehidupan manusia.

******

Sampai sini telah tampak bagaimana pembangunan kesadaran hidup manusia yang birokratis dan administratif dapat menjadi darah peradaban manusia di abad sekarang. Birokrasi adalah sistem pengorganisasian antara individu dengan individu yang lain. Tujuannya adalah mengorganisir kepentingan dan kebutuhan tiap individu dalam suatu kelompok masyarakat atau kita sebut negara. Sedangkan administrasi adalah wadah dari sistem birokrasi yang dianggap memerlukan legal standing sebagai representasi kesepakatan bersama melalui mekanisme politik kenegaraan(Wakhid, 2011). Kaum postmodernis—yang dimulai oleh Nietzche—sedang berupaya meruntuhkan kejayaan modernisme bersama buntut-buntutnya yang mereka anggap merepotkan saja(Afifi, 2022).

Birokrasi kepolisian dengan berbagai prosedur yang dilegitimasi oleh pengetahuan forensik positivistik menciptakan gelombang fitnah yang—katanya—justru memperburuk citra kepolisian itu sendiri dengan lambatnya penanganan, kurang bijaknya mengambil keputusan, bahkan citra ini merambah hingga ke persoalan pribadi (yang saya maksud adalah sebutan ‘Halo dek’). Banyak kasus yang dianggap telah sesuai prosedur tapi justru memakan korban manusia seperti tragedi Kanjuruhan, Malang tiga tahun lalu. Belum lagi sifat birokrasi yang hierarkis menciptakan potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan seperti kasus Ferdy Sambo(Amini and Fauzi, 2023). Dalam kasus Carla, penulis mengkritik proses investigasi yang terlalu prosedural yang mungkin memperlambat terputusnya pelaku di meja pengadilan.

Carla dan Kemanusiaan

Carla adalah satu dari jutaan penyintas kekerasan seksual yang ada di muka bumi. Terlebih Carla adalah seorang gadis yang masih belia, patutnya sebagai manusia yang memiliki hati nurani, kita melihat hal ini sebagai sebuah kebengisan individu. Mana yang tepat antara Hobbes dengan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) atau Seneca dengan homo homini socius (sesama manusia adalah teman)? Akankah kita bertanya, apakah pelaku merupakan seorang tua? Apakah pelaku dengan sadar melakukan hal itu? atau apakah pelaku merasa lebih mendominasi dari Carla, sehingga tanpa berpikir dua kali melakukan hal sekeji itu?

Hannah Arendt, seorang penyintas diskriminasi kaum Yahudi atas totalitarianisme Hitler di Jerman yang kebetulan sama-sama perempuan dengan Carla pernah menyatakan dalam teorinya Banality of Evil, bahwa kejahatan berawal dari dominasi manusia atas manusia lainnya. Hasrat dominasi ini adalah konsekuensi logis atas rasionalitas yang mensublimasikan dirinya menjadi rasionalitas-bertujuan menurut Weber(Akbar, 2021). Artinya kejahatan masa kini juga menjadi akibat modernisme yang mungkin masih disalah pahami oleh sebagian orang.

Teknologi yang dalam gagasan awalnya berusaha mengemansipasi manusia, justru kini melahap kedaulatan manusia itu sendiri. Dengan terciptanya berbagai mesin dan teknologi yang digadang-gadang mampu menciptakan perubahan positif, serta mempermudah urusan manusia dalam menghadapi problem sosial yang kompleks, justru menciptakan problem sosial yang baru yang lebih kompleks, diperparah dengan krisis iklim yang menjadi hasil kemajuan itu sendiri. Carla beserta jutaan perempuan dan anak di Gaza menjadi bagian dari sasaran empuk rasionalitas-bertujuan yang menghapus moralitas sebagai pakem hukum dan sekularisasi politik yang memaksa agama untuk dilegal-formalkan sehingga tercipta corpus tertutup dalam penafsirannya. Semua itu mungkinkah hanya untuk kepentingan birahi serta nafsu kekuasaan belaka?

Pada akhirnya lemahnya moralitas yang dipercaya akan mengakibatkan kesesatan hati nurani manusia. Sebuah penelitian oleh Yasintus Harjon dan Fransisko Sadianto dalam artikel mereka yang berjudul Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Kesesatan Hati Nurani tentang faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dengan tega melakukan kekerasan seksual terhadap anak salah satunya adalah faktor intrinsik. Pelaku memandang bahwa melakukan hal tersebut terhadap anak adalah sesuatu yang wajar bahkan sudah menjadi kultur atau semacam trend(Sadianto and Harjon, 2023). Inilah banality of evil, keresahan Hannah Arendt dan umat manusia.

Oleh: Hafid Aqil 


Daftar Rujukan:

Abror, R.H. (2018) ‘Pencerahan Sebagai Kebebasan Rasio dalam Pemikiran Immanuel Kant’, 4, pp. 177–194.

Afifi, I. (2022) Jurgen Habermas; Sejakala Modernitas. Diva Press. Available at: https://www.google.co.id/books/edition/Jurgen_Habermas_Senjakala_Modernitas/2Sy1DwAAQBAJ?hl=id&gbpv=0.

Ajeng Yolani, Muhammad Rafli Syamsulhadi, Nurul Aini, U.P.S. (2022) ‘Risalah Tenteng Konsep Negara Integralistik’, (2022), pp. 1–12. Available at: https://doi.org/10.11111/praxis.xxxxxxx.

Akbar, F. (2021) Hannah Arendt-Jeff Bezos: Teknologi dalam Refleksi Teori Banality Of Evil, LSF Discourse. Available at: https://lsfdiscourse.org/hannah-arendt-jeff-bezos-teknologi-dalam-refleksi-teori-banality-of-evil/.

Amini, T.W. and Fauzi, A. (2023) ‘PERAN KEKUASAAN ABSOLUT DALAM BIROKRASI APARAT KEPOLISIAN Analisis Studi Kasus Tindak Kriminal Irjen Ferdy Sambo’, SOSIOLOGI: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 25(1), pp. 89–107. Available at: https://doi.org/10.23960/sosiologi.v25i1.531.

Detikcom (2024) Hotman Paris Soroti Kasus Siswi MI di Banyuwangi Dibunuh-Diperkosa, 14 November. Available at: https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-7638891/hotman-paris-soroti-kasus-siswi-mi-di-banyuwangi-dibunuh-diperkosa.

DetikJatim.com (2025) Kakak Siswi MI di Banyuwangi Korban Pemerkosaan-Pembunuhan Akhirnya Sekolah. Available at: https://www.detik.com/jatim/berita/d-7737769/kakak-siswi-mi-di-banyuwangi-korban-pemerkosaan-pembunuhan-akhirnya-sekolah.

Indonesia, S. (no date) Tak Ada Toleransi Bagi Pelaku Pemerkosaan-Pembunuhan Siswi di Banyuwangi, DPR RI Desak Polisi Usut Tuntas. Available at: https://suaraindonesia.co.id/news/peristiwa/673adec8f2cd1/Tak-Ada-Toleransi-Bagi-Pelaku-Pemerkosaan-Pembunuhan-Siswi-di-Banyuwangi-DPR-RI-Desak-Polisi-Usut-Tuntas#google_vignette.

Kompas.TV (no date) ‘Usut Pembunuhan Siswi Madrasah Banyuwangi, Kapolresta Berkantor di Polsek’. Available at: https://www.kompas.tv/regional/554332/usut-pembunuhan-siswi-madrasah-banyuwangi-kapolresta-berkantor-di-polsek.

Negara Indonesia, K. (2002) ‘Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia’, Kepolisian Negara Republik Indonesia, 1999, pp. 1–33. Available at: https://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2002/uu2-2002.pdf.

Nugroho, I. (2016) ‘Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains’, Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 11(2), pp. 167–177. Available at: https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192.

Probosiwi, R. and Bahransyaf, D. (2015) ‘Pedophilia and Sexual Violence: Problems and Child Protectioon’, Sosio Informa, 01(01), pp. 29–40.

Ryadi Agustinus (2004) ‘Postmodernisme Versus Modernisme’, Studia Philosophica Et Theologica, 4(2), pp. 90–100.

Sadianto, F. and Harjon, Y. (2023) ‘Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dan Kesesatan Hati Nurani’, Jurnal Anifa: Studi Gender dan Anak, 4(1), pp. 25–42. Available at: https://doi.org/10.32505/anifa.v4i1.5788.

Sugiharto, I.B. (1996) Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Kanisius. Available at: https://books.google.co.id/books/about/Postmodernisme.html?id=Y7LxzQEACAAJ&redir_esc=y.

Wakhid, A.A. (2011) ‘Eksistensi Konsep Birokrasi Max Weber Dalam Reformasi Birokrasi Di Indonesia’, Jurnal TAPIs, 7(2), pp. 125–146. Available at: http://ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/TAPIs/article/view/100.



Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak