BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Meneguhkan Identitas dan Relevansi PMII di Tengah Dinamika Kebangsaan

Penalaut.com
- Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia yang memiliki peran strategis dalam sejarah pergerakan sosial, politik, dan keagamaan bangsa. Berdiri pada 17 April 1960, PMII telah menunjukkan eksistensinya sebagai wadah yang memperjuangkan nilai-nilai Islam yang moderat, humanis, dan kontekstual di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Namun, di tengah dinamika kebangsaan saat ini, tantangan untuk meneguhkan identitas dan relevansi PMII semakin besar.

Identitas PMII: Islam, Nasionalisme, dan Kemahasiswaan

        Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi kemahasiswaan yang berasaskan Islam, memadukan nilai-nilai nasionalisme dan semangat kemahasiswaan sebagai landasan perjuangan. Identitas PMII dibangun atas dasar sinergi antara keyakinan agama Islam, komitmen terhadap bangsa, dan tanggung jawab sebagai mahasiswa. Sebagai organisasi yang berakar dari tradisi Nahdlatul Ulama (NU), PMII mengusung prinsip Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, yang mengedepankan moderasi, toleransi, dan cinta tanah air. Hal ini tercermin dalam semboyan PMII, "Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh," yang menjadi pedoman anggotanya dalam beraktivitas.

        Nasionalisme dalam PMII diwujudkan melalui komitmen menjaga keutuhan bangsa dan negara berdasarkan prinsip Pancasila dan UUD 1945. Anderson (1983) dalam teorinya tentang Imagined Communities menyebut bahwa nasionalisme adalah konstruksi sosial yang terbentuk dari kesadaran kolektif masyarakat. Dalam konteks PMII, semangat nasionalisme ini diimplementasikan melalui perjuangan untuk mengembangkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan berkeadilan sosial, sejalan dengan nilai-nilai Islam. Namun, kritikus seperti Hobsbawm (1990) dalam Nations and Nationalism since 1780 mengingatkan bahwa nasionalisme sering kali dimanfaatkan sebagai alat politik yang rentan terhadap manipulasi. PMII berupaya menjawab kritik ini dengan menjadikan nasionalisme sebagai landasan moral yang bersinergi dengan ajaran Islam.

        Sebagai organisasi kemahasiswaan, PMII juga menitikberatkan peran mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Teori critical pedagogy dari Paulo Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis mahasiswa dalam melawan berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan. Dalam PMII, kesadaran ini dibangun melalui pendidikan kaderisasi yang mengajarkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan keilmuan. Namun, tidak sedikit pihak yang mengkritik peran organisasi mahasiswa dalam dinamika politik praktis. Bourdieu (1984), misalnya, memperingatkan bahwa ruang akademik dan organisasi mahasiswa dapat terjebak dalam reproduksi simbolik kekuasaan yang malah menjauhkan mereka dari misi transformatif.

        Identitas Islam, nasionalisme, dan kemahasiswaan yang diusung PMII bukan tanpa tantangan. Namun, melalui komitmen terhadap moderasi Islam, kecintaan terhadap tanah air, dan tanggung jawab sebagai mahasiswa, PMII berupaya menjadi ruang perjuangan yang relevan di tengah perubahan zaman.

Dinamika Kebangsaan: Tantangan yang Dihadapi PMII

        Indonesia saat ini menghadapi berbagai dinamika kebangsaan, mulai dari polarisasi politik, meningkatnya radikalisme, hingga penetrasi ideologi transnasional yang mengancam kebhinekaan. Sebagai organisasi mahasiswa yang berakar pada nilai-nilai keislaman dan nasionalisme, PMII dihadapkan pada sejumlah tantangan berikut:

1. Polarisasi sosial dan politik

    Polarisasi yang tajam dalam politik nasional menjadi salah satu tantangan terbesar. Sentimen primordial sering kali digunakan untuk memecah belah masyarakat, dan ini merembet hingga ke ranah kampus. PMII harus mampu menjadi jembatan yang merangkul perbedaan, sebagaimana visi Islam yang moderat dan inklusif.

2. Radikalisme dan intoleransi

        Radikalisme yang menyasar generasi muda, termasuk mahasiswa, menjadi ancaman serius. PMII harus mengambil peran aktif dalam menangkal narasi-narasi ekstrem yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Islam rahmatan lil ‘alamin.

3. Transformasi digital

       Era digital membawa tantangan sekaligus peluang bagi PMII. Di satu sisi, teknologi digital mempermudah akses informasi dan penyebaran dakwah. Namun, di sisi lain, media sosial menjadi ladang subur bagi penyebaran hoax, ujaran kebencian, dan propaganda ideologi yang bertentangan dengan nilai kebangsaan.

4. Krisis kepemimpinan

        Regenerasi kepemimpinan di PMII harus mampu melahirkan kader yang tidak hanya memiliki integritas dan kecerdasan intelektual, tetapi juga kepekaan sosial yang tinggi. Tantangan ini menjadi penting agar PMII tetap relevan dan dapat berkontribusi nyata dalam membangun bangsa.

Meneguhkan Relevansi PMII di Era Kekinian

        Untuk menghadapi dinamika kebangsaan tersebut, PMII perlu meneguhkan kembali relevansinya dengan langkah-langkah strategis berikut:

1. Penguatan ideologi aswaja

PMII harus terus menanamkan nilai-nilai Aswaja kepada kadernya agar mampu menjadi garda terdepan dalam mempromosikan Islam yang moderat dan toleran. Pendidikan kader harus ditekankan pada pemahaman yang mendalam tentang Aswaja dan relevansinya dalam konteks kebangsaan.

2. Membangun literasi digital

Di era digital, kader PMII harus dibekali dengan literasi digital yang kuat agar mampu memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman. Selain itu, literasi digital juga penting untuk menangkal hoaks dan propaganda yang dapat merusak persatuan bangsa.

3. Kolaborasi dengan berbagai pihak

PMII perlu menjalin sinergi dengan berbagai elemen masyarakat, mulai dari organisasi keagamaan, akademisi, hingga pemerintah. Kolaborasi ini penting untuk memperkuat posisi PMII sebagai agen perubahan yang memiliki kontribusi nyata.

4. Penguatan peran di kampus

Sebagai organisasi mahasiswa, PMII harus memperkuat perannya di kampus, baik melalui kegiatan akademik maupun non-akademik. PMII dapat menjadi ruang diskusi intelektual sekaligus tempat menempa kader yang siap menghadapi tantangan global.

Menghadirkan Islam yang Kontekstual

        PMII harus mampu menghadirkan Islam yang relevan dengan konteks kekinian, termasuk dalam isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan kesetaraan gender. Dengan demikian, PMII dapat menarik minat generasi muda yang peduli pada isu-isu tersebut.

        Meneguhkan identitas dan relevansi PMII di tengah dinamika kebangsaan bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan upaya kolektif dari seluruh kader untuk kembali pada nilai-nilai dasar PMII yang mengedepankan Islam yang moderat, nasionalisme, dan kemahasiswaan. Sebagai organisasi yang lahir dari rahim keindonesiaan, PMII memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga persatuan dan kebhinekaan bangsa.

        Sebagaimana pesan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.” PMII, dengan segala sejarah dan perjuangannya, harus terus menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai Islam dan kebangsaan. Dengan demikian, PMII tidak hanya menjadi organisasi yang relevan di masa kini, tetapi juga menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih baik.


Oleh: Ansari, S.Sy., M.H (Dosen Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak