Pena Laut - Di tengah hiruk pikuk pertarungan kekuasaan yang tak berkesudahan, seringkali kita melupakan esensi terdalam dari eksistensi manusia-kemanusiaan itu sendiri. Perjuangan kemanusiaan yang terkadang harus bergerak secara "gerilya" di celah-celah sistem yang kaku menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji lebih dalam. guliran mesin kekuasaan yang tak kenal ampun, gerilya kemanusiaan tampil sebagai nyanyian perlawanan yang tak terbendung.
Gerilya kemanusiaan ini harusnya bukanlah sekadar retorika kosong, melainkan aksi nyata yang menempatkan martabat manusia sebagai titik balik perlawanan. Di tengah pusaran kekuasaan yang seringkali mereduksi manusia menjadi sekadar objek, kita perlu dan harus mengangkat manusia sebagai subjek utama dalam setiap perjuangan. Tidak sekadar berbicara tentang Hak Asasi Manusia, melainkan menghidupkannya dalam setiap tarikan napas perlawanan.
PMII memahami bahwa perjuangan HAM di Indonesia bukan pertempuran yang bisa dimenangkan dalam semalam. Ini adalah marathon panjang yang membutuhkan stamina dan strategi jangka panjang. Maka, selain aksi-aksi taktis di lapangan, harusnya juga membangun basis-basis kekuatan melalui pendidikan kritis. Kader-kader muda digembleng untuk memahami akar masalah, menganalisis struktur kekuasaan, dan merancang strategi perlawanan yang efektif.
Berkaca pada masa lalu, Realitas politik Indonesia pasca reformasi menunjukkan bahwa demokrasi tidak serta merta menjamin terpenuhinya HAM. Kekuasaan ekonomi dan politik seringkali berkolaborasi menciptakan sistem yang justru melanggengkan ketidakadilan. Dalam konteks inilah PMII hadir sebagai kekuatan moral yang harusnya berani menantang status quo. Melalui jaringan kader yang tersebar di berbagai kampus, membangun basis-basis perlawanan intelektual yang kritis terhadap berbagai bentuk pelanggaran HAM.
Seperti contoh kita tahu bahwa Fenomena demonstrasi antara pemerintah dengan mahasiswa adalah hal yang kompleks dan memiliki berbagai aspek, termasuk peran media massa dalam meliput peristiwa, dampak sosial dan ekonomi, serta respons hukum terhadap demonstran. Tetapi, kita tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa demonstrasi seringkali berpotensi untuk menimbulkan kekerasan. Aksi unjuk rasa ini juga cenderung menciptakan suasana yang kurang kondusif. Hal ini seringkali disebabkan oleh reaksi yang kurang proaktif dan sikap apatis dari pemerintah terhadap aspirasi para demonstran. Pemerintah seringkali menunjukkan ketidakpedulian terhadap tuntutan mereka, sehingga akibatnya para demonstran mungkin merasa perlu menggunakan tindakan represif sebagai satu-satunya cara agar aspirasi mereka lebih didengar (Ahmad Zidan et al., 2023).
Berbicara Dalam konteks lebih luas perjuangan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia, terdapat berbagai faktor kompleks yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM yaitu:
1. Ketimpangan Struktural dalam Sistem Politik
Sistem politik yang cenderung oligarkis menciptakan konsentrasi kekuasaan pada segelintir elit. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat luas, terutama kelompok marginal. Praktik money politics dan politik dinasti semakin memperparah situasi ini dengan menciptakan lingkaran kekuasaan yang eksklusif dan sulit ditembus.
2. Kesenjangan Ekonomi
Disparitas ekonomi yang tajam menciptakan keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak. Kondisi ini memicu berbagai bentuk pelanggaran HAM, mulai dari eksploitasi pekerja hingga diskriminasi dalam pelayanan publik.
3. Budaya Patriarki dan Diskriminasi
Nilai-nilai patriarki yang masih kuat dalam masyarakat menyebabkan diskriminasi sistemik terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Praktik-praktik diskriminatif ini seringkali dilegitimasikan melalui interpretasi agama dan budaya yang bias.
4. Lemahnya Penegakan Hukum
Sistem peradilan yang tidak independen dan rawan intervensi menyebabkan banyak kasus pelanggaran HAM tidak terselesaikan dengan adil. Aparat penegak hukum seringkali tidak memiliki perspektif HAM yang memadai, sehingga justru berpotensi melanggengkan pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum.
5. Minimnya Literasi HAM
Rendahnya pemahaman masyarakat tentang HAM menyebabkan banyak pelanggaran tidak teridentifikasi dan dilaporkan. Situasi ini diperparah oleh narasi yang menganggap HAM sebagai nilai asing yang bertentangan dengan budaya lokal.
Dengan mengetahui beberapa pemicu terhadap pelanggaran HAM, perlu adanya solusi-solusi pencegahannya, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlunya lebih memberikan Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perubahan paradigma dari penguasa yang menguasai dan ingin dilayani menjadi penguasa yang menjadi pelayan masyarakat dengan cara mengadakan perubahan bidang struktural, dan kultural dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan public untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Perlakuan yang sama terhadap kaum perempuan untuk menikmati dan mendapatkan hak yang sama di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan bidang lainnya, mematuhi Konvensi Perempuan sebagaimana yang telah diratifikasi dalam Undang undang No.7 Tahun 1984. Supremasi hukum harus ditegakkan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat pencari keadilan, memberikan perlindungan kepada semua orang menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum. Perlunya social control dan lembaga politik terhadap dalam upaya penegakan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah. (Nazril et al., 2024)
Implementasi solusi-solusi tersebut membutuhkan konsistensi dan kesungguhan dari seluruh elemen. Para kader PMII diharuskan bisa melihat dan terus menyuarakan keadilan. Diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan konteks lokal dan dinamika sosial-politik yang berkembang. Melalui gerilya kemanusiaan yang terencana dan sistematis, PMII dapat memberikan kontribusi signifikan dalam upaya penegakan HAM di Indonesia, khususnya dilingkup masing-masing.
Lebih jauh diharapkan mahasiswa harus mempunyai sikap yang terdapat dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatannya, serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Batubara et al., 2023).
Yang terpenting, seluruh solusi yang telah disebut harus dijalankan dengan prinsip partisipatoris dan inklusif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk korban pelanggaran HAM. Dengan demikian, perjuangan HAM tidak hanya menjadi agenda organisasi, tetapi gerakan bersama untuk menciptakan Indonesia yang lebih berkeadilan dan menghormati martabat manusia.
Oleh : Sinta Nuriyah (Rayon Tarbiyah)
Daftar Pustaka:
Ahmad Zidan, Thifli Ahmad, & Yusril Huda. (2023). Demonstrasi Mahasiswa PMII terkait Kebijakan Pemerintah di Kabupaten Lumajang: Partisipasi Mahasiswa dalam Menyuarakan dan Menyalurkan Aspirasi Masyarakat. Khatulistiwa: Jurnal Pendidikan Dan Sosial Humaniora, 3(4), 211–216. https://doi.org/10.55606/khatulistiwa.v3i4.2433
Batubara, M. H., Nisa, L., Putri, W., Lbs, M., & Nurmalina, N. (2023). Sosialisasi Penerapan Dan Pemahaman Ham Di Ruang Lingkup Mahasiswa. JPMA - Jurnal Pengabdian Masyarakat As-Salam, 3(1), 8–13. https://doi.org/10.37249/jpma.v3i1.562
Nazril, M. M., Juliandi, D., Hikmah, L. J., Nazmah, F., & Putera, M. L. S. (2024). Implementasi Hukum HAM di Indonesia : Tantangan dan Solusi. 1(4)
Posting Komentar