BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Emansipasi dalam Cengkraman Kapitalisme: Perempuan, Pasar, dan Eksploitasi Baru

Penalaut.com
- Emansipasi perempuan sering kali dirayakan sebagai kemenangan atas patriarki, sebuah tonggak peradaban yang membebaskan perempuan dari dapur dan ruang domestik menuju ruang publik yang lebih egaliter. Namun, di balik selebrasi tersebut, ada ironi yang mencolok: perempuan bukan hanya sekadar terbebas dari satu bentuk penindasan, tetapi justru masuk ke dalam bentuk penindasan lain yang lebih halus—yakni kapitalisme. Dengan kata lain, perempuan yang dulunya dikurung di rumah oleh sistem patriarki kini justru dijadikan objek eksploitasi oleh pasar global.

Dalam esai ini, kita akan membedah bagaimana kapitalisme telah mengonstruksi ulang makna emansipasi, bagaimana tubuh perempuan dikomodifikasi dalam sistem ekonomi neoliberal, serta bagaimana pemikiran tokoh-tokoh seperti Karl Marx, Nancy Fraser, dan Silvia Federici dapat membantu kita memahami fenomena ini secara lebih kritis.

Emansipasi atau Ekspansi Pasar?

Dalam logika kapitalisme, segala sesuatu yang bisa dijual akan dijual. Tidak ada yang sakral, termasuk gagasan tentang kebebasan dan kesetaraan. Emansipasi perempuan yang pada awalnya merupakan perjuangan melawan penindasan, kini direduksi menjadi peluang pasar. Pasar tidak peduli dengan keadilan sosial—ia hanya melihat angka. Oleh karena itu, semakin banyak perempuan masuk ke dunia kerja bukan karena kapitalisme ingin menciptakan kesetaraan, tetapi karena ia menemukan tenaga kerja murah yang baru.

Nancy Fraser dalam Fortunes of Feminism (2013) menyoroti bahwa feminisme gelombang kedua yang awalnya berjuang untuk kebebasan perempuan justru dimanfaatkan oleh kapitalisme neoliberal. Dalam praktiknya, kapitalisme tidak membebaskan perempuan dari kerja domestik, tetapi hanya menambah beban dengan mendorong mereka untuk bekerja di luar rumah tanpa menghapus ekspektasi domestik yang sudah melekat. Hasilnya? Double burden. Perempuan harus bekerja di kantor, tetapi tetap diharapkan memasak, mengurus anak, dan menjaga rumah tetap rapi.

Lalu, apakah kapitalisme memfasilitasi perempuan agar dapat bekerja dengan lebih leluasa? Tidak juga. Yang terjadi justru adalah munculnya industri baru yang mengeksploitasi kebutuhan perempuan. Dari daycare mahal, jasa asisten rumah tangga dengan upah rendah, hingga seminar tentang “manajemen waktu untuk ibu pekerja”—semuanya adalah manifestasi dari bagaimana kapitalisme menciptakan masalah dan kemudian menjual solusi.

Kecantikan, Konsumsi, dan Kapitalisme

Kapitalisme bukan hanya mengeksploitasi tenaga perempuan di ranah profesional, tetapi juga di ranah estetika. Jika dahulu perempuan diharapkan tampil cantik untuk suami mereka, kini mereka diharapkan tampil cantik untuk pasar. Dari produk skincare, diet, operasi plastik, hingga tren mode yang berubah setiap musim, tubuh perempuan menjadi lahan subur bagi industri miliaran dolar.

Jean Baudrillard dalam The Consumer Society (1970) menjelaskan bahwa dalam kapitalisme, konsumsi tidak hanya tentang kebutuhan, tetapi juga tentang penciptaan hasrat. Dengan kata lain, pasar tidak sekadar menjual produk, tetapi juga menjual ilusi: bahwa kecantikan adalah syarat kesuksesan, bahwa tubuh ideal adalah simbol kebahagiaan, dan bahwa emansipasi adalah tentang kebebasan memilih produk, bukan kebebasan dari eksploitasi.

Di sisi lain, feminisme arus utama kadang justru ikut terjebak dalam jebakan kapitalisme ini. Kampanye seperti "empowerment through beauty" atau "self-love by buying luxury products" menciptakan narasi palsu bahwa pembebasan perempuan dapat dicapai melalui konsumsi. Hal ini menjadi bentuk baru dari false consciousness ala Marx—di mana perempuan mengira bahwa membeli produk-produk kapitalis adalah bagian dari perjuangan feminisme, padahal mereka hanya sedang memperkaya para pemilik modal.

Tenaga Kerja Perempuan: Murah dan Mudah Dieksploitasi

Selain dalam ranah estetika, perempuan juga menjadi target eksploitasi dalam dunia kerja. Karl Marx dalam Das Kapital (1867) telah lama mengkritik bagaimana kapitalisme selalu mencari tenaga kerja yang lebih murah untuk menekan biaya produksi. Perempuan, terutama di negara-negara berkembang, seringkali menjadi pilihan utama karena beberapa alasan:
  • Upah Rendah – Data dari International Labour Organization (2022) menunjukkan bahwa perempuan di seluruh dunia rata-rata dibayar 20% lebih rendah dibanding laki-laki untuk pekerjaan yang sama.
  • Fleksibilitas Tinggi – Banyak perusahaan lebih suka mempekerjakan perempuan karena mereka dianggap lebih patuh dan kurang menuntut dibanding laki-laki.
  • Minim Perlindungan – Sektor informal yang banyak diisi perempuan (seperti pekerja rumah tangga dan buruh garmen) cenderung memiliki perlindungan hukum yang lemah.
Silvia Federici dalam Caliban and the Witch (2004) menjelaskan bahwa kapitalisme modern sebenarnya tidak bisa berjalan tanpa eksploitasi kerja perempuan. Ia menyoroti bagaimana kerja domestik perempuan—yang secara ekonomi tidak dihitung sebagai kerja—sebenarnya menjadi fondasi utama bagi produksi kapitalis. Dengan kata lain, perempuan bukan hanya bekerja di luar rumah, tetapi juga menjalankan kerja domestik tanpa upah yang menopang tenaga kerja laki-laki.

Mampukah Kita Lepas dari Jeratan Kapitalisme?

Emansipasi perempuan dalam kapitalisme ternyata bukanlah kebebasan yang sejati, tetapi hanya bentuk eksploitasi yang lebih canggih. Dari dunia kerja hingga industri kecantikan, perempuan tetap menjadi objek yang diuntungkan oleh pasar, bukan oleh mereka sendiri.

Maka, apa yang bisa dilakukan? Tentu kita tidak bisa serta-merta menolak kapitalisme dan kembali ke era sebelum modernisasi. Namun, kita perlu melihat emansipasi perempuan dengan kacamata yang lebih kritis:
  • Mendekonstruksi Narasi Palsu – Emansipasi bukan sekadar tentang perempuan bekerja atau bebas membeli produk tertentu, tetapi tentang menghapus ketidakadilan struktural.
  • Mendorong Kebijakan Berbasis Kesejahteraan – Upah layak, cuti hamil yang lebih panjang, serta redistribusi beban kerja domestik adalah langkah konkret yang perlu diperjuangkan.
  • Melampaui Feminisme Pasar – Feminisme tidak boleh menjadi alat kapitalisme. Kita perlu gerakan yang lebih kolektif dan tidak hanya fokus pada individu, tetapi juga pada perubahan sistemik.
Pada akhirnya, jika perempuan hanya berpindah dari satu bentuk eksploitasi ke bentuk eksploitasi lain, apakah itu bisa disebut kebebasan? Atau kita hanya sedang menyaksikan kapitalisme menyamar sebagai feminisme?

Penulis : Diyanatil Azkiya
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak