BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Tanah Yang Hilang

Papua
Pena Laut -
Di balik kabut pagi yang lembut, di tengah hutan yang pernah menjadi nadi kehidupan bagi orang-orang Papua, bunyi mesin-mesin raksasa menggelegar memecah sunyi. Pohon-pohon tinggi yang selama berabad-abad melindungi tanah mereka, satu demi satu tumbang. Burung-burung beterbangan ketakutan, dan suara alam yang pernah menenangkan berubah menjadi gemuruh yang asing.

Johan, seorang pria tua dari suku Kamoro, berdiri di tepi desa, matanya memandang dengan nanar ke arah hutan yang hancur. Di masa mudanya, hutan itu adalah rumahnya. Ia mengenal setiap pohon, setiap aliran sungai kecil, dan setiap hewan yang pernah hidup di sana. Hutan itu bukan hanya tempat mencari makan, melainkan juga roh dari nenek moyang mereka, tempat yang suci. Namun, kini tanah seluas jutaan hektar telah berubah menjadi gurun kering dan pabrik-pabrik besar yang tak bersahabat dengan kehidupan mereka.

“Untuk apa semua ini?” gumam Johan dalam bahasa ibunya, bertanya pada angin yang membawa debu dari tanah yang kering.

Anaknya, Karel, datang menghampiri. Wajahnya penuh duka, namun ada juga amarah yang terpendam. “Mereka bilang, ini untuk pembangunan. Untuk kemajuan. Tapi lihat, ayah… apa yang kita dapat? Mereka hanya mengambil. Kita kehilangan segalanya.”

Pembangunan tambang emas dan kelapa sawit telah merampas dua juta hektar tanah Papua. Para pemilik modal dari kota-kota jauh telah datang dengan janji-janji kosong tentang kesejahteraan. Mereka membawa alat berat, membangun jalan-jalan besar, dan merobohkan hutan yang menjadi kehidupan orang-orang seperti Johan. Tapi, tak ada hasil yang kembali ke tangan rakyat. Hanya sedikit yang dipekerjakan, dan itu pun dengan upah yang tak sebanding dengan pengorbanan yang mereka hadapi.

Kampung-kampung kecil di sekitar tambang berubah menjadi lahan yang tidak subur. Sungai-sungai yang dulu jernih kini tercemar limbah, tak lagi layak untuk diminum atau digunakan untuk menangkap ikan. Para pemuda yang dulu belajar dari alam, kini kehilangan arah. Mereka hanya bisa melihat kekayaan tanah mereka diangkut ke luar, meninggalkan jejak kemiskinan dan penderitaan.

"Apakah kita salah?" tanya Karel dengan suara bergetar. "Apakah kita salah karena membiarkan mereka datang?"

Johan menggeleng pelan. "Tidak, Nak. Mereka datang dengan janji manis, tapi itu hanya kebohongan. Mereka tidak pernah peduli pada kita, pada tanah ini. Yang mereka pedulikan hanya keuntungan mereka."

Malam itu, di sekitar api unggun, Johan bercerita kepada cucu-cucunya. Ia menceritakan bagaimana hutan dulu menjadi sumber kehidupan, bagaimana nenek moyang mereka berdoa di bawah pohon-pohon besar, meminta perlindungan dari alam. Namun, cerita itu kini terdengar seperti legenda yang jauh, tidak lagi menjadi bagian dari kenyataan mereka.

“Apakah hutan kita akan kembali, kakek?” tanya salah satu cucunya dengan polos.

Johan hanya tersenyum pahit, menatap api yang berkedip-kedip. “Aku tak tahu, Nak. Tapi selama kita masih ingat, selama kita masih menghormati tanah ini, mungkin suatu hari hutan akan bangkit kembali. Tapi, bukan dengan tangan-tangan mereka yang hanya ingin mengambil.”

Pagi berikutnya, Johan dan Karel pergi ke hutan yang tersisa. Di sana, di tengah pohon yang masih bertahan, Johan menanam sebatang bibit pohon kecil. Bagi kebanyakan orang, bibit itu tampak tidak berarti di tengah kerusakan yang begitu luas. Namun bagi Johan, itu adalah simbol harapan.

“Kita mungkin tidak bisa mengembalikan semuanya, Nak,” kata Johan. “Tapi kita bisa mulai dari yang kecil. Dari sini, dari bibit ini.”

Karel mengangguk, merasakan kekuatan dari gerakan kecil itu. Di tengah dunia yang berubah, di tengah tanah yang hilang untuk kepentingan segelintir orang, mereka akan tetap menjaga apa yang tersisa. Meskipun tanah mereka telah dirampas, hati mereka tidak akan ikut hancur. Mereka akan bertahan, dan suatu hari, mungkin tanah ini akan kembali hijau, bukan untuk keuntungan pemilik modal, tapi untuk rakyat Papua, seperti dulu kala.

Tamat
Sayang Papuaku

Oleh: Marlon Mbusa
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak