Pena Laut - Cara orang menikmati karya seni memang berbeda-beda. Terkhusus dalam menikmati musik, beberapa kawan saya menikmatinya dengan cara jingkat-jingkat, manggut-manggut, atau bahkan yang lebih parah—ini sering juga saya lakukan—adalah mengikuti sang vokalis menyanyikan lirik lagunya, yang tidak jarang sampai mengganggu ketenteraman telinga tetangga sebelah akibat suara cempreng saya. Apalagi ketika hati sedang gundah gulana, wah, bisa-bisa sampai mabuk kepayang saya dibuatnya.
Terlepas dari genre musik apa yang menjadi favorit saya dan para pembaca sekalian, cara yang paling saya suka adalah mencermati lirik lagunya. Ini kelewat seru daripada mencermati pasal-pasal dalam draft sidang-sidang di organisasi, apalagi rapat paripurna anggota dewan. Yang jelas ini ndak bikin kita ngantuk dan bosan. Sebab melalui bait-bait lirik, penulis lagu menyampaikan sebuah wacana dalam kemasan sastra dan tentunya alunan musik. Cara ini tidak jauh beda dengan caramu ketika nembak pacar, atau dengan orasi-orasi Pak Soekarno para aktivis yang mengikuti gaya beliau, hanya saja dalam bungkus yang berbeda. Yang jelas, yang dihadirkan tetap sama; argumentasi dan pernyataan dengan maksud dan tujuan tertentu.
Salah satu contohnya adalah musik protes, bentuk gerakan yang mewarnai perjalanan politik Amerika di awal abad ke-20, wacana melalui musik yang berasal dari para anggota IWW (Internasional Workers of the World) sebagai strategi perlawanan kepada kekuasaan kapitalisme Amerika (Alexander & Sugiono, 2021). Joe Hill salah satu aktivis IWW mengubah lagu-lagu tradisional Eropa menjadi lagu bernada protes terhadap kekuasaan. Mereka menganggap bahwa melalui musik lebih efektif daripada propaganda melalui poster.
Pun yang terjadi di Indonesia, sejak masa pra-kemerdekaan musik-musik perlawanan turut berkembang dan populer karena adanya perlawanan atas dominasi politik oleh kaum subordinat atau minoritas. Musik-musik ini serupa Tan Malaka dibalik kepopuleran Presiden Soekarno, tetap eksis di tengah dominasi wacana populer, sebab sekalipun TVRI yang menjadi satu-satunya stasiun televisi Indonesia di masa Orde Baru menolak untuk menampilkan musik protes dalam siaran mereka, tapi kalau ditanya berapa orang yang hafal lagu mereka, pasti masih berkeliaran, bahkan beberapa di antara mereka masih eksis sampai sekarang. Sebut saja Iwan Fals, atau Karya Wiji Thukul dalam musikalisasi puisinya, dan satu yang unik namun jarang ditonjolkan ialah Nasida Ria sebagai perwakilan musik protes kaum perempuan di masa Orde Baru.
Nasida Ria lahir di tengah kekuasaan Orde Baru yang sedang gencar-gencarnya menata peradaban (baca: hegemoni) kultural berbasis agama, pasca tragedi pengebirian komunisme di Indonesia (G-30 S PKI). Ada upaya pemerintahan Presiden Soeharto untuk mengembalikan manusia Indonesia pada jalan yang ‘lurus’, jalan yang dirahmati, alih-alih menjadi manusia yang ‘manut’ dan mudah diatur, ketika sebelumnya agama dan nama Tuhan telah menjadi banalitas—meminjam istilah Lekra—lakon-lakon ludruk, yakni obyek politik para politisi (Setiawan, 2022).
Nasida Ria dikenal sebagai grup musik Kasidah, yang dari genrenya saja kita sudah tahu bahwa apa wacana yang akan mereka bawa selanjutnya tidak akan jauh dari religiusitas Islam, dan memang itu yang terjadi. Namun dalam beberapa judul lagu, mereka justru mampu membungkus potret kondisi sosial politik bernada kritik, serta membawa keresahan atas isu-isu agraria di Indonesia. Kita ambil contoh dua judul lagu , yakni Tahun Dua Ribu dan Nasib Desaku yang mengangkat isu agraria akibat paradigma pembangunanisme oleh elit politik Orde Baru, Nasida Ria berhasil dalam menyuarakan protes melalui musik Kasidah.
Dalam lirik lagu Tahun Dua Ribu, mereka mengatakan “sawah ditanami gedung dan gudang. Langit suram, udara panas, akibat pencemaran”. Lirik ini mewakili isu ekologi di berbagai daerah di Indonesia, khususnya pedesaan, di mana berbagai investor asing masuk sebagai wujud kebijakan pemerintah menarik minat para investor untuk melancarkan kegiatan ekonominya dengan membangun alat-alat produksi guna meningkatkan perekonomian negara pasca Orde Lama yang tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Hadirnya Nasida Ria dalam panggung seni musik menjadi katalisator dari munculnya gerakan-gerakan dalam lingkup lokal oleh perempuan-perempuan akar rumput di kampung dan sudut-sudut pedesaan yang kita kenal sebagai Samrohan. Ada kepuasan batin tersendiri, bahwa lagu-lagu Nasida Ria mampu menstimulir ibu-ibu untuk turut menyuarakan isu ekologi dan sosial politik, yang mungkin hal ini akan sangat sulit dilakukan apabila menggunakan cara-cara kaku semacam sosialisasi ataupun diskusi-diskusi ilmiah.
Selain itu, Grup Musik Kasidah ini secara tidak langsung mendobrak atas tatanan hierarki posisi perempuan Indonesia dalam bingkai religius dan kultural. Dalam bingkai religius, Nasida Ria muncul sebagai sesuatu yang ‘tidak biasa’ di kalangan muslimah tahun 70-an. Tampil sebagai sosok perempuan beriman melalui kostum yang mereka kenakan, menciptakan kesan bahwa mereka adalah perempuan ‘sopan’, serta bersenandung tentang lagu Islami. Namun pada saat yang sama, Nasida Ria menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seharusnya eksistensi perempuan sebagai penghuni di balik tirai, dapur, dan ruangan bersalin, justru merebut kekuasaan panggung musik atas dominasi kaum laki-laki, membawa wacana musik protes berisi dokumentasi atas fenomena sosial politik nasional maupun internasional, dengan mengambil nafas islami dalam karya-karyanya. Bisa kita sebut Nasida Ria sebagai “melawan dalam kepatuhan”.
Dari fenomena munculnya Nasida Ria ke panggung publik, saya ingin memotret grup kasidah ini—alih-alih sok meneliti—setidaknya dalam tiga poin; pertama, Nasida Ria dalam wacana kritik melalui senandung lagu-lagu mereka yang merdu. Ketika kita melihat sedikit rekam jejak sejarah, bahwa perlawanan atas dominasi kekuasaan sudah bukan hal asing lagi di telinga, yang terbungkus dalam gerakan-gerakan sosial yang ada. Gerakan sosial dapat dimaknai sebagai produk perubahan sosial sekaligus menghasilkan transformasi sosial berikutnya (Tamimi, 2017). Musik protes sebagai inovasi gerakan sosial merupakan media untuk menggerakkan hasrat, sekaligus mengembangkan angan-angan imajinatif para penikmatnya. Musik sebagai instrumen gerakan sosial telah muncul sejak menjelang abad ke-20—setidaknya yang menjadi catatan dalam sejarah (Alexander & Sugiono, 2021). Nasida Ria pada akhirnya mampu membungkus kritik melalui musik Kasidah yang bernafas religi.
Kedua, Feminisme dan ekologi memiliki hubungan erat dari mitos-mitos, yang pada akhirnya terejawantahkan dalam gerakan perempuan untuk meruntuhkan pandangan dunia atas patriarkisme dan dominasi manusia atas alam (Maulana, 2017). Sedangkan dalam beberapa lirik lagu yang dibawakan oleh Nasida Ria, mengandung wacana keprihatinan mereka terhadap kondisi ekologi yang marak terjadi dalam rentan waktu pemerintahan Orde Baru dan menyentuh sedikit masa reformasi, yang mana grup kasidah ini beranggotakan oleh sembilan perempuan lulusan pesantren di Semarang. Sebab itu dapat kita asumsikan bahwa Nasida Ria merupakan grup musik yang peduli terhadap wacana-wacana ekofeminisme, selain seperti yang sudah kita bahas di awal, Nasida Ria secara tidak langsung menjadi katalisator terbentuknya grup-grup Samroh ibu-ibu di pedesaan yang turut menyuarakan kepedulian ekologis melalui senandung musik.
Ketiga, keberhasilan Nasida Ria menjadi sosok emansipatoris kaum perempuan atas penjara budaya dan moral yang memposisikan nilai kaum perempuan berada di kelas dua setelah kaum laki-laki, menggunakan bingkai religius dalam kostum yang dikenakan dan genre musik yang mereka bawa. Selain dalam potret fisik mereka yang “melawan dalam kepatuhan” itu, kritik yang dihadirkan dalam lirik-liriknya, pun, membawa pesan-pesan islami. Artinya, mereka membawa wacana Islam dalam sudut pandang pembebasan atas ketimpangan sosial yang terjadi. Terlepas dari ideologi macam apa yang mereka anut secara individual-personal. Namun secara kelompok, Nasida Ria membangun wacana-wacana kiri dalam bungkus islami melalui lirik-lirik lagu mereka.
Oleh: Hafid Aqil
Bahan Kajian:
Alexander, A., & Sugiono, S. (2021). Musik Protes di Indonesia Pada Era Reformasi: Sebuah Kajian Historis. Jurnal Kajian Seni, 8(1), 67. https://doi.org/10.22146/jksks.66305
Maulana, R. (2017). Perlawanan Atas Kuasa Patriarki dan Pembangunan Dunia ( Wangari Maathai dan Green Belt Movement 1990-2004). Factum, 8 No.2, 261–276.
Setiawan, A. (2022). Nasida Ria, Musik Islami, dan Kesetaraan Gender. Braz Dent J., 33(1), 1–12.
Tamimi, R. U. (2017). MUSIK SEBAGAI MEDIA GERAKAN SOSIAL BARU (Studi Kualitatif Deskriptif dengan Menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik tentang Grup Musik Merah Bercerita). 11(1), 92–105.
Nasida Ria: Musik Protes, Ekofeminisme, dan Islam Pembebasan

Pena Laut
... menit baca
Dengarkan
Posting Komentar