BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Menghentikan Dehumanisasi: Pentingnya Pendidikan Moral dan Kecerdasan Emosional

Pena Laut -
Dehumanisasi adalah krisis yang perlahan memudarkan rasa empati dan solidaritas, membiarkan ketidakadilan terus terjadi.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dehumanisasi berarti proses atau tindakan yang membuat seseorang atau kelompok diperlakukan tidak sebagai manusia, atau kehilangan nilai kemanusiaannya. Dalam dehumanisasi merujuk pada sikap atau perlakuan yang mengurangi martabat dan hak-hak dasar seseorang, sehingga mereka dianggap tidak layak diperlakukan secara manusiawi.

Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid, dikenal sebagai seorang pemikir dan tokoh yang sangat peduli dengan isu-isu kemanusiaan, hak asasi manusia, dan pluralisme. Dalam pandangannya, dehumanisasi adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap interaksi sosial. (Abdurrahman Wahid. 2002. Islam, Negara, dan Kebhinekaan. Bandung: Mizan)

Baru-baru ini, kita menyaksikan sebuah adegan yang sangat memprihatinkan, dimana seorang penjual es teh mendapatkan perlakuan yang tidak hormat dari seorang penceramah yang juga menjabat sebagai pejabat pemerintah, secara bersamaan orang-orang sekitar justru ikut menertawakan bahkan perilaku tersebut dianggap sebagai bahan lelucon.

Perlakuan tersebut jelas mencerminkan sikap dehumanisasi yang merendahkan martabat seorang individu yang mungkin dianggap sebagai orang yang tidak memiliki posisi penting karna status sosialnya. Kita seharusnya bisa belajar dari kejadian tersebut sebagai cermin bagi kita semua untuk lebih menghargai dan menghormati setiap orang, tanpa memandang jabatan atau pekerjaan mereka.

Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan dehumanisasi, seperti bystander effect, konformitas sosial, teori identitas sosial, takut akan konsekuensi, kurangnya empati, dan norma kekuasaan. Mari kita bahas satu persatu. 

1. Bystander Effect dan Dehumanisasi
Bystander effect terjadi ketika seseorang tidak memberikan bantuan saat melihat orang lain dalam kesulitan, hanya karena ada banyak orang lain yang juga melihat. Dalam situasi seperti ini, korban bisa merasa diabaikan dan dianggap tidak penting. Jika orang lain tidak peduli, ini bisa memperburuk dehumanisasi, di mana seseorang merasa seolah-olah mereka tidak dihargai atau bahkan tidak dianggap sebagai manusia.

2. Konformitas Sosial dan Dehumanisasi
Konformitas sosial adalah kecenderungan seseorang untuk mengikuti apa yang dilakukan orang lain di sekitarnya, meskipun itu mungkin tidak benar. Dalam hal dehumanisasi, seseorang bisa ikut terlibat dalam tindakan yang merugikan orang lain hanya karena ingin diterima dalam kelompok tersebut. Seperti ikut serta menertawakan penjual es teh yang mendapat perkataan tidak semestinya, mereka tau bahwasanya hal tersebut tidak benar. namun ikut menertawakan, ikut berperilaku sama hanya untuk mengikuti perilaku sekitar.

3. Teori Identitas Sosial dan Dehumanisasi
Teori identitas sosial menjelaskan bagaimana kita cenderung merasa lebih dekat dengan kelompok yang kita anggap sama, misalnya berdasarkan ras, agama, atau ideologi. Ketika kelompok kita berkonflik dengan kelompok lain, kita sering kali melihat mereka sebagai "musuh" atau "lawan" yang kurang manusiawi. Pandangan ini bisa membuat kita lebih mudah memperlakukan mereka dengan tidak adil atau merendahkan mereka.

4. Takut Konsekuensi dan Dehumanisasi
Takut akan konsekuensi sering kali membuat seseorang tidak berani melawan ketidakadilan. Misalnya, seseorang mungkin memilih untuk tidak bertindak atau mengabaikan penderitaan orang lain karena takut akan hukuman atau akibat sosial lainnya. Ini membuat mereka ikut berperan dalam dehumanisasi karena tidak berani membantu orang yang membutuhkan.

5. Kurangnya Empati dan Dehumanisasi
Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Ketika seseorang kurang memiliki empati, mereka cenderung tidak peduli dengan apa yang dirasakan orang lain. Ini bisa membuat mereka lebih mudah terlibat dalam tindakan dehumanisasi, karena mereka tidak merasa terhubung dengan orang yang sedang mereka perlakukan dengan tidak adil.

6. Norma Kekuasaan dan Dehumanisasi
Norma kekuasaan terjadi ketika seseorang atau kelompok yang memiliki posisi lebih tinggi menggunakan kekuasaan mereka untuk merendahkan atau menindas kelompok lain. Dalam situasi ini, kelompok yang lebih lemah sering dipandang sebagai kurang penting atau bahkan tidak manusiawi. Ini memperburuk dehumanisasi karena kelompok yang memiliki kekuasaan sering kali menganggap diri mereka lebih berhak atau lebih manusiawi daripada yang lain.

Untuk menghindari hal-hal tersebut, pendidikan berbasis moral dan kecerdasan emosional sangatlah penting sebagai solusi mengatasi dehumanisasi, pendidikan yang menekankan moral dan kecerdasan emosional sangat penting. Pendidikan moral mengajarkan kita tentang pentingnya keadilan, kesetaraan, dan menghargai hak-hak orang lain.

Sebagimana Gus Dur mengajak kita untuk melihat sesama manusia dengan perspektif yang lebih luas dan lebih inklusif, serta berusaha untuk menghindari segala bentuk perlakuan yang merendahkan martabat orang lain. Saling menghargai dan memperlakukan sesama dengan adil, dapat menghindari dehumanisasi dan membangun masyarakat yang lebih harmonis.

Sementara itu, kecerdasan emosional membantu kita untuk memahami dan mengelola perasaan kita sendiri serta orang lain. Dengan memiliki empati yang lebih tinggi kita bisa lebih peduli terhadap apa yang mereka alami.

Dalam bukunya "Islam, Negara, dan Kebhinekaan", Gus Dur juga menekankan pentingnya pendidikan moral dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab. "Pendidikan moral adalah dasar utama dalam membangun sebuah bangsa yang adil, di mana setiap individu dihargai martabatnya, tanpa memandang latar belakang sosial atau agama." (Abdurrahman Wahid. 2002. Islam, Negara, dan Kebhinekaan. Mizan. Bandung.)

Oleh karena itu, penting untuk mengedepankan pendidikan berbasis moral dan kecerdasan emosional, sebagai upaya terciptanya masyarakat yang lebih adil dan menghargai martabat setiap individu. Dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan empati melalui pendidikan, kita dapat mengurangi dehumanisasi dan membangun hubungan yang lebih baik antar sesama.


Oleh: Husna Mahmudah (Aktivis Perempuan) 
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak