Pena Laut - Panas yang setahun menghancurkan kepalamu. Kepalamu seperti pecahan beling yang menancapi tiap jiwa. Jiwa ngambang di atas ilalang. Ilalang kering yang tak sekalipun tersentuh embun. Embun selalu dicolong udara. Udara liar yang ditiupkan padang pasir gersang. Gersang semakna hatinya yang kecewa melihat penggusuran liar – tak kenal ampun – tak kenal anak anak pincang – tak kenal bapak-bapak dan ibu-ibu yang jompo – tak kenal tempat ibadah dan pemakaman. Pemakamanmu yang diidamkan kurcaca-kurcaca[1].
Kurcaca-kurcaca yang tak punya lagi nurani. Nurani mereka terbakar oleh kebusukan ambisi menguasai pemukiman. Pemukiman yang seperti kandang tikus. Tikus-tikus kantoran tak seindah legenda negeri peri. Peri gaib yang mengharapkan kehadiranmu, yang melakukan perlawanan habis-habisan atas tanah luas itu. Tanah luas itu tak terawat siapapun. Siapapun dia boleh membangun rumah di sana. Di sana para gelandangan membangun rumah seperti rentetan bekicot[2], atau seperti rombongan lebah yang berbaris. Berbaris persis kubis busuk yang ditimbun dalam tong sampah raksasa.
Raksasa-raksasa bartaring panjang tiba-tiba berdatangan mengobrak obrak mereka, seakan para gelandangan itu anjing-anjing buduk yang harus ditembaki. Ditembaki macam berburu di rimba belantara. Belantara mana yang menghalalkan merampas hak hidup tiap manusia, “Manusia punya hak mempertahankan hidupnya!”, teriakmu lantang. Lantang suaramu sampai membuat para raksasa-raksasa itu menghentikan aksinya. Aksinya yang brutal tak kenal kadal, “Kadal buntung!“, bentak raksasa itu.
“Tidak ada yang lebih kadal dari pikiran kalian, bila kalian membantai manusia-manusia itu seperti membantai barisan semut“, teriakmu dengan suara yang hampir serak, serak yang bercampur onak.
“Kami membela diri dari amok massa“, bujuk raksasa-raksasa itu.
“Kalian buldozer[3]“, kamu menangis memelukku - memelas. Memelas dengan amat pedas. Pedas bagi raksasa-raksasa yang tidak lagi punya belas. Belas kasihan pada para gelandangan itulah yang membangkitkan semangatmu untuk terus ngotot memperjuangkan nasib kami, “Nasib kami bergantung padamu“, bisik Marwan, saudaraku yang satu kakinya putus. “Hidup Krewul...HidupKrewull“, dan serentak disambut yel yel, “Hidup Krewull“, bergaung suara sahut menyahut, kamu hanya tersenyum malu. Malu juga karena didaulat untuk memberikan orasi oleh ketua rombongan. Ketua rombongan yang kurus kerempeng kayak Gepeng[4].
“Tidak ada yang lebih kadal dari pikiran kalian, bila kalian membantai manusia-manusia itu seperti membantai barisan semut“, teriakmu dengan suara yang hampir serak, serak yang bercampur onak.
“Kami membela diri dari amok massa“, bujuk raksasa-raksasa itu.
“Kalian buldozer[3]“, kamu menangis memelukku - memelas. Memelas dengan amat pedas. Pedas bagi raksasa-raksasa yang tidak lagi punya belas. Belas kasihan pada para gelandangan itulah yang membangkitkan semangatmu untuk terus ngotot memperjuangkan nasib kami, “Nasib kami bergantung padamu“, bisik Marwan, saudaraku yang satu kakinya putus. “Hidup Krewul...HidupKrewull“, dan serentak disambut yel yel, “Hidup Krewull“, bergaung suara sahut menyahut, kamu hanya tersenyum malu. Malu juga karena didaulat untuk memberikan orasi oleh ketua rombongan. Ketua rombongan yang kurus kerempeng kayak Gepeng[4].
Gepeng[5] rasanya menanggung beban hidup yang berat. Berat kamu menghadapi kurcaca-kurcaca. Kurcaca-kurcaca yang akan menggunakan berbagai cara untuk menaklukanmu, kamu pasti bakal tergiur bila ditawarkan berbagai hal; misalnya jabatan strategis, mobil mewah, rumah, atau uang atau juga direkomendasikan jadi ketua partai. Partai gelandangan yang didanai untuk pura-pura memperjuangkan nasib gelandangan-gelandangan . Gelandangan[6]-gelandangan yang nasibnya tak pernah jadi gelandang[7], tapi malah selalu digelandang, seperti maling Ayam.
Maling Ayam yang juga jadi hobby raksasa-raksasa itu. Raksasa-raksasa itu tak terima jika kekalahannya diketahui banyak orang – terpublikasi – di-expose media. Media Koran maupun televisi. Televisi berbinar-berbinar menetapkanmu jadi tersangka, misalnya. Misalnya mereka didakwa koruptor. Koruptor kelas kakap, yang amit-amit baunya. Baunya lebih amis dan busuk dari darah ikan cumi-cumi yang dicampur darah ular. Ular hijau[8] betina yang bunting, yang tak rela dagingnya jadi santapan anak-anaknya. Anak anaknya juga harus menanggung dosa-dosa. Dosa-dosa sejarah maupun dosa-dosa politik. Politik kambing hitam kenyataan yang terjadi. Terjadi begitu saja sepertinya, padahal tak begitu saja, tentunya sudah diskenario dengan sangat matangnya. Matangnya seperti buah mangga yang tak sampai dicuri codhot[9].
Codot-codot yang berkelana menghisap darah. Darah tumpah ruah di tanah ini selaksa pesta anggur yang terbuang percuma. Percuma pula perjuanganmu bila hanya sendirian, bila hanya terus dikhianati orang-orang yang berpura-pura mendukungmu, eh ternyata malah menjadi penjilat raksasa-raksasa itu. Dan ternyata benar, mereka sengaja menyusupkan orang-orang tertentu untuk terus memata-mataimu, bila perlu mencari peluang untuk menyuapmu bahkan resiko terburuk bisa terjadi, mungkin juga membunuhmu, tapi kamu tak pernah keder, tak pernah mundur sejengkalpun, “Kamu jangan gampang menerima tamu, menampung orang orang yang tak jelas asal usulnya“.
“Mereka itu saudara kita juga“, jawabmu dengan bibir mendesis dan nafas yang terbuang boros, “Mereka kiriman raksasa raksasa itu “.
“Mereka juga manusia yang juga punya nurani“.
“Nurani mereka mati, bahkan sudah jadi Mumy “.
“Hust!!!“
“Buktinya mereka mau berkhianat“
“Bukan berkhianat?”
“Lalu?”
“Mereka berpikiran sesaat“
“Berpikiran cekak, maksudmu?”
“Mereka putus asa….”, ucapmu lemas dengan nafas yang juga boros, “Eksekusi”, ucapmu lemas.
Tanah kami yang akan terampas bersama kokok ayam jago terakhir. Dan benar, keesokan paginya rombongan raksasa-raksasa itu berdatangan. Berdatangan selaksa ribuan Gajah yang menaiki Gajah, hentakkannya bergetar di tanah. Tanah seakan gempa bumi. Bumi berdetak keras dan cepat, mungkin lima ketukan lebih cepat dari hitungan detik. Detik ini juga kami harus menyingkir dari tanah nenek moyang. Moyang kami yang membabat hutan, membuka ladang-ladang, bercocok tanam, dan memanen hasilnya dengan keringat dan jiwa.
“Mereka itu saudara kita juga“, jawabmu dengan bibir mendesis dan nafas yang terbuang boros, “Mereka kiriman raksasa raksasa itu “.
“Mereka juga manusia yang juga punya nurani“.
“Nurani mereka mati, bahkan sudah jadi Mumy “.
“Hust!!!“
“Buktinya mereka mau berkhianat“
“Bukan berkhianat?”
“Lalu?”
“Mereka berpikiran sesaat“
“Berpikiran cekak, maksudmu?”
“Mereka putus asa….”, ucapmu lemas dengan nafas yang juga boros, “Eksekusi”, ucapmu lemas.
Tanah kami yang akan terampas bersama kokok ayam jago terakhir. Dan benar, keesokan paginya rombongan raksasa-raksasa itu berdatangan. Berdatangan selaksa ribuan Gajah yang menaiki Gajah, hentakkannya bergetar di tanah. Tanah seakan gempa bumi. Bumi berdetak keras dan cepat, mungkin lima ketukan lebih cepat dari hitungan detik. Detik ini juga kami harus menyingkir dari tanah nenek moyang. Moyang kami yang membabat hutan, membuka ladang-ladang, bercocok tanam, dan memanen hasilnya dengan keringat dan jiwa.
Jiwa-jiwa lapar dan bersih bakal terjungkal. Terjungkal di tanah kelahirannya sendiri. Sendiri, seperti kematian yang menggali kuburnya. Kuburnya mungkin juga akan hanya tinggal kenangan, karena kemudian tanah ini akan digali – dikeruk – ditambang – dan sisa tulang-tulang kami tak tertinggal dalam kenangan, sebab didulang dalam tempayan penambang emas, atau tersedot mesin air – lalu masuk mesin olahan tembaga, terpilah – pilah, terbuang karena yang diambil cuma emasnya, sedang tulang-tulang kami yang hancur akan bercampur limbah dan dibuang kelautan, untuk jadi pengkilap terumbuh karang, “Apa Kami ini kalian anggap bangkai?”, tanyamu marah yang tertahan sesak di dada.
“Bangkai busuk yang harus dibuang”, raksasa-raksasa itu menjawab dengan provokatif – mereka mendengus – mendengus seakan kerbau kampung yang jadi beringas karena telinganya dimasuki Gangsir.[10] Gangsir jantan yang menggigit telinganya sampai berdarah, sampai mengamuk semaunya – bagai Banteng liar– mengamuk sengawur-ngawurnya – menghancurkan gubuk-gubuk kami dengan begitu mudahnya, seperti meniup kapas ke angkasa. Angkasa raya berdebu-debu, debu bergulung-gulung bersama angin ribut menggulungmu, lenyap dari pandangan mata, serasa seperti sulap, serasa seperti raksasa-raksasa itu menelanmu, lengkaplah kehancuran kami.
Habislah kami sepagi itu, langit merah kecoklatan, api bercampur debu–menangkup-mengudungi perkampungan kami. Orang orang hanya terduduk pasrah – anak-anak menangis dalam dekapan ibunya. Tak ada yang memunguti barang-barang berharga yang masih tertinggal. Mungkin memang tak pernah ada barang yang berharga kecuali hanya kenangan. Ya kenangan semacam ikan lumba-lumba, yang kami gantungkan hanya kepadamu, lumba-lumba gaib yang membantu menyelamatkan kami dari lautan bencana ini.
*****
Mungkin juga kamu semisal Ibu kamu, tempat netek, bergantung, berteduh, bergelayutan. Tapi dimanakah kamu, kemanakah pergimu, dimana wujudmu saat kami sangat membutuhkanmu, dimana rumahmu saat kami butuh pintu tuk mengetuknya? Apakah benar kata bisik-bisik itu, bahwa kamu sudah diangkat jadi Walikota di negeri nun jauh? Apa juga benar kata bisik-bisik itu bahwa kamu sudah diangkat jadi anggota Senat? Apakah benar bisik-bisik itu ? Mbak shinta dimana kamu? Tak kau dengarkah jerit tangis kami ini, apakah hati nuranimu sudah tertutup untuk keluh-kesah kami.
“Bangkai busuk yang harus dibuang”, raksasa-raksasa itu menjawab dengan provokatif – mereka mendengus – mendengus seakan kerbau kampung yang jadi beringas karena telinganya dimasuki Gangsir.[10] Gangsir jantan yang menggigit telinganya sampai berdarah, sampai mengamuk semaunya – bagai Banteng liar– mengamuk sengawur-ngawurnya – menghancurkan gubuk-gubuk kami dengan begitu mudahnya, seperti meniup kapas ke angkasa. Angkasa raya berdebu-debu, debu bergulung-gulung bersama angin ribut menggulungmu, lenyap dari pandangan mata, serasa seperti sulap, serasa seperti raksasa-raksasa itu menelanmu, lengkaplah kehancuran kami.
Habislah kami sepagi itu, langit merah kecoklatan, api bercampur debu–menangkup-mengudungi perkampungan kami. Orang orang hanya terduduk pasrah – anak-anak menangis dalam dekapan ibunya. Tak ada yang memunguti barang-barang berharga yang masih tertinggal. Mungkin memang tak pernah ada barang yang berharga kecuali hanya kenangan. Ya kenangan semacam ikan lumba-lumba, yang kami gantungkan hanya kepadamu, lumba-lumba gaib yang membantu menyelamatkan kami dari lautan bencana ini.
*****
Mungkin juga kamu semisal Ibu kamu, tempat netek, bergantung, berteduh, bergelayutan. Tapi dimanakah kamu, kemanakah pergimu, dimana wujudmu saat kami sangat membutuhkanmu, dimana rumahmu saat kami butuh pintu tuk mengetuknya? Apakah benar kata bisik-bisik itu, bahwa kamu sudah diangkat jadi Walikota di negeri nun jauh? Apa juga benar kata bisik-bisik itu bahwa kamu sudah diangkat jadi anggota Senat? Apakah benar bisik-bisik itu ? Mbak shinta dimana kamu? Tak kau dengarkah jerit tangis kami ini, apakah hati nuranimu sudah tertutup untuk keluh-kesah kami.
Bisa kau bayangkan betapa hancurnya hati ini, betapa hancurnya masa depan ini, bila memang benar isyarat bisik-bisik itu? Bisik-bisik mencekik yang menghancurkan semangat perlawanan para tertindas, dimana harapan dan angan hanya bergantung kepadamu – karena wajahmu benar memberi cahaya kepercayaan, suara lantangmu membangkitkan semangat, dan kepalan tanganmu serasa palu menyentak dada kami. Ayolah tunjukan dirimu, biar segala dendam kesumat ini tuntas, tanpa perasaan curiga. Bukankah sejak lama kamu tanamkan mimpi-mimpi dalam pikiran kami, tetapi kenapa kemudian kau ejakulasi mimpi-mimpi yang mulai mengembang bagai mawar-mawar ungu – yang damai – yang kami anggap abadi, seabadi keindahan cinta tuk selamanya.
Kalau memang benar bisik-bisik itu, maka biarlah terkutuk celaka nasibmu – anak cucumu bakal sengsara. Sengsara sehabis-habisnya, sampai tak nemu tanah untuk kuburnya. Kuburnya juga ditolak laut, pohon, rumput, ilalang, api, bahkan angin akan kupaksa menolak semua anak cucumu. Biar. Biar tangis pengkhianatan tak pernah lunas bagi hidupmu, karena memberi harapan jauh lebih kejam dan menyakitkan dari pada menelantarkan. Bagaimana tidak, bisa dibayangkan – mulanya kami pasrah saja dengan kenyataan ini. Kami menerima saja kenyataan pahit ini dengan ganti-rugi yang apa adanya, yang bisa dikatakan sangat absurd; tanah nenek moyang ini hanya dihargai dengan sepiring nasi, tak lebih – tak ada sendok, garpu dan lauk pauknya. Belum lagi kami harus membersihkan areal ini sendiri, seperti keong yang dipaksa membuang rumahnya, lalu pergi telanjang begitu saja.
Saat itu cuma Ayah seorang yang agak menggeram, meski kemudian Ibu meremas tangan Ayah, sebagai isyarat menahan diri. Habis sudah harapan saat itu. Kami sangat menderita atas kecolongan-kecolongan yang kami terima, bagaimana tidak? Kami masih jadi bahan obyekan[11], dan tak selang beberapa hari kemudian datang serombongan manusia ke perkampungan kami. Mereka berpakaian perlente, bibirnya bening dan mengkilat bahkan sangat mengkilat, kami silau menatap bibirnya.
Kalau memang benar bisik-bisik itu, maka biarlah terkutuk celaka nasibmu – anak cucumu bakal sengsara. Sengsara sehabis-habisnya, sampai tak nemu tanah untuk kuburnya. Kuburnya juga ditolak laut, pohon, rumput, ilalang, api, bahkan angin akan kupaksa menolak semua anak cucumu. Biar. Biar tangis pengkhianatan tak pernah lunas bagi hidupmu, karena memberi harapan jauh lebih kejam dan menyakitkan dari pada menelantarkan. Bagaimana tidak, bisa dibayangkan – mulanya kami pasrah saja dengan kenyataan ini. Kami menerima saja kenyataan pahit ini dengan ganti-rugi yang apa adanya, yang bisa dikatakan sangat absurd; tanah nenek moyang ini hanya dihargai dengan sepiring nasi, tak lebih – tak ada sendok, garpu dan lauk pauknya. Belum lagi kami harus membersihkan areal ini sendiri, seperti keong yang dipaksa membuang rumahnya, lalu pergi telanjang begitu saja.
Saat itu cuma Ayah seorang yang agak menggeram, meski kemudian Ibu meremas tangan Ayah, sebagai isyarat menahan diri. Habis sudah harapan saat itu. Kami sangat menderita atas kecolongan-kecolongan yang kami terima, bagaimana tidak? Kami masih jadi bahan obyekan[11], dan tak selang beberapa hari kemudian datang serombongan manusia ke perkampungan kami. Mereka berpakaian perlente, bibirnya bening dan mengkilat bahkan sangat mengkilat, kami silau menatap bibirnya.
Mereka datang ke rumah-rumah, berdiskusi aktif, meski hampir tak memberi kesempatan kami untuk ikut bicara. Mereka berbicara sangat manis, dialeknya indah dan rapi, hampir tak pernah salah bicara. Mereka juga menjanjikan bakal memperjuangkan nasib kami sampai titik darah penghabisan. Semua kebutuhan perjuangan itu akan ditanggung mereka sendiri, tanpa minta sepersenpun biaya dari kami, tetapi mereka minta kami memberikan suaranya mutlak untuk mencoblos Si A pada pemilihan Walikota. Kami langsung menolak permintaan itu, karena kami sangat sadar bahwa Si A tersebut adalah biangkerok persoalan ini.
Lalu kamu datang, merapat bersama Pak Katam Rt, kamu membantu – memberi harapan – memupuk pohon jiwa yang layu. Berbulan-bulan. Kami perlahan-lahan mulai punya kepercayaan – jiwa kami perlahan lahan mekar. Kesadaran akan hak miliknya yang harus diperjuangkan bangkit, kesadaran akan sikap harus merubah nasib mulai bangkit, sampailah kami bersepakat memberimu julukan sebagai ‘Bunga teratai di padang gersang’.
Tapi dimanakah kamu kini, benarkah bisik-bisik itu?
****
Panas yang setahun menghancurkan kepalamu. Kepalamu seperti pecahan beling yang menancapi tiap jiwa. Jiwa ngambang di atas ilalang. Ilalang kering yang tak sekalipun tersentuh embun. Embun selalu dicolong udara. Udara liar yang ditiupkan padang pasir gersang. Gersang semakna hatinya yang kecewa melihat penggusuran liar – tak kenal ampun – tak kenal anak-anak pincang – tak kenal bapak-bapak dan ibu-ibu yang jompo – tak kenal tempat ibadah dan pemakaman.
Sepagi itu langit merah kecoklatan, api bercampur debu–menangkup-mengudungi perkampungan kami. Orang orang hanya terduduk pasrah – anak-anak menangis dalam dekapan ibunya. Angkasa gelap – mendung bersepakat dengan asap hitam – angin kering menerbangkan satu-dua sisa abu dari Gedhek-Gedhek yang ludes kemarin – pagi semirip malam, bedanya tipis, hanya suara serangga malam yang membedakannya.
Lalu kamu datang, merapat bersama Pak Katam Rt, kamu membantu – memberi harapan – memupuk pohon jiwa yang layu. Berbulan-bulan. Kami perlahan-lahan mulai punya kepercayaan – jiwa kami perlahan lahan mekar. Kesadaran akan hak miliknya yang harus diperjuangkan bangkit, kesadaran akan sikap harus merubah nasib mulai bangkit, sampailah kami bersepakat memberimu julukan sebagai ‘Bunga teratai di padang gersang’.
Tapi dimanakah kamu kini, benarkah bisik-bisik itu?
****
Panas yang setahun menghancurkan kepalamu. Kepalamu seperti pecahan beling yang menancapi tiap jiwa. Jiwa ngambang di atas ilalang. Ilalang kering yang tak sekalipun tersentuh embun. Embun selalu dicolong udara. Udara liar yang ditiupkan padang pasir gersang. Gersang semakna hatinya yang kecewa melihat penggusuran liar – tak kenal ampun – tak kenal anak-anak pincang – tak kenal bapak-bapak dan ibu-ibu yang jompo – tak kenal tempat ibadah dan pemakaman.
Sepagi itu langit merah kecoklatan, api bercampur debu–menangkup-mengudungi perkampungan kami. Orang orang hanya terduduk pasrah – anak-anak menangis dalam dekapan ibunya. Angkasa gelap – mendung bersepakat dengan asap hitam – angin kering menerbangkan satu-dua sisa abu dari Gedhek-Gedhek yang ludes kemarin – pagi semirip malam, bedanya tipis, hanya suara serangga malam yang membedakannya.
Tak ada lagi dari orang-orang yang mencoba memunguti sisa-sisa barang-barang berharga yang masih tinggal. Tinggal menunggu pengusiran. Pengusiran paksa tak beradab dari para raksasa. Raksasa yang bukan raksasa. Raksasa yang bukan manusia. Manusia yang bertaring besi beton, sebangsa bulldozer. Bulldozer liar dengan suara sirine yang memecahkan gendang telingah. Telingah berkarat. Berkarat darah. Darah bercampur jerit tangis bersambut teriakan. Teriakan yang suaranya membubung ke angkasa bercarut-marut, tumpang tindih dalam teriakan, tangisan histeris - darah bersama mendung gelap. Gelap mendung yang tumpah bersama kilatan petir, jadi hujan deras. Deras sekali, tak kan pernah berhenti, doaku untuk hujan selamanya.
Padepokan Gelar Tikar 2018 - 2024
Oleh: Muhammad iqbal Baraas
Padepokan Gelar Tikar 2018 - 2024
Oleh: Muhammad iqbal Baraas
Lahir di Banyuwangi 14 Nopember 1972, bermukim di komunitas Padepokan gelar Tikar, menulis puisi dan cerpen, kumpulan cerpennya Pesta Hujan Di Mata Shinta “ kumpulan puisinya yang terakhir Mawar Gandrung mendapatkan penghargaan sastra dari Balai Bahasa Jawa Timur sebagai karya sastra terbaik 2018.
Catatan:
[1] Dimaknakan raksasa dari negeri gaib lawan dari kurcaci
[2] siput darat
[3] kata buldozer lebih menekan pada kekuasaan yang absolut
[4] nama pelawak yang lucu
[5] Pipih atau penyet dalam bahasa jawa
[6] dimaknakan orang orang yang terusir
[7] dimaksutkan seperti pemain sepak bola, yang punya peran mendapat dan mengolah bola
[8] di kampung kami ular hijau dipercaya jika mati memberikan bangkai tubuhnya untuk dimakan anak2nya
[9] kelelawar besar yang memakan buah buahan
[10] sejenis jangkrik tapi jauh lebih besar
[11] dimaknakan pekerjaan sambilan yang menyakitkan
Catatan:
[1] Dimaknakan raksasa dari negeri gaib lawan dari kurcaci
[2] siput darat
[3] kata buldozer lebih menekan pada kekuasaan yang absolut
[4] nama pelawak yang lucu
[5] Pipih atau penyet dalam bahasa jawa
[6] dimaknakan orang orang yang terusir
[7] dimaksutkan seperti pemain sepak bola, yang punya peran mendapat dan mengolah bola
[8] di kampung kami ular hijau dipercaya jika mati memberikan bangkai tubuhnya untuk dimakan anak2nya
[9] kelelawar besar yang memakan buah buahan
[10] sejenis jangkrik tapi jauh lebih besar
[11] dimaknakan pekerjaan sambilan yang menyakitkan
Posting Komentar