Tulisan ini tidak akan membahas karya sastra vs karya akademik. Tidak–semoga saya punya kesempatan menuliskannya di masa depan. Dalam esai ringan ini, saya hendak membahas tentang sudut pandang penulis dalam penulisan karya akademik di Indonesia (baca: skripsi, tesis, disertasi maupun jurnal ilmiah). Mengapa karya ilmiah di Indonesia selalu ditulis dengan sudut pandang orang ketiga dan bukan sudut pandang orang pertama? Misalnya, “Dalam penelitian ini, penulis hendak bla bla bla…” dan bukan “Dalam penelitian ini, saya hendak bla bla bla…”. Perhatikan perbedaan antara sudut pandang orang ketiga (penulis–atau peneliti dsb.) dengan sudut pandang orang pertama (saya atau aku).
Kegelisahan saya terpantik oleh Pak Novian Widiadharma, dosen pengampu mata kuliah Metodologi Penelitian Filsafat. Dalam sebuah kesempatan, saat mengajar kami, ia menjelaskan sekaligus mengkritik penggunaan sudut pandang orang ketiga yang dipakai oleh sebagian besar orang atau kampus di Indonesia dalam menulis karya akademik–kalau tidak dapat dikatakan seluruhnya. Penggunaan sudut pandang orang ketiga ini rupanya merupakan ketentuan dan peraturan akademik yang dicanangkan oleh kampus. Kalau kita coba menulis skripsi dengan sudut pandang orang pertama, pasti akan diminta revisi oleh dosen pembimbing kita. Pak Novian juga menyebut bahwa dalam karya akademik di luar negeri tidak ada aturan seperti itu. Bahkan mayoritas karya akademisi luar negeri selalu menggunakan sudut pandang orang pertama. “I want to bla bla bla…” dan “My research bla bla bla…”
Pak Novian–mungkin karena pernah belajar lama di India–lebih setuju penggunaan sudut pandang orang pertama dalam menulis karya akademik ketimbang sudut pandang orang ketiga. Tapi tentu saja ia tidak lantas meminta kami untuk menulis tesis dengan sudut pandang orang pertama. Bagaimanapun, rules is rules. Karena aturan kampus harus menggunakan sudut pandang orang ketiga, ya kita manut saja daripada lulusnya molor. Sayangnya, Pak Novian tidak menjelaskan kelebihan-kelebihan menulis dengan sudut pandang orang pertama ketimbang sudut pandang orang ketiga. Saya setuju dengan Pak Novian dan saya memiliki beberapa alasan mengapa penggunaan sudut pandang orang pertama lebih baik ketimbang sudut pandang orang ketiga.
Pertama, lebih intimate. Penggunaan sudut pandang orang pertama menurut saya membuat seorang penulis ‘lebih akrab’ dengan tulisannya sendiri. Sehingga menimbulkan kesan bahwa apa yang ditulisnya merupakan sesuatu yang dekat dengannya dan si penulis telah ‘masuk’ ke dalam tulisannya. Selain itu, sisi intimate penggunaan sudut pandang orang pertama juga memberi kesan penulis lebih dekat dengan pembacanya. Penulis seolah mengobrol, berdiskusi dan bercerita langsung dengan pembaca. Berbeda jika yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga. Penulis seakan membuat jarak tidak hanya bagi tulisan dan pembacanya, namun juga dengan dirinya sendiri.
Kedua, lebih percaya diri. Menyebut ‘saya’ adalah bentuk kepercayaan diri. Ada nuansa eksistensialis yang kental ketika seseorang berani berkata ‘saya’, alih-alih menyembunyikan diri sendiri di balik kata ‘penulis’ atau ‘peneliti’.
Ketiga, lebih bertanggung jawab. Dengan menyebut ‘saya’, seorang penulis membuka dan menyediakan dirinya untuk bertanggung jawab secara penuh terhadap apa yang ditulisnya. Sehingga apabila terdapat kekurangan atau kesalahan dalam tulisannya, ia siap pasang badan dan tidak ngacir. Responsibility just for gentleman. Tentu feel ini tidak dapat ditemukan ketika seorang penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga dalam karyanya.
Jujur saja, saya belum tahu alasan mengapa karya tulis akademik di Indonesia menggunakan sudut pandang orang ketiga. Mungkin, ini hanya angan-angan saya saja, dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga ada kesan formal dan resmi. Tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah karya akademik harus ditulis se-formal, se-baku dan se-kaku itu? Bukankah esensi sebenarnya dari sebuah karya akademik adalah pemaparan ilmu? As long as ilmu dapat dijelaskan dan disampaikan dengan baik, kenapa tidak boleh menggunakan sudut pandang orang pertama?
Saya membaca Qur’an and Woman, disertasi Amina Wadud—The Lady Imam yang fenomenal itu—ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Saya membaca banyak karya intelektual luar negeri dan seluruhnya menggunakan sudut pandang orang pertama. Saya membaca Kimiya al-Sa’adah al-Ghazali yang juga ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Ahmaduhu hamdan bla bla bla… ‘Saya memuji Allah dengan pujian…’, tulis al-Ghazali Sang Argumentator Islam. Saya juga membaca banyak kitab turats para intelektual muslim, semuanya menggunakan sudut pandang orang pertama.
Saya juga ingin menulis tesis saya dengan sudut pandang orang pertama. Tapi keinginan saya untuk itu terbentur oleh keinginan saya untuk lulus tepat waktu. ‘Cari aman’ sering kali memang lebih dibutuhkan ketimbang sok-sokan berusaha mengoyak sesuatu yang sudah mapan walaupun harus melawan hati nurani sendiri. Bukankah karakter bangsa kita memang begitu? Eh.
Oleh: Muhammad Imdad
Posting Komentar