Pena Laut - Kita tahu, novel adalah karya sastra yang cukup menarik untuk dibaca. Konten dalam novel tidak selalu mengenai kata-kata indah nan puitis, melainkan juga berisi nilai-nilai kehidupan yang mendalam dengan bingkai cerita yang cukup panjang dibandingkan cerpen. Ernest Hemingway, seorang novelis yang lahir pada 21 Juli 1899 di Oak Park, Illionis (negara bagian Amerika Serikat). Ia merupakan anak yang cukup cerdas dalam pendidikan dasar sampai menengahnya. Bahkan, di usia yang bisa dikatakan masih muda, yakni 17 tahun, ia telah memulai karir kepenulisannya di surat kabar Kansas City.
Novel-novel yang ditulisnya kebanyakan berangkat dari pengalaman hidup yang dia jalani. Beberapa di antaranya, The Sun Also Rises (1926) yang ia tulis berdasarkan pengalamannya menjadi anggota kelompok ekspatriat Amerika Serikat di Paris, lalu A Farewell to Arms (1929) yang berdasarkan kekecewaan petugas ambulans Amerika Serikat dalam perang dan perannya sebagai pembelot.
Dalam pengalaman yang lain, yakni saat menjadi reporter selama perang saudara di Spanyol, Hemingway ini juga menjadikannya sebagai novel yang berjudul For Whom The Bell Tolls (1940). Dan yang epik, mengenai seorang nelayan tua yang meneguhkan hatinya dalam ketidakberuntungan, ia yakin bahwa setiap hari adalah hari yang baru, yakni The Old Man and The Sea (1952).
Berkat mode tulisannya yang menarik dan sangat berpengaruh bagi gaya penulisan sastra kontemporer, ia mendapatkan beberapa penghargaan, di antaranya Pulitzer (1953), Award of Merit Medal for Novel (1953), dan Nobel Sastra pada tahun 1954.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengulas salah satu novel dari Hemingway, yaitu "The Old Man and The Sea". Sebuah novel yang juga terinspirasi dari pengalamannya saat bertemu dengan Antonio Masarone, di Aciarolli, Italia. Antonio ini mendapat julukan oleh penduduk sekitar sebagai Mastracchio (Bahasa Italia, yang berarti lelaki tua).
Kerendahan Hati Seorang Nelayan
Dalam novel The Old Man and The Sea tokoh utamanya adalah seorang lelaki tua, ia bernama Santiago. Tokoh protagonis yang menemaninya adalah bocah kecil, Manolin. Selama 84 hari, Manolin-lah yang menemani Santiago menangkap ikan di tengah samudra.
Selama 84 hari tersebut, Santiago tidak mendapat ikan sama sekali. Sebagaimana Antonio yang mendapatkan julukan, Santiago juga mendapat julukan- mungkin lebih cenderung ejekan, yakni salao (hal terburuk dalam ketidakberuntungan; sial). Selama itu ia tidak mendapat ikan, dan selama itu pula -karena memang memiliki keyakinan yang dalam, ia tetap punya tekad untuk berlayar.
Berbicara kerendahan hati, Santiago maupun Manolin memiliki karakter ini. Hemingway menulis: ”Ia begitu sederhana, namun ia heran sejak kapan ia memiliki kerendahan hati seperti itu. Tapi ia tahu ia memilikinya, dan ia tahu itu bukanlah hal yang tercela dan takkan mengikis harga dirinya sebagai laki-laki sejati.” (H. 16).
Hemingway menggambarkan Santiago yang terkesan kepada Manolin (yang terbilang belia), namun memiliki kerendahan hati yang tergambar saat Manolin akan membelikan Santiago empat sarden, namun Santiago bilang ”Satu saja,” ”Dua,” tegas Manolin.
Menurut Al Hasyimi (2009), sikap rendah hati merupakan sikap menghargai orang lain, berkata dengan lemah lembut dan mudah memaafkan orang lain. Sikap ini terejawantah dalam diri Manolin, seorang bocah kecil yang selalu rela menemani lelaki tua sebatang kara.
Di sisi lain, Hemingway ini juga menggambarkan sikap rendah hati yang dimiliki oleh Santiago. Dalam beberapa scene saat ia di tengah lautan luas sendirian, di saat umpan disambar ikan, ia sering berbicara sendiri mengenai kebutuhan dirinya akan bocah itu.
”Andai saja ada si bocah itu. Ia pasti bisa membantuku.” (H. 55)
”Andai saja kubawa si bocah lelaki itu. Untuk membantuku dan untuk menyaksikan ini.” (H. 59)
”Andai saja ada si bocah itu!” (H. 64)
”Jika si bocah lelaki itu ada di sini, ia bisa memijatku dan mengendurkan otot-ototku mulai dari lengan bawah.” (H. 77)
Bocah lelaki itu tidak ikut dengannya di hari ke-85 bukan karena kesombongan Santiago, melainkan karena orang tua bocah lelaki tersebut melarang untuk berlayar bersamanya, karena tiada keberuntungan jika berlayar bersamanya.
Tidak hanya dengan manusia, nelayan tua ini juga sangat menghargai alam dan isinya, salah satunya adalah ikan yang ia tangkap sendirian. Ia menunjukkan kerendahan hatinya pada si ikan dalam bentuk monolog, seolah ia sedang berbicara dengan ikan tersebut. Santiago menganggap bahwa ikan itu adalah temannya.
”... Tangan-tangan ini telah melakukan pekerjaan dengan baik, dan kami pun berlayar dengan baik. Dengan mulut ikan itu tertutup dan dan ekornya yang tegak, kami berlayar bak saudara.” (H. 126).
“...Aku lebih baik darinya hanya karena trik yang kulakukan, ia tak bermaksud membahayakanku.” (H. 127)
Salao adalah julukan, lebih tepatnya ejekan yang ia terima dari penduduk tempat ia hidup. Tapi ia tak pernah memiliki rasa dendam sama sekali. Ia hanya ingin membuktikan bahwa sebagai nelayan selalu ada hari baru. Ketidakberuntungan tidak berlaku selamanya. Dan Santiago masih memiliki prasangka yang baik kepada penduduk itu.
”... Kuharap tak ada yang mengkhawatirkanku. Ah, si bocah lelaki itu pasti mengkhawatirkanku. Nelayan-nelayan yang lebih tua juga pasti akan merasa khawatir. Beberapa lainnya juga, pikirnya. Aku hidup di desa yang dipenuhi dengan orang baik.” (H. 147).
Santiago maupun Manolin oleh Hemingway memang dibuat mengesankan dalam kepribadiannya. Sosok nelayan, sosok lelaki, yang memiliki kerendahan hati, tidak memiliki kesombongan diri, tidak minder, semuanya tergambar dalam diri mereka berdua.
Nelayan Tua dengan Kebesaran Hatinya
Hemingway secara eksplisit tak menyebutkan berapa usia Santiago. Yang jelas ia adalah seorang tua yang tak lagi kuat. Namun, memiliki otot bahu dan punggung yang menawan. Artinya, secara fisik, Santiago masih bisa dikatakan mampu untuk menjalani pelayaran menangkap ikan- walaupun sendirian.
Kebesaran hati Santiago digambarkan dalam bentuk keyakinannya yang tinggi bahwa ia suatu saat akan mendapatkan keberuntungan. Seperti ditulis Hemingway: ”Aku laki-laki tua yang aneh,” ”Tapi sekarang apakah kau cukup kuat untuk menangkap ikan yang berukuran besar?” ”Sepertinya iya. Aku juga punya banyak trik.” (H. 17).
”Aku mungkin tak sekuat dugaanku,” ucap si lelaki tua. ”Tapi aku tahu banyak trik dan aku juga punya tekad yang kuat.” (H. 28).
Kebesaran hatinya ini berangkat dari keyakinannya bahwa keberuntungan perlu variabel lain. Tiada keberuntungan sejati. Keberuntungan adalah keberuntungan, yang didapatkan saat momentum tepat dan seseorang siap.
”...Hanya saja aku tak lagi punya keberuntungan. Tapi siapa tahu? Mungkin hari ini. Setiap hari adalah hari yang baru. Memang lebih baik kalau beruntung. Tapi aku lebih suka menjadi tepat. Sehingga saat keberuntungan datang kau sudah siap.” (H. 39).
Kebesaran hati adalah sikap yang menunjukkan kesiapan menghadapi segala hal yang terjadi dalam hidup- menyenangkan maupun menyakitkan, tanpa merasa kecewa. Sikap ini berbanding lurus dengan tekad atau azimah yang berarti keteguhan dan keyakinan seseorang bahwa ia mampu untuk melakukan berbagai kebaikan dan mencapai tujuannya dengan penuh keyakinan tanpa mudah menyerah (Mustofa & Sutrisno, 2024).
Di tengah kesendiriannya saat melawan ikan yang telah mengenai kailnya, Santiago dengan kebesaran hatinya tak menampakkan tanda menyerah. Walaupun ia jelas kesulitan, tapi ia memilih bertahan.
”... Lalu ia bersandar ke haluan itu. Ia rehat duduk di atas tiang serta layar yang belum didirikan dan berusaha untuk tidak berpikir. Ia hanya ingin tetap bertahan saja.” (H. 56)
”Aku tak bisa melakukan apapun terhadapnya dan ia tak dapat melakukan apapun terhadapku.” (H. 58).
Santiago sudah bilang bahwa ia memiliki banyak trik. Dan mungkin, bertahan dalam kondisi itu adalah satu-satunya trik yang paling ampuh. Dalam situasi yang bisa dikatakan sangat sulit dihadapi oleh seorang tua, tidak berpikir untuk menyerah adalah bukti bahwa ia sanggup menghadapi hal yang terjadi, meski menyakitkan. Dan itu digambarkan Hemingway:
”Tak seharusnya seseorang sendirian di usia tuanya,” pikirnya. ”Tapi ini situasi yang tak terhindarkan. Aku harus ingat untuk makan tuna tadi sebelum membusuk agar tetap kuat” (H. 59).
Tiada usaha yang sia-sia. Santiago dengan kebesaran hatinya dan keberuntungan yang ia dapatkan karena kesiapan dan momentum yang tepat, akhirnya ikan yang menyambar umpannya sejak tengah hari di hari ke-85, berhasil ditaklukkan di hari ketiga (ke-87).
Hemingway tidak hanya melukiskan kisah perjuangan nelayan tua, tetapi ia sedang mengisahkan perjuangan hidup manusia dalam menggapai cita-cita luhur dengan kebesaran hati. Santiago berhasil membuktikannya; kepada bocah kecil itu, dan kepada penduduk desanya.
”Aku seorang lelaki tua yang kelelahan. Tapi aku telah berhasil membunuh ikan yang merupakan saudaraku. Sekarang aku harus mengerjakan pekerjaan budak.” (H. 121).
Hidup selalu dinamis, dan itulah yang dihadapi Santiago. Baru saja ia merasa tidak percaya akan keberhasilannya menangkap ikan yang beratnya lebih dari 1000 pound (sekitar 453,592 kilogram), ia harus berhadapan dengan predator laut yang ia juluki dengan dentuso (gigi besar), hiu mako . Dan kebesaran hatinya tak pernah pudar.
“Kuharap semua ini hanya mimpi, pikirnya. Aku tak bisa mencegahnya menabrakku, tapi mungkin aku bisa menaklukannya. Dentuso, pikirnya. Ibumu sedang tidak beruntung.” (H. 129).
Ini Tentang Harga Diri
Karya Hemingway ini bukan hanya soal kehidupan nelayan, kehidupan lelaki ataupun kehidupan Santiago itu sendiri. Melainkan penggambaran manusia dalam perspektif perjuangan untuk menjalani hidup yang selalu terjal dan panjang.
Potret Santiago dalam novel ini digambarkan nelayan yang telah mengalami kemerosotan kepercayaan penduduk desa padanya. Namun, Santiago tak terpengaruh sama sekali. Justru ia ingin membuktikannya. Ia merasa bahwa dirinya masih memiliki harga diri.
”Mungkin seharusnya aku tak menjadi seorang nelayan,” pikirnya. ”tapi itulah tujuan hidupku. Untuk itulah aku dilahirkan...” (H. 62).
Menurut Fargomeli (2014), nelayan diklasifikasikan dalam beberapa macam: nelayan pemilik (juragan), nelayan penggarap (buruh/pekerja) dan nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan gendong (nelayan angkut), dan perusahaan/industri penangkapan ikan. Berdasarkan beberapa klasifikasi, Santiago termasuk dalam nelayan tradisional, yakni orang yang pekerjaannya melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu dan alat tangkap yang sederhana dan dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya (Septiana, 2018).
Santiago sebagai nelayan, walaupun dalam strata sosial pesisir ia tergolong kelas bawah, dirinya tetap memiliki harga diri. Harga diri yang tidak untuk disombongkan, tetapi untuk dijunjung tinggi dengan cara membuktikannya.
”Kukatakan pada bocah lelaki itu kalau aku adalah seorang tua yang aneh,” katanya. ”Sekarang saatnya aku harus membuktikannya.” (H. 83).
Menurut Coopersmith (Lestari & Koentjoro, 2002), harga diri berkaitan dengan penilaian yang mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga.
Harga diri Santiago direfleksikan dalam ingatannya saat masih muda ketika beradu panco di Casablanca dengan seorang negro perkasa dari Cienfuegos. Adu panco berlangsung dinamis, keduanya sama-sama merebutkan keperkasaan- menang. Pertandingan ini berlangsung selama sehari, mulai Minggu pagi hingga Senin pagi. Dan walhasil, Santiago menang. Walaupun disebabkan larutnya pertandingan itu, sehingga wasit terpaksa intervensi, menurunkan tangan lelaki negro sampai tergeletak di kayu.
Meski demikian, yang Santiago yakini adalah ia mampu bertahan dan mengimbangi perlawanan si negro tersebut. Dan ia merasa bahwa si negro telah terkalahkan dan membuat kepercayaan diri si perkasa itu patah. Sehingga Santiago dijuluki sebagai Sang Juara. Ini juga terjadi saat ia sedang berjuang menaklukkan ikan marlin.
”Kau boleh berusaha sekarang ikan,” pikirnya. ”Akan kukalahkan kau saat giliranku tiba.” (H. 113).
”... Jaga kepalamu tetap jernih dan hadapi penderitaan ini layaknya seorang lelaki. Atau seekor ikan.” Pikirnya. (H. 118).
Sejak hari ke-85 sampai ke-87, Santiago bertahan, menunggu momentum dengan memahami laju ikan, mengamati angin dan sebagainya, akhirnya ikan marlin besar didapatkannya.
“Si lelaki tua itu menjatuhkan tali kailnya dan menginjaknya. Ia lalu mengangkat harpun setinggi yang ia bisa dan menghujamkannya dengan seluruh kekuatannya, ke bagian samping ikan tepat di belakang sirip dada yang naik ke udara setinggi dadanya. Ia merasakan besi itu menghujam masuk ke tubuh si ikan. Ia menumpukan tubuhnya dan menghujamkannya lebih dalam lagi, lalu mendorong seluruh berat tubuhnya ke harpun itu.” (H. 119).
Harga dirinya adalah harga diri manusia yang harus selalu berjuang dalam kenyataan hidup tak pasti dan tak selalu menyenangkan. Ia membuktikan bahwa ia mampu, penting, berhasil dan berharga.
Kekalahan dalam Kemenangan Perjuangan
”Aku seorang lelaki tua yang kelelahan. Tapi aku telah berhasil membunuh ikan yang merupakan saudaraku. Sekarang aku harus mengerjakan pekerjaan budak.” (H. 121).
Kalimat di atas menggambarkan Santiago yang telah menaklukkan ikan marlin besar. Ia menang dalam pertarungan antar saudara itu; dirinya dan si ikan. Ia merasakan keberuntungan yang tepat itu. Namun, di sisi lain ia merasa sangat kelelahan. Itu cukup wajar bagi seorang tua.
Kemenangan hanyalah momentum di mana kekalahan tidak mengambil alih kursi otoritas. Tapi suatu waktu, kekalahan akan datang menghampiri. Dan Santiago, dari kegembiraannya itu, tak lama kemudian mendapati suatu masalah yang menariknya pada lubang kekalahan.
Dalam kondisi fisik yang tak lagi baik sebab kelelahan, hiu bertubi-tubi datang dan membuatnya semakin kelelahan. Dentuso atau hiu mako ia kalahkan dengan menancapkan harpun di antara kedua matanya. Konsekuensinya, ikan marlin kehilangan bobotnya sebesar 40 pound, setara 18-an kilogram. Itu sangat menyakiti Santiago.
”...Ketika ikan marlinnya tergigit, ia merasa dirinyalah yang tergigit...” (H. 131).
”...Kuharap semua ini hanya mimpi, ikan hiu itu tak pernah datang.” (H. 131).
Serangan dentuso itu sedikit membuat diri Santiago goyah. ”Si bocah lelaki itu membuatku bertahan hidup. Aku harus berhenti menipu diri”, kata Santiago. Dan ketegarannya kembali. Karena ia masih harus mengantisipasi yang akan terjadi. Karena bekas gigitan dentuso berakibat darah ikan marlin mengucur, dan itu sama dengan mengundang hiu-hiu lainnya. Ia masih yakin dan akan terus berbesar hati.
”Seorang lelaki bisa dihancurkan, tapi tidak bisa dikalahkan.” (H. 131)
”Ay,” tulis Hemingway yang menggambarkan ekspresi verbal Santiago yang kaget karena muncul dua galanos (pari hiu sirip coklat); hiu pari berkepala mirip sekop, lebar pipih dan ujung sirip dada mereka berwarna putih. Spesies hiu yang tak disukai nelayan karena berbau tak sedap, pembunuh.
Kedua galanos ini akhirnya mati di tangan Santiago dengan pisau. Satu tercolok pisau matanya dan satu yang lainnya ia tancapkan pisau pada mata dan titik vital ikan itu, yakni otak.
”Pergilah galanos, tenggelamlah sedalam satu mil. Temuilah temanmu, atau mungkin itu ibumu.” (H. 139).
Selepas matinya dua galanos, kepercayaan diri seorang Santiago mulai goyah. Keyakinannya yang ia jadikan bekal sejak pertama kali berangkat di hari ke-85, karena ikan marlin telah digerogoti, ia merasa langkahnya melampaui batas.
”... Kuharap ini hanyalah mimpi dan aku tak pernah menangkap ikan marlin ini. Maafkan aku, wahai ikan. Semuanya jadi salah.” (H. 140).
”Seharusnya aku tak pergi terlalu jauh, wahai ikan...” (H. 140).
”Tuhan tahu berapa banyak yang terambil oleh yang terakhir itu.” (H. 141).
Santiago terus meyakinkan dirinya. Meskipun realitanya ia sangat kurang persiapan; berlayar sendiri tanpa bocah, perlengkapan yang kurang memadai dan kerentanan tubuhnya yang tua. Pari hiu datang lagi, namun tak berlangsung lama Santiago dapat memukulnya mundur dengan pisau yang ia tancapkan di dayung menghujam di otak hiu tersebut.
”Sekarang mereka telah mengalahkanku,” pikirnya. Aku terlalu tua untuk memukuli hiu hingga mati ...” (H. 143).
Perjalanan pulang Santiago dalam novel ini cukup panjang. Tak sesederhana berhasil menangkap ikan, lalu pulang dan penduduk bertepuk tangan padanya. Santiago sendiri merasa tercabik-cabiknya ikan marlin yang ia dapatkan adalah sebuah kekalahan. Senjata terakhirnya tinggal dua dayung, pemukul pendek dan pasak kemudi. Pisaunya telah ikut tenggelam bersama galanos.
Di tengah kelelahannya melawan serangan hiu-hiu sebelumnya, dua galanos datang lagi. Keduanya sama-terpukul mundur dengan semangat yang mulai pudar, senjata seadanya, lelah yang menjadi-jadi dan langit yang mulai gelap.
Berlayar selama tiga hari dan perjuangan fisik yang berat bagi seorang tua membuatnya pasrah di saat ia telah melihat cahaya-cahaya di pesisir pantai, ia sudah tak mampu untuk bertarung. Namun, Hemingway masih memberi ruang bagi dramatisasi novel ini. Kawanan hiu datang dan membuat Santiago terpaksa bertarung di titik kemampusannya.
Keputusasaan Santiago di balik kegelapan digambarkan Hemingway dengan pukulan brutal tak terarahnya pada kawanan hiu. Santiago memukul hiu-hiu itu berdasar apa yang ia rasa dan dengarkan. Bahkan pasak kemudinya sebagai senjata terakhir, akhirnya patah dan dibuat untuk menyerang hiu terakhir. Setelah itu tak ada lagi hiu yang menyerang, yang ada adalah kesesakan nafas Santiago dan rasa tembaga dan manis di mulutnya yang sesaat ia khawatirkan selepas memukul mundur hiu terakhir.
“Ia meludah ke lautan dan berkata, “Makan itu, galanos. Bermimpilah kau telah membunuh seorang lelaki.”.” (H. 152).
Santiago kalah dalam kemenangannya. Ia merasa melampaui batas. Dan setelah sampai di pesisir, ia beres-beres, kemudian tidur terlentang. Paginya, Manolin menemukan Santiago dan deras air mata mengucur dari kedua matanya. Manolin memang rendah hati dan sangat menyayangi Santiago.
”Mereka mengalahkanku, Manolin.” (H. 158).
”Ia tidak mengalahkanku. Bukan ikan marlin itu yang mengalahkanku.” (H. 158).
Jika direfleksikan, kehidupan manusia memang bisa biasa-biasa saja, di sisi lain juga bisa- bahkan lebih, dramatis dari yang Santiago rasakan. Di setiap kekalahan ada sisi lainnya, yakni kemenangan. Dan sebaliknya.
Karya Hemingway ini menjadi bahan refleksi bagi kita, bahwa memang hidup harus diperjuangkan. Sikap hidup harus dimiliki, pun dengan prinsip. Kerendahan hati, kebesaran hati, dan harga diri ditampakkan dalam kepribadian Santiago bagi pembaca tidak hanya untuk dinikmati sebagai karya sastra, melainkan untuk memberikan pesan-pesan moral bagi kita dalam menjalani hidup.
Terimakasih dan mohon maaf.
Oleh: Muhammad Sholeh Muria
Referensi:
Al-Hasyimi, Abdul Mun’im. 2009. Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim. Depok: Gema Insani
Fargomeli, F. 2014. INTERAKSI KELOMPOK NELAYAN DALAM MENINGKATKAN TARAF HIDUP DI DESA TEWIL KECAMATAN SANGAJI KABUPATEN MABA HALMAHERA TIMUR. Jurnal Acta Diurna, 3(3)
https://www.nobelprize.org/ (diakses pada 16 November 2024, pukul 23.37)
Lestari, R., & Koentjoro, K. 2002. PELATIHAN BERPIKIR OPTIMIS UNTUK MENINGKATKAN HARGA DIRI PELACUR YANG TINGGAL DI PANTAI DAN LUAR PANTAI SOSIAL. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Indigenous, 6(2), 134-146
Mustofa, F., & Sutrisno, S. 2024. MENELADANI CARA BERDAKWAH NABI ULUL AZMI DALAM AL-QUR’AN. Innovative: Journal Of Social Science Research, 4(1), 531-547
Hemingway, Ernest. 2023. The Old Man and The Sea. Yogyakarta: Narasi
Septiana, Shinta. 2018. SISTEM SOSIAL-BUDAYA PANTAI: MATA PENCAHARIAN NELAYAN DAN PENGOLAH IKAN DI KELURAHAN PANGGUNG KECAMATAN TEGAL TIMUR KOTA TEGAL. Jurnal Sabda, 13(1)
Posting Komentar