BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Paradigma Pembangunan: Antara Maslahah atau Mafsadah?

Pembangunan
Pena Laut -
Pembangunan pada hakikatnya sering dikaitkan dengan modernisasi. Modernisasi merupakan salah satu bentuk perubahan sosial dari ketertinggalan menuju kehidupan dengan peradaban maju, dalam artian saat ini yaitu kecanggihan teknologi dan kredibilitas ekonomi yang merata. Dalam perspektif modernisasi, pembangunan dianggap sebagai sarana untuk menuju kehidupan yang menanggalkan aspek tradisionalisme suatu masyarakat, sehingga dalam hal ini pembangunan dapat diartikan sebagai usaha meningkatkan harkat dan martabat sosial masyarakat.

Sejarah mencatat, proses modernisasi pembangunan tidak terlepas dari beberapa peristiwa penting dunia setelah berakhirnya masa perang dunia kedua. Pertama, tatkala presiden Amerika Serikat Harry S Trauman mengumumkan politik pemerintahannya untuk menjadikan Amerika Serikat sebagai pemimpin dunia. Maka sejak saat itu pelaksanaan Marshal Plan yang diperlukan AS ialah membangun kembali Eropa Barat pasca PD II. 

Kedua, pada waktu bersamaan terjadi perluasan gerakan komunis sedunia. Hal ini juga merupakan alasan atas meningkatnya daya tarik keberhasilan Uni Soviet, sehingga negara-negara di bawah gerakan komunis mencari model-model pembangunan yang hendak digunakan sebagai kiblat dalam membangun ekonominya. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan dan modernisasi yang dipraktekkan merupakan tak lain refleksi paradigma barat tentang perubahan sosial.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, berbagai paradigma pembangunan tersebut mengalami berbagai kegagalannya, termasuk sebagai salah satu faktor keterancaman bagi lingkungan hidup. Saat ini kehadiran pembangunan sebagai kebutuhan bagi masyarakat dinilai terlalu hirarkis. Parahnya pembangunan ditafsirkan sebagai tujuan yang dapat menyelesaikan segala persoalan kemiskinan, keterbelakangan, dan masalah ekonomi lainnya. Sehingga dari pandangan tersebut melahirkan asumsi bahwa hutan, benda-benda tambang, ikan di laut, dan lain sebagainya, merupakan barang-barang yang harus dikuras demi mengejar kesejahteraan manusia. Hal ini merupakan penyebab dari kerusakan lingkungan yang memutuskan rantai ekosistem jaringan alam semesta.

Paradigma Pembangunan

Paradigma pembangunan terus berkembang semenjak usainya Perang Dunia kedua. Pada awalnya, para ilmuwan berpendapat bahwa untuk menghilangkan keterbelakangan dan kemiskinan, dilakukan perubahan dan ditingkatkannya pertumbuhan. Dalam hal ini Hungtington (1975) mengatakan bahwa perlu suatu modernisasi dengan cara revolusioner yang dilakukan dengan banyak upaya yang bersifat kompleks dan sistematis.

Selaras dengan itu, menurut Mansour Fakih penganut-penganut teori percaya bahwa segala sesuatu menuju perubahan dapat dicapai dengan pembangunan. Mereka juga percaya bahwa tradisionalisme dianggap sebagai masalah yang harus ditinggalkan dan diganti dengan sikap modern yang impact-nya membawa perubahan dan percepatan menuju high mass consumption.

Berbeda halnya menurut WW Rostow, seorang profesor ekonomi dari MIT mengatakan bahwa pembangunan dapat berjalan otomatis melalui akumulasi modal. Oleh karena itu perlu elite wiraswasta untuk menjadi motor proses tersebut. Prinsip yang tepat untuk menjalankan proses akumulasi modal ialah asas teknologi industri. Industri lebih mendominasi karena berpusat pada sasaran produksi yang pada prinsipnya nilai dan sistem berjalan disesuaikan dengan eksploitasi dan manipulasi sumber daya alam, hal ini guna menghasilkan arus barang dan jasa yang dibutuhkan suatu masyarakat.

Ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai penemuannya merupakan alat rekayasa untuk menghalau kemiskinan dan keterbelakangan tersebut, tetapi sekaligus menjadi bagian dari pembangunan yang memiliki andil penting bagi kerusakan lingkungan.

Kritik Terhadap Pembangunan

Perkembangan yang terjadi di kemudian adalah adanya hubungan tidak serasi antara konsep pembangunan dengan etika lingkungan hidup. Konsep pembangunan di era modern saat ini selalu hadir dengan dua sisi yang berbeda sekaligus saling bertolak belakang antara maslahah (kebaikan) dan mafsadah (kerugian). Misal, pembangunan gedung-gedung bertingkat dan adanya perusahaan industri yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Namun, di waktu yang bersamaan terdapat kelompok masyarakat yang tempat tinggalnya tergusur, kehilangan lahan, dan penindasan hak sebagai warga negara.

Tentu dari pernyataan tersebut, bisa dilihat dari kasus persoalan konflik lahan sebagai bukti kacaunya prospek pembangunan di Indonesia. Konflik lahan--atau biasa disebut konflik agraria--terjadi karena terdapat suatu aktivitas atas nama pembangunan, biasanya bermula dari perampasan lahan, tanah, dan sumber daya alam lainnya.

Konflik agraria merupakan awal dari pelanggaran hak, karena objek tersebut merupakan sumber kehidupan yang bergandengan dengan pemenuhan hak-hak manusia, termasuk hak atas kesehatan lingkungan hidup, hak keamanan tempat tinggal, dan hak mendapatkan ekonomi yang layak. Seringkali persoalan konflik agraria terjadi pada masyarakat bawah, masyarakat yang masih kental dengan tradisionalisnya. Konsep pembangunan tersebut sebagai sinyalir untuk menggeser kehidupan masyarakat yang masih tradisional dengan dalil tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman.

Wacana kritis terhadap ideologi pembangunan muncul pada tahun 1980 oleh seorang ilmuwan Argentina bernama Mario Bunge dengan menerbitkan buku Ciencia Y Desarollo (Sains dan Pembangunan). Ia mengkritik bahwa konsep pembangunan hanyalah pasar yang diuntungkan bagi pihak tertentu saja.

Pandangan kritis juga diperoleh dari Charles Wilber tentang pembangunan dan keterbelakangan. Wilber menganggap keterbelakangan bukanlah suatu kondisi yang alami atau disebabkan oleh faktor internal, melainkan hasil dari struktur ekonomi global yang tidak seimbang. Dalam hal ini arus utama model pembangunan hanya untuk kepentingan negara-negara maju. Selain itu modernisasi menurut Wilber, ia menganggap bahwa semua negara berkembang harus mengikuti jalur yang sama dengan negara maju. Menurutnya pendekatan ini tidak realistis karena mengabaikan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang berbeda.

Ketika persoalan tersebut terjadi, maka secara dinamis tujuan negara gagal dalam menjalankan tugas untuk melindungi warga negara, mensubsidi rakyat, dan memproteksi pelayanan kebutuhan masyarakat sosial, ekonomi, dan lingkungannya.

Pada pernyataan ini pasti ada jalan alternatif sebagai bentuk ikhtiar dari negara dan pemangku kebijakan untuk mempersempit ruang akan terjadinya kerugian oleh masyarakat dengan mengatas namakan pembangunan

Etika Pembangunan dan Tanggung Jawab Sosial

Munculnya pemikiran tentang etika pembangunan didasari oleh beberapa pertimbangan. Pertama, mengenai munculnya masalah-masalah moralitas dalam pembangunan. Hal ini tentu perlu dipertanyakan aspek moral dari adanya pembangunan tersebut. Ketika moral tak diindahkan oleh negara, maka pembangunan bisa menjadi ladang korupsi, pungli, foya-foya, konsumerisme, dan eksploitasi hutan.

Contoh konkrit dari prospek pembangunan yang menanggalkan aspek moralitas di Indonesia ialah persoalan eksploitasi kayu di Kalimantan yang merupakan suatu kasus yang sangat jelas karena diketahui adanya ekspor yang dilaporkan di bawah jumlah yang sebenarnya dan penggelapan pajak oleh beberapa perusahaan asing. Hal tersebut terbukti tidak ada perencanaan untuk mempertahankan hasil kayu dan kebijakan pelestarian lainnya.

Faktor lain yang mempengaruhi pentingnya memahami etika pembangunan ialah tujuan pembangunan itu sendiri, tujuan pembangunan sudah seharusnya didasarkan untuk mengembangkan kapabilitas manusia. Menurut Amartya Sen konsep kesejahteraan dilihat dari konteks kapabilitas seseorang untuk menjadikan sesuatu atau melakukan sesuatu yang diinginkan. Konsep inilah Sen menyebutnya sebagai fungsi yang bisa dicapai dalam membuat pembangunan menjadi bernilai.

Begitu juga kemiskinan yang perlu di pandang melalui konsep ini. Orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu disebabkan ruang kapabilitasnya kecil, bukan karena mereka tidak memilih sesuatu. Berbeda halnya dengan orang kaya yang memilih untuk tidak memiliki barang akan tetapi ruang kapabilitasnya besar, yang artinya kepemilikan barang tersebut menjadi sebuah pilihan bagi si kaya. Dengan logika ini kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang dimiliki melainkan aktivitas yang memungkinkan memiliki barang tersebut.

Dari sini elemen kebebasan menjadi penting, jika manusia dibatasi hak asasi kemanusiaannya, dibungkam aspirasinya, dibatasi akses kesehatan dan pendidikan. Maka ruang kapabilitas menjadi kecil yang menyebabkan strategi pembangunan menjadi tidak seimbang. Itu sebabnya Sen melihat pentingnya kebebasan dalam pembangunan, karena dengan ini tujuan dimensi pembangunan di mana aspek ekonomi, politik dan sosial dapat berjalan dinamis.

Selain itu, prospek pembangunan sudah seharusnya memberikan keterbukaan kepada masyarakat untuk turut dalam proses pembangunan. Menurut Mansour fakih dalam bukunya yang berjudul “Jalan lain; Manifesto Intelektual Organik” dapat menjadi tawaran terbaik untuk menentukan arah kebijakan pembangunan. Tawaran tersebut adalah bahwa negara perlu melakukan kajian dalam bentuk penelitian partisipasi agar interaksi dengan masyarakat terus berlangsung selama proses pembangunan itu berjalan. Dengan begitu konsep pembangunan tersebut dapat mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara historis dan sosial kultural.


Oleh : Novia Ulfa Isnaini (Mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak