BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Menemukan Kembali Freedom Of Speech Lingkungan Akademis (Kampus)

Freedom Of Speech, Opini Publik, BEM Fisip Unair

Pena Laut -
Kebebasan berbicara (freedom of speech) merupakan salah satu pilar fundamental dalam masyarakat demokratis. Di lingkungan akademis, kebebasan ini tidak hanya penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk karakter dan pemikiran kritis mahasiswa. 

Baru-baru ini, dilansir dari situs web tempo.com, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya dibekukan usai mengkritik pemerintah lewat pemasangan karangan bunga satire. Sungguh suatu ironi di tempat yang idealnya penuh akan kebebasan akademik, kritik malah dibalas dengan pembungkaman. 

Tidak jauh dari itu, pengekangan kebebasan akademik juga terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Diberitakan dari LPM Didaktika, puluhan mahasiswa di kampus itu di-skors selama satu semester usai berdemonstrasi. Adapun dasar pemberian sanksi adalah Surat Edaran (SE) Nomor 259 Tahun 2024 yang diterbitkan oleh Rektor UIN Alauddin Makassar. SE Nomor 259 Tahun 2024 sangat mengekang mahasiswa. Sebab tercantum dalam SE itu, mahasiswa harus mendapatkan izin tertulis dari pimpinan kampus sebelum melakukan penyampaian aspirasi. Dampaknya, aksi demonstrasi mahasiswa yang memberatkan pimpinan kampus dapat dengan mudah dilarang. Untuk mahasiswa yang membangkang, hukuman seperti skorsing sudah ada di depan mata.

Di Indonesia, kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan beberapa undang-undang, di antaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E ayat (3) UUD NKRI 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-undang ini mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum secara bebas dan bertanggung jawab. 

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, Undang-undang ini menyebutkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat mencakup hak untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran. Mahasiswa memiliki hak untuk mengekspresikan ide dan pendapat mereka tanpa takut akan represi atau intimidasi, yang penting untuk menciptakan lingkungan akademik yang inklusif dan demokratis. Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini sering kali terhambat oleh tekanan dari pihak kampus atau undang-undang yang membatasi. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat perlindungan terhadap hak ini dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebebasan berpendapat.

Pentingnya kebebasan berbicara, kebebasan berbicara memungkinkan mahasiswa dan dosen untuk berbagi ide-ide baru tanpa takut akan reperkusi. Ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk inovasi dan pemikiran kreatif. Dengan adanya kebebasan untuk berdiskusi dan berdebat, individu dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Mereka belajar untuk mengevaluasi argumen, memahami perspektif yang berbeda, dan membentuk pendapat yang informatif. Lingkungan akademis yang menghargai kebebasan berbicara cenderung lebih inklusif. Mahasiswa dari berbagai latar belakang dapat merasa lebih diterima dan didengar, yang pada gilirannya memperkaya pengalaman belajar secara keseluruhan. 

Meskipun penting, kebebasan berbicara di lingkungan akademis sering kali menghadapi berbagai tantangan. Terkadang, isu politik identitas dapat membatasi diskusi terbuka. Ketakutan akan dianggap ofensif atau tidak peka dapat membuat individu enggan untuk mengekspresikan pandangan mereka. Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan menerapkan kebijakan yang membatasi diskusi tentang topik-topik tertentu. Selain itu, mahasiswa mungkin merasa perlu untuk menyensor diri mereka sendiri demi menghindari konflik atau kritik. Tekanan dari rekan sebaya atau kelompok tertentu dapat menciptakan atmosfer di mana hanya pandangan tertentu yang dianggap sah. Hal ini bisa menghambat dialog yang sehat dan konstruktif.

Perlunya langkah-langkah dalam memupuk keberanian dalam kebebasan berbicara antara lain:

1. Mendorong dialog terbuka. 
Institusi pendidikan harus menciptakan ruang bagi diskusi yang aman dan terbuka. Forum, seminar, atau kelas debat bisa menjadi platform yang efektif untuk mengekspresikan berbagai pandangan.

2. Pendidikan tentang kebebasan berbicara. 
Masyarakat akademis perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya kebebasan berbicara dan batasan-batasannya. Dalam hal ini, pendidikan harus mencakup aspek etika dan tanggung jawab dalam berkomunikasi.

3. Membangun komunitas inklusif. 
Dengan membangun komunitas yang inklusif mendorong keragaman pandangan di dalam komunitas akademis, dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Dengan menghargai perbedaan, mahasiswa akan merasa lebih nyaman untuk menyuarakan pendapat mereka.

4. Menetapkan kebijakan yang mendukung. 
Kampus (universitas) harus memiliki kebijakan yang jelas mengenai kebebasan berbicara dan perlindungan terhadap individu yang menyuarakan pendapat mereka, termasuk tindakan terhadap segala bentuk intimidasi atau diskriminasi.

Maka dengan hal itu, menemukan kembali kebebasan berbicara di lingkungan akademis adalah tugas kolektif yang memerlukan komitmen dari semua pihak—mahasiswa, fakultas, dan administrasi. Dengan menciptakan ruang untuk dialog terbuka, mendidik tentang nilai-nilai kebebasan berbicara, dan membangun komunitas inklusif, kita dapat memastikan bahwa lingkungan akademis tetap menjadi tempat bagi eksplorasi ide-ide baru dan pengembangan pemikiran kritis. Kebebasan berbicara bukan hanya hak; ia adalah tanggung jawab kolektif kita untuk memastikan bahwa suara semua orang didengar dan dihargai.


Oleh: Fawaid A.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak