Namun perlu kita ingat--pejabat-pejabat, DPR, aparat negara, mereka semua adalah orang yang pintar, bahkan lebih paham akan hukum negara, perundang-undangan, dan tugas yang diembannya. Mereka lebih paham dibanding para petani yang menghidupi negeri, para pedagang yang menguntungkan negri, bahkan para nelayan yang menjaring ikan dari sore hingga pagi. Ya, kita akui mereka lebih pintar, tapi pertanyaannya, kenapa tak sedikit dari mereka masih menyandang gelar koruptor di bahunya?
Saya pernah mendengarkan pesan Dosen: “jangan jadi orang pinter, tapi dadio wong seng bener”. Sejatinya orang yang sudah merasa dirinya pinter itu, mereka tidak jauh-jauh dari yang namanya lembah gelap. Karena merasa dirinya sudah pintar, secara tidak langsung dia merasa lebih hebat dari siapapun, merasa lebih berkuasa dari siapapun, hingga melupakan tujuan bahwa para petinggi itu hidup di atas untuk menaungi rakyat, bukan menyelimuti mereka dengan awan gelap kemiskinan tak berkesudahan. Tapi orang yang benar, mereka tahu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya, tahu jalan pulang meskipun nama sudah jauh melambung tinggi, tahu bagaimana menghadapi badai, dan lebih penting lagi tahu bagaimana caranya hidup sederhana tapi bersahaja.
Ya, hidup sederhana tapi bersahaja, begitulah kata dosen saya. Tidak hanya sibuk mengejar ambisi yang tidak akan pernah terpuaskan atau selesai dengan satu tujuan, hingga melupakan bagaimana tata krama berpijak pada tanah. Karena tahta tertinggi--dari dulu hingga sekarang--bukan dimiliki oleh orang yang hanya pintar, tapi dimiliki oleh orang yang pintar dan benar.
Ya, hidup sederhana tapi bersahaja, begitulah kata dosen saya. Tidak hanya sibuk mengejar ambisi yang tidak akan pernah terpuaskan atau selesai dengan satu tujuan, hingga melupakan bagaimana tata krama berpijak pada tanah. Karena tahta tertinggi--dari dulu hingga sekarang--bukan dimiliki oleh orang yang hanya pintar, tapi dimiliki oleh orang yang pintar dan benar.
Menjadi orang yang benar itu berat, sangat berat. Sebab, ketika kamu memilih untuk tidak buta melihat suatu hal atau kejadian di sekitarmu, maka saat itu juga kamu harus memutuskan untuk berani mengambil langkah berbeda dari orang lain di sekitarmu, dan terkadang kita harus merasa terasing karena keputusan benar yang kita pilih.
Namun di sini yang sangat disayangkan adalah sistem tak tertulis yang dianut oleh warga Indonesia sendiri, yakni kata-kata “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, diubah tersirat menjadi “dari uang, oleh uang, dan untuk uang”. Orang terpintar pun akan bertingkah bodoh saat di otaknya sudah tertanam prinsip di atas. Hal tersebutlah yang juga akan menimbulkan ketimpangan sosial dari segi hukum.
Baru-baru ini beredar kabar bahwa seorang pejabat telah memakan uang rakyat (koruptor) hanya ditahan 3 tahun, sementara orang yang mencuri ayam tetangganya ditahan hingga bertahun-tahun. Ini membuktikan bahwa hukum yang menjaga tata kehidupan masyarakat Indonesia saja bisa di beli. Ada juga kasus lain, di suatu kelas mengajar, terdapat seorang murid anak petani dan murid anak polisi. Suatu hari mereka bertengkar, hingga terluka lumayan parah, hingga dipanggilah orang tua dari kedua anak tersebut. Murid anak petani percaya denga gurunya, karena menurutnya guru itu pintar dan adil dalam memberikan suatu hukuman, namun di akhir keputusan, ternyata yang dihukum hanya anak seorang petani tersebut, sementara si anak polisi kemana? Di mana keadilan sang guru? Barangkali sudah lenyap di lembah kegelapan bersama puing-puing rupiah.
Nah, kawan, seorang koruptor dan guru di atas adalah orang yang berpendidikan, orang yang mungkin menyandang S1, S2, atau mungkin gelar terhormat lainya, namun sikap mereka? Apakah ini yang diharapkan para nenek moyang kita dulu? Tentu tidak, bukan? Orang sepintar apapun, setinggi apapun IQ mereka, tapi kalau otak korup, hanya dengan uang mudah dibungkam nuraninya, tata krama sedangkal got, orang-orang seperti mereka semestinya langsung dibacklist saja. Karena selain toxic, mereka adalah orang-orang pintar tapi perilakunya tidak bisa dibenarkan.
Terakhir dari saya, stop jadi manusia yang ingin dihormati karena jabatan, koneksimu, atau bahkan uangmu. Jika semua itu tiba-tiba terenggut, maka tak ada alasan untuk orang tetap menghormatimu. Jadilah pintar dan benar pada sikapmu, jadilah sederhana untuk bersahaja, tata dirimu dengan hal-hal baik, agar sampai liang lahat pun kamu tak pernah merasa kehilangan apapun pada dirimu, orang-orang juga tak punya alasan untuk melupakanmu. Kemampuan otak memang bisa dicuci dan dibeli dengan uang, namun hati nurani adalah sesuatu yang dalam dan sulit diubah hanya dengan uang. Maka jadilah benar jangan hanya pintar!
Namun di sini yang sangat disayangkan adalah sistem tak tertulis yang dianut oleh warga Indonesia sendiri, yakni kata-kata “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, diubah tersirat menjadi “dari uang, oleh uang, dan untuk uang”. Orang terpintar pun akan bertingkah bodoh saat di otaknya sudah tertanam prinsip di atas. Hal tersebutlah yang juga akan menimbulkan ketimpangan sosial dari segi hukum.
Baru-baru ini beredar kabar bahwa seorang pejabat telah memakan uang rakyat (koruptor) hanya ditahan 3 tahun, sementara orang yang mencuri ayam tetangganya ditahan hingga bertahun-tahun. Ini membuktikan bahwa hukum yang menjaga tata kehidupan masyarakat Indonesia saja bisa di beli. Ada juga kasus lain, di suatu kelas mengajar, terdapat seorang murid anak petani dan murid anak polisi. Suatu hari mereka bertengkar, hingga terluka lumayan parah, hingga dipanggilah orang tua dari kedua anak tersebut. Murid anak petani percaya denga gurunya, karena menurutnya guru itu pintar dan adil dalam memberikan suatu hukuman, namun di akhir keputusan, ternyata yang dihukum hanya anak seorang petani tersebut, sementara si anak polisi kemana? Di mana keadilan sang guru? Barangkali sudah lenyap di lembah kegelapan bersama puing-puing rupiah.
Nah, kawan, seorang koruptor dan guru di atas adalah orang yang berpendidikan, orang yang mungkin menyandang S1, S2, atau mungkin gelar terhormat lainya, namun sikap mereka? Apakah ini yang diharapkan para nenek moyang kita dulu? Tentu tidak, bukan? Orang sepintar apapun, setinggi apapun IQ mereka, tapi kalau otak korup, hanya dengan uang mudah dibungkam nuraninya, tata krama sedangkal got, orang-orang seperti mereka semestinya langsung dibacklist saja. Karena selain toxic, mereka adalah orang-orang pintar tapi perilakunya tidak bisa dibenarkan.
Terakhir dari saya, stop jadi manusia yang ingin dihormati karena jabatan, koneksimu, atau bahkan uangmu. Jika semua itu tiba-tiba terenggut, maka tak ada alasan untuk orang tetap menghormatimu. Jadilah pintar dan benar pada sikapmu, jadilah sederhana untuk bersahaja, tata dirimu dengan hal-hal baik, agar sampai liang lahat pun kamu tak pernah merasa kehilangan apapun pada dirimu, orang-orang juga tak punya alasan untuk melupakanmu. Kemampuan otak memang bisa dicuci dan dibeli dengan uang, namun hati nurani adalah sesuatu yang dalam dan sulit diubah hanya dengan uang. Maka jadilah benar jangan hanya pintar!
Oleh: Nurul Faizzah
Posting Komentar