BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Harkat Guru, Kebijakan, dan Harapan

Pena Laut -
Rasa sesak menyeruak saat mendengarkan kekecewaan yang tertahan dari para guru SD di kota pinggiran maupun pelosok pedesaan. “Sebagai seorang pendidik yang telah menyaksikan perubahan besar dalam dunia pendidikan, saya merasakan keprihatinan yang mendalam terhadap sejumlah kebijakan dan praktik yang diterapkan saat ini. Meski banyak inovasi dalam kurikulum, metode, dan teknologi pembelajaran, ada bagian dari esensi pendidikan yang seolah perlahan terkikis. Dahulu, siswa datang ke sekolah dengan sikap penuh hormat kepada guru, sementara para orang tua dengan sepenuh hati mempercayakan pendidikan anak-anak mereka kepada pihak sekolah. Namun kini, tampaknya tugas mendidik siswa bukan lagi menjadi prioritas utama, justru tumpukan tugas administrasi yang seringkali lebih banyak menyita waktu seorang guru di dalam kelas”.

Lebih jauh tulisan ini juga masih merangkum kegelisahan dan harapan sekian banyak guru, yaitu terbitnya regulasi yang membatasi ruang gerak para guru dalam memberikan nilai dan sanksi semakin membuat para guru gamang. Ketika harus memberikan nilai yang sejalan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sering kali merasa terpaksa memberikan nilai yang “dipoles” agar sesuai standar, meski nilai asli siswa seharusnya lebih rendah. Ini bukan hanya berdampak pada diri siswa yang kehilangan dorongan untuk belajar lebih giat, tapi juga pada para orang tua yang mungkin tak sepenuhnya memahami kemampuan sebenarnya anak mereka. Pengalaman di kelas semakin menunjukkan betapa nilai yang diberikan pada saat ini berbeda jauh dan tidak setara dengan nilai siswa pada masa dulu, karena aspek otentisitas sering kali tertutupi oleh berbagai penyesuaian administratif. Hal ini menggugah harapan para guru, agar para pejabat penyusun kebijakan pendidikan dapat meramu ulang sistem pendidikan kita agar tetap berpegang pada nilai-nilai esensial, tanpa mengorbankan standar etika dan moral siswa.

Guru sekolah dasar sering menghadapi tantangan yang kompleks dalam melaksanakan pendidikan otentik dan bermakna bagi siswa-siswinya. Keterbatasan kebebasan dalam mengevaluasi, beban administrasi yang tinggi, dan kebijakan promosi, otomatis menjadi beberapa faktor yang mengekang peran mereka sebagai pendidik sejati. Wawancara dengan mereka menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini lebih berorientasi pada angka dan kelulusan minimal tanpa mempertimbangkan kemampuan nyata siswa. Dalam pandangan para pemikir pendidikan seperti John Dewey dan Ivan Illich, masalah ini mengarah pada distorsi makna pendidikan yang seharusnya memberdayakan siswa dalam konteks demokrasi dan keadilan sosial.

Dewey, dalam bukunya Democracy and Education (1916), menegaskan bahwa pendidikan adalah alat pemberdayaan yang memungkinkan individu berpikir kritis dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Bagi Dewey, kebijakan yang hanya menekankan nilai minimum sebagai syarat kelulusan adalah bentuk distorsi dari tujuan pendidikan demokratis. Kebijakan ini melemahkan upaya pemberdayaan siswa dan menghambat proses pengembangan karakter serta kemampuan berpikir yang kritis. Dengan sistem pendidikan yang lebih memprioritaskan nilai administratif daripada pengalaman belajar, generasi siswa yang dihasilkan cenderung apatis dan kurang kritis terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan di sekitarnya.

Ivan Illich, dalam Deschooling Society (1971), mengkritik pendidikan yang terlalu struktural dan birokratis. Menurutnya, fokus pada administrasi dan dokumentasi berlebihan menjauhkan pendidikan dari maknanya yang sejati. Beban administratif yang dirasakan para guru menunjukkan bagaimana birokrasi yang tinggi dalam pendidikan menjadi penghalang bagi guru untuk memberikan perhatian personal pada siswa. Illich akan melihat situasi ini sebagai permasalahan mendasar, di mana pendidikan formal justru mengorbankan interaksi bermakna antara guru dan siswa demi memenuhi tuntutan administrasi yang cenderung memberatkan.

Budaya kelembagaan yang kaku dan berorientasi pada aturan formal juga menjadi kendala dalam mencapai pendidikan inklusif yang sesungguhnya. Ainscow dan Miles (2008) menyatakan bahwa budaya kelembagaan yang inklusif seharusnya memastikan kesempatan setara bagi semua individu, termasuk mereka dengan kemampuan yang berbeda-beda. Namun, praktiknya, budaya birokrasi dalam pendidikan sering kali membatasi fleksibilitas guru untuk menyesuaikan metode dan penilaian bagi kebutuhan siswa yang beragam. Dalam pandangan Dewey dan Illich, pendidikan yang inklusif adalah pendidikan yang fleksibel dan berorientasi pada pertumbuhan personal setiap siswa, bukan sekadar meluluskan siswa secara administratif.

Dari perspektif keadilan sosial, Michael W. Apple dalam Ideology and Curriculum (2004) menyebutkan bahwa kurikulum sering kali mencerminkan ideologi tertentu yang menguatkan ketidakadilan sosial. Kebijakan yang menetapkan kelulusan berdasarkan nilai standar tanpa memperhatikan kemampuan aktual adalah contoh dari praktik yang tidak adil ini. Hal tersebut menciptakan ilusi pencapaian pada siswa dan orang tua, meski nilai tersebut sebenarnya tidak mencerminkan kemampuan yang sejati. Ini bertentangan dengan keadilan yang sejati dalam pendidikan, di mana siswa dengan kemampuan berbeda seharusnya mendapatkan perhatian yang setara dalam pengembangan potensi diri.

Guru juga menghadapi dilema dalam mendisiplinkan dan menegakkan nilai moral di kelas, karena ada ketakutan akan protes dari orang tua atau bahkan pelaporan ke pihak berwenang. Ketakutan ini melemahkan peran guru sebagai pendidik karakter, sehingga berdampak pada moral dan kedisiplinan siswa. Dalam lingkungan pendidikan yang sehat, guru seharusnya memiliki otoritas moral yang dihormati dan dapat memberikan bimbingan etis bagi siswa. Namun, kondisi saat ini menjadikan guru semakin terbatasi dalam menjalankan peran ini, yang pada akhirnya melemahkan proses pembelajaran afektif dan sosial di sekolah.

Perubahan nilai dalam pendidikan juga menjadi masalah lain yang berdampak pada motivasi belajar siswa. Di masa lalu, nilai raport mencerminkan kemampuan aktual siswa sehingga siswa lebih termotivasi untuk belajar lebih giat jika mendapatkan nilai rendah. Namun, dengan adanya Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), nilai kini dianggap sebagai standar minimal yang harus dipenuhi, bukan sebagai cerminan kemampuan. Hal ini memunculkan apatisme pada siswa karena merasa nilai mereka sudah aman tanpa usaha lebih. Padahal, nilai yang otentik merupakan salah satu aspek penting dalam membentuk karakter siswa yang mandiri dan bertanggung jawab atas proses belajarnya.

Situasi akses pendidikan yang belum merata, terutama di daerah terpencil, menjadi tantangan besar pemerintah. Masih banyak sekolah di daerah pedesaan yang kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar yang dedikatif. Hambatan serius dalam menyediakan pendidikan berkualitas yang setara di seluruh daerah adalah penyediaan infrastruktur yang buruk, ini menambah deretan rapuhnya inklusifitas pendidikan kita, karena gagal melayani kebutuhan ragam kemampuan peserta didik. Untuk mencapai keadilan sosial dalam pendidikan, pemerintah perlu mengalokasikan sumber daya secara merata, tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan.

Mimpi para guru, kapankah ada reformasi yang holistik dan berfokus pada penciptaan sistem yang mendukung pertumbuhan autentik siswa. Tidak hanya berkaitan dengan perubahan kurikulum atau nilai kelulusan, tetapi juga dengan perubahan budaya kelembagaan yang lebih inklusif, responsif, dan adil. Pendidikan seharusnya mengembalikan harkat guru sebagai penjaga marwah demokrasi dengan memberikan ruang kebebasan yang diperlukan untuk menjalankan peran mereka sebagai pendidik sejati. Tantangan di atas membutuhkan kerja kolaboratif yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Dengan menekankan kualitas, aksesibilitas, dan keadilan dalam pendidikan, diharapkan sistem pendidikan mempercayai guru sebagai pilar pembentukan karakter dan pemberdayaan generasi mendatang.

Bagi perguruan tinggi dengan program studi pendidikan, penting untuk memasukkan materi tentang pendidikan inklusif dan penerapan nilai-nilai demokrasi dalam kurikulum. Perguruan tinggi dapat mempersiapkan calon guru dengan keterampilan praktis yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan kelas yang inklusif dan responsif terhadap beragam kebutuhan siswa. Selain itu, perguruan tinggi perlu mengadakan pelatihan intensif dan praktek lapangan bagi calon guru, yang mencakup metode pengajaran adaptif, manajemen kelas inklusif, dan strategi untuk berkolaborasi dengan orang tua serta masyarakat. Dengan begitu, lulusan program studi pendidikan tidak hanya memiliki pemahaman teoritis tetapi juga siap menghadapi tantangan nyata di lapangan, berperan aktif dalam memperkuat praktik inklusif di sekolah, dan menjadi agen perubahan yang mendukung demokratisasi pendidikan di Indonesia.

Sebagai langkah perbaikan, pemerintah dan pemangku kebijakan pendidikan perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan inklusi yang ada, memastikan bahwa kebijakan ini disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan lokal. Penting juga bagi pemerintah untuk menyediakan kerangka kerja yang lebih fleksibel bagi sekolah, agar mereka dapat menyesuaikan pendekatan inklusif sesuai dengan kebutuhan komunitas setempat. Selain itu, dukungan berupa pelatihan bagi guru serta perlindungan dalam menjalankan tugas mereka sangat diperlukan, sehingga guru dapat berperan efektif tanpa khawatir terhadap tekanan eksternal. Kolaborasi yang melibatkan komunitas sekolah, pemerintah daerah, dan pihak swasta juga dapat memberikan solusi bersama untuk memperluas akses dan mendukung praktik-praktik pendidikan yang demokratis serta inklusif di seluruh wilayah.

Selamat Hari Guru


Oleh: Emi Hidayati
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak