BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Dunia Simulasi: Politisasi Agama dalam Lanskap Hiperrealitas

Jean Budrillard, Simulacra, Hiperrealitas, Politisasi Agama

Pena Laut -
Jean Budrillard merupakan tokoh postmodern yang memiliki posisi penting pada perkembangannya, sehingga sejajar dengan tokoh besar lainnya seperti Deridda, Bauman dan Foucault. Baudrillard lahir dikota kecil Reims Paris 1929 dan meninggal pada 6 Maret 2007. Keuda orang tuanya berasal dari keluarga petani, kemudian pindah ke Paris dan bekerja sebagai pegawai Dinas Pelayanan Masyarakat. Keluarganya tidak termasuk dalam kelas borjuis yang berpendidikan tinggi. Baudrillard hidup bersama saudara-saudaranya dalam suasana keluarga yang sederhana. Menjadi orang pertama dari keluarganya yang meraih tingkat pendidikan tinggi, yang kemudian menekuni bidangnya sebagai seorang ilmuan.

Pada tahun 1968, ia pernah tergabung dalam penelitian jurnal Utopie, kemudian pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Anarcho Situationist, teori-teori media dan Marxisme structural. Selain itu, pengaruh filsuf modern juga mengiringi konstruk pemikiran Baudrillard seperti Mauss, Batallie, Freud dan Marx. Menggeluti dunia intelektual selama empat puluh tahun, Baudrillard berhasil menulis berbagai genre buku yang berkaitan tidak hanya filsafat, melainkan ia juga aktif dalam bidang keilmuan ekonomi, sosiologi, seni, antropologi dan arsitektur. Baudrillard terkenal dengan dua konsep utama permikirannya, yaitu simulacra dan hiperrealitas.

Simulacra dan Simulasi

Simulacra dalam kamus The Oxford English Dictionary memiliki makna “perbuatan menirukan dengan maksud memanipulasi”. Kemudian timbul makna selanjutnya adalah penampilan palsu, tiruan dari sesuatu, tiruan dari sesuatu, atau sesuatu yang mirip. Baudrillard menggunakan konsep simulacra untuk menafsirkan realitas yang terjadi di era postmodern:

“Simulacra that are natural, naturalist, founded on the image, on imitation and counterfeit, that are harmonious, optimistic, and that aim for the restitution or the ideal intstitution of nature made in God’s image: simulacra that are productive, productivist, founded on energy, force, ist materialization by the machine and in the whole system of production – a Promethean aim of a continuous globalization and expansion, of an indefinite liberation of energy; simulacra of simulation, founded on information, the model, the cybernetic game total opretionality, hyperreality, aim of total control”. Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, p. 81

Baudrillard menunjukkan bahwa simulacra tidak lahir secara alami atau naturalis. Melainkan lahir dari sistem teknologi, informasi dan globalisasi yang terus mengalami perkembangan. Simulacra lahir ketika realitas global sudah dipenuhi dengan model-model dan game cybernetic yang memiliki otoritas penuh. Simulacra berdiri diatas atap imitasi, citra, dan duplikasi dari sesuatu yang sudah ada. Sesuatu yang sudah ada kemudian diduplikasi lagi dengan bentuknya yang asli. Lahirnya simulacra ini terjadi dalam ruang social Masyarakat.

Dalam ruang lingkup masyarakat, akibat dari kehadiran simulacra menimbulkan pencampuran antara yang asli dan palsu, yang benar dan salah, yang fakta dan bukan fakta, yang riil dan imajiner, yang asbtrak dan konkrit, serta yang penanda dan petanda. Sehingga yang terjadi adalah masyarakat sulit untuk membedakan mana realitas yang asli dan palsu. Kedua realitas ini hadir dalam ruang dan waktu.

Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation yang diterbitkan pada tahun 1981, menjelaskan bahwa dalam era postmodern, realitas yang sebenarnya telah kehilangan makna yang asli dan digantikan dengan simulasi yang dilakukan oleh media masa dan teknologi. Simulasi menurutnya adalah bukan hanya sekedar representasi dari realitas, melainkan proses dimana realitas itu sendiri digantikan oleh representasi tersebut. Dalam hal ini, simulacra mengkonstruk kita untuk menafsirkan dunia dan diri kita sendiri melalui “tanda”, karena kita semakin terlibat dengan representasi dan simulasi daripada dengan realitas yang sebenarnya.

Baurdrillard membagi tanda dalam tiga tipe; pertama, tanda realitas (real signs): tanda ini merupakan tanda yang merepresentasikan realitas yang ada di dunia nyata. Mereka memiliki referensi langsung atau korespondensi dengan objek atau fenomena di dunia nyata. Contohnya adalah tanda-tanda lalu lintas, lambang-lambang alam, atau kata-kata yang menggambarkan objek-objek fisik.

Kedua, tanda Simulasi (Simulacra): Tanda ini merepresentasikan realitas yang telah digantikan oleh simulasi. Mereka tidak lagi memiliki referensi langsung dengan realitas fisik; sebaliknya, mereka menciptakan dunia simulasi yang mandiri. Contohnya adalah citra televisi, film, atau gambar digital yang menciptakan realitas yang terpisah dari realitas fisik yang sebenarnya.

Ketiga, tanda simulasi palsu (Simulacrum); ini adalah tanda yang mendukung dan memperluas proses simulasi, sehingga menciptakan realitas semu yang terpisah dari dunia nyata. Mereka tidak lagi mencoba untuk merepresentasikan realitas, tetapi justru memperkuat simulasi itu sendiri. Contohnya adalah simulasi dalam permainan video, dimana pemain terlibat dalam dunia maya yang terpisah dari realitas fisik. Pembagian ini memperjelas bagaimana tanda-tanda telah berkembang dari sekadar merepresentasikan realitas fisik menjadi menciptakan realitas yang mandiri dalam era simulasi dan hiperrealitas yang diperkenalkan oleh Baudrillard. Hal ini menyoroti bagaimana dunia kita semakin terlibat dalam dunia simbolik dan representasi yang terpisah dari realitas fisik yang sebenarnya.

Simulacra berlangsung dalam teknologi, informasi dan komunikasi. Maka seringkali makna pesan yang disampaikan oleh media massa tidak lagi memiliki makna dari yang aslinya. Hal ini menyebabkan konstruksi budaya masa kini berada dalam lingkaran citra dan simulasi-simulasi. Citra simulasi tersebut pada akhirnya menciptakan suatu realitas baru yang tanpa historisitas kebenaran, sebuah realitas yang bersebrangan dengan realitas riil. Baudrillard menyebut realitas itu dengan istilah hiperrealitas.

Hiperrealitas

Istilah hiperrealitas pertama kali diperkenalkan oleh Marshall McLuhan dalam bukunya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962), menjelaskan dengan penemuan mesin cetak dapat mengubah kesadaran dan budaya manusia. Pergeseran dari budaya lisan ke budaya cetak mengakibatkan dominasi penglihatan dan merubah cara kita berinteraksi dengan dunia. Pemikirannya berbasis pada proses dan akibat revolusi Gutenberg sebuah pernyataan medium is a message. Pernyataan tersebut membuka sebuah wahana baru bahwa teknologi percetakan mengindikasikan pada era modernitas dan teknologi ekektronik merujuk pada era postmodern.

Media elektronik telah berubah bentuk dengan penggunaanya secara massif menyebabkan pesan media direduksi dengan sendirinya, sehingga lahirnya permainan bahasa yang bersifat simbolik. Perkembangan teknologi yang pesat dan meluas memungkinkan setiap individu bisa hidup dalam suatu dunia, yang kemudian McLuhan menyebutnya dengan istilah global village. Dalam ruang inilah, semua sesuatu disebarluaskan, diinformasikan, dan dikonsumsi tanpa batas.

Baudrillard menyebutkan dampak dari adanya global village antara hubungan manusia dan media sebagai realitas media space. Menurutnya, media space adalah realitas ruang maya yang tidak lagi dipahami sebagai perpanjangan tangan sebagaimana yang disebutkan oleh McLuhan, melainkan media sudah berubah menjadi ruang bagi manusia untuk membentukan dan menciptakan identitas dirinya.

Berangkat dari konsep global village inilah yang kemudian Baudrillard menjelaskan lebih jauh lagi, analisisnya terhadap konsep media sebagai perpanjangan badan manusia kedalam konteks budaya Masyarakat postmodern, mengahsilkan sebuah konstruk pemikiran baru yang awalanya konsep global village menjelma menjadi hyperreal village atau hiperrealitas. Konsep hyperreal memiliki hubungan yang signifikan terhadap pemikiran sebelumnya simulacra, dimana keduanya memiliki arti secara umum ialah menggantikan realita dengan simulasi dan representasinya.

Baudrillard melihat bahwa realitas tidak lagi menampilkan realitas yang objektif atau realitas yang riil, melainkan realitas dipengaruhi oleh tanda atau sign. Menurutnya tanda tidak lagi terikat dengan realitasnya, dan di era digital masyarakat hidup dalam dunia yang dimana tanda dan simulasi mendominasi pengalaman kita, mengacu pada kehidupan yang disebutnya sebagai hiperrealitas, dimana fenomena dunia nyata menjadi semacam representasi yang terdistorsi dan digantikan oleh dunia media digital yang lebih mempengaruhi persepsi kita tentang realitas. Jadi konsep simulacra merupaan bentuk instrument yang bisa menjadikan hal-hal yang bersifat abstrak mejadi konkret dan sebaliknya yang konkret bisa menjadi abstrak. Fenomena masyarakat hiperrealitas terjadi disebabkan oleh perkembangan teknologi dan media massa yang pesat.

Implikasi Terhadap Masyarakat Postmodern

Era postmodern, fenomena hiperrealitas mengakibatkan perubahan kehidupan Masyarakat yang saling campur aduk, interaksi yang tidak terarah dan mencipatkan situasi Masyarakat konsumtif yang hingar bingar. Fenomena hiperrealitas bersumber dari perkembangan teknologi media masa yang telah mengubah realitas yang riil sehingga menjadi model acuan yang baru. Hiperrealitas era postmodern, citra memiliki kuasa yang dominan dalam meyakinkan, ketimbang fakta-fakta yang objektif. Hiperrealitas menjadi realitas yang lebih nyata daripada yang nyata, menjadi fakta semu. Media sosial dewasa ini adalah representasi yang konkrit dari fenomena hiperrealitas.

Seiring perkembangan teknologi dan internet, platform media sosial telah berubah secara signifikan. Pada mulanya media social hanya sebatas kebutuhan sekunder, namun berubah menjadi kebutuhan primer yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkannya juga meliputi aspek-aspek penting kehidupan kita, termasuk budaya, politik dan identitas individu. Media sosial dan internet telah memperluas dan meningkatkan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari dan mengindikasi bahwa media memiliki peran yang signifikan dalam membentuk persepsi publik dan realitas kolektif kita, akibatnya masyarakat sangat berpotensi untuk mendapatkan informasi-informasi palsu.

Dengan kelemahan masyarakat tersebut, banyak individu maupun kelompok memanfaatkan kesempatannya untuk kepentingan-kepentingan. Misalnya para politisis menggunakannya untuk kepentingan politik. Kepentingan untuk meningkatkan elektabilitas dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Salah satu isu yang sering digunakan adalah isu agama, karena agama dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan. Sehingga terjadinya politisasi agama, istilah ini mengacu pada penggunaan keyakinan agama untuk tujuan politik. Ini sering kali terjadi ketika kelompok atau individu tertentu memanipulasi ajaran agama untuk mendapatkan dukungan politik, mempertahankan kekuasaan, atau mengontrol masyarakat. Dalam konteks ini, agama tidak lagi menjadi sekadar sistem kepercayaan spiritual, tetapi juga alat untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Politisasi agama sering kali berujung pada konflik, karena interpretasi yang berbeda mengenai ajaran agama dapat menciptakan perpecahan di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam beberapa kasus, politisasi agama bisa menyebabkan radikalisasi, di mana ajaran agama digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan.

Sehingga, ketika kita melihat hubungan antara simulakra, hiperrealitas, dan politisasi agama, kita bisa melihat bahwa media dan komunikasi modern dapat membentuk cara orang memahami dan menginterpretasikan agama. Misalnya, representasi agama dalam media bisa menjadi simulakra yang membentuk persepsi orang tentang keyakinan tertentu, yang kemudian bisa menyebabkan terbentuknya hiperrealitas di mana pengikut agama tersebut menikmati citra yang diciptakan daripada pengalaman religius yang sebenarnya.

Dalam konteks ini, politisasi agama bisa menjadi alat untuk menciptakan simulakra tertentu, di mana pemimpin atau kelompok politik menggunakan simbol-simbol agama untuk membangun identitas atau narasi yang menarik bagi para pengikut mereka. Hal ini sering kali menghasilkan krisis identitas di masyarakat, ketika individu terjebak dalam citra atau narasi yang diciptakan daripada berinteraksi dengan realitas kompleks agama itu sendiri.


Oleh: Rifki Rahman

Referensi:
Achmad, N. Politisasi Agama di Era Digital dan Penanganannya. Prosiding Senaspolhi, 1(1). 2018.
Baudrillard, Jean. "Simulacra and simulation." U of Michigan P (1994).
Budi Kurniawan, “Politisasi Agama di Tahun Politik: Politik Pasca-Kebenaran di Indonesia dan Ancaman bagi Demokrasi”, Jurnal Sosiologi Agama, 12 (1). 2018.
Ustadi Hamsah. Konstruk Agama & Budaya Dalam Media Televisi (Pemikiran Jean Baudrillard tentang Determinasi Imaji).
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak