Bila kita pilah, pahlawan-pahlawan itu terbagi menjadi beberapa kelompok yang tentunya mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, namun tetap memiliki tujuan yang sama; kemerdekaan Indonesia. Salah satu golongan pahlawan yang turut andil dalam upaya tersebut adalah Kiai dan Santri, atau biasa disebut dengan “Kaum Sarungan”.
Upaya Kiai dan Santri dalam Kemerdekaan Indonesia mempunyai peran yang sangat signifikan. Semangat mereka memang benar-benar bersumber dari rasa cinta kepada Tanah air. Bahkan sosok Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa “Seandainya tidak ada kaum santri yang konsisten menunjukkan sikap perlawanan dan pertentangan kepada para penjajah, maka semangat juang dan nasionalisme bangsa Indonesia tak akan sebesar dan sehebat yang kita ketahui”.
Juga tertuang dalam berita Kedaoelatan Rakjat edisi 26 November 1945: “Kesaktian kijai2 di medan pertempoeran, ternjata boekan hanja berita lagi, tapi kita saksikan sendiri. Banjak mortier jang melempem, bom tidak meledak dsbnya lagi.”
Setelah kemerdekaan berhasil dicapai oleh masyarakat Indonesia, upaya selanjutnya adalah mepertahankan semangat nasionalisme. Dalam konteks inilah, KH. Abdul Wahab Hasbullah membuat syair yang bertajuk “Syubbanul Wathon”. Syiir itu antara lain berbunyi:
Pusaka hati wahai tanah airku/Cintamu dalam imanku/Jangan halangkan nasibmu/Bangkitlah, hai bangsaku!/Indonesia negeriku/Engkau Panji Martabatku/Siapa datang mengancammu/Kan binasa dibawah dulimu!
Lirik-lirik syair yang digubahnya sangat menekankan akan pentingnya mempertahankan, menumbuhkan, dan memupuk jiwa nasionalisme.
Tak hanya itu, KH. Abdul Wahab Hasbullah atas bimbingan KH. Hasyim Asy’ari, juga membuat slogan yang bertajuk “Hubbul Wathon Minal Iman”, bahwa nasionalisme adalah sebagian dari iman. Syair dan slogan ini menjadi semacam getaran yang menggema semangat nasionalisme Santri. Maka tak heran, jika syair dan slogan tersebut masih terus digaungkan sampai sekarang.
Dari sini dapat kita lihat, bahwa santri mempunyai kontribusi yang besar terhadap bangsa Indonesia. Entah itu dalam upaya kemerdekaan Indonesia 1945, juga dalam upaya mempertahankan nilai-nilai nasionalisme.
Pertanyaannya adalah siapakah Santri itu?
Saya sepakat dengan definisi yang ditawarkan oleh Gus Mus—sapaan akrab KH. A. Musthofa Bisri. Dalam sambutannya beliau mengatakan “santri adalah siapapun yang berakhlak, yang tawaduk kepada Allah, tawaduk kepada orang alim, serta melihat Tanah Air Indonesia ini sebagai rumah.”
Menurut A. Helmy Faishal Zaini—dalam buku: Nasionalisme Kaum Sarungan—definisi di atas mempunyai dua point penting. Pertama, santri adalah mereka yang saleh ritual dan saleh sosial. Kedua santri adalah mereka yang mencintai Tanah Air Indonesia.
Pertama, santri adalah mereka yang saleh ritual dan saleh sosial. Artinya, santri yang berakhlak harus memiliki kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual bersifat hubungan individu dengan Allah, sedangkan kesalehan sosial bersifat hubungan individu dengan individu yang lainnya. Dalam bahasa ilmiahnya, kesalehan ritual merupakan dimensi eksoterik, sedangkan kesalehan sosial merupakan dimensi esoterik.
Kedua unsur ini harus saling terkait/terkoneksi satu sama lain. Tidak bisa santri menjalankan hubungan eksoterik saja, tanpa mengindahkan dimensi esoterik. Hubungan sesama manusia lainnya, harus tetap terjaga. Sebagaimana tertuang dalam hadist: “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Dalam membangun kesalehan ritual dan kesalehan sosial itu, etika yang digunakan adalah etika deontoligis, bukan etika hedonis. Etika deontoligis bersifat ideologis-humanistik, sedangkan etika hedonis bersifat pragmatis-materialistis.
Etika deontologis merupakan etika yang sumber berpikir dan bertindaknya berdasarkan kewajibannya, bukan berdasarkan akibat dan tujuannya. Kita berbuat baik karena sudah diwajibkan untuk bertindak baik. Bukan berdasarkan untung dan ruginya kita bertindak baik. Kita membantu orang lain, karena memang sudah selayaknya manusia membantu sesamanya. Bukan malah memikirkan apa untungnya membantu orang lain. Singkatnya, dalam etika deontologis kita berbuat baik memang sudah seharusnya untuk berbuat baik.
Sebaliknya, etika hedonis merupakan etika yang sumber berpikir dan bertindaknya berdasarkan hubungan timbal-balik; untung-rugi, pamrih, bermanfaat bagi diri sendiri. Kita bertindak baik karena tindakan baik kita dapat memperkaya diri sendiri. Tatkala ada orang yang membutuhkan pertolongan, maka dia pikirkan terlebih dahulu apa manfaat dan untungnya dia menolongnya. Etika ini sifatnya transaksional. Berpikir dan bertindaknya digantungkan kepada untung-rugi.
Kedua, santri adalah mereka yang mencintai Tanah Air Indonesia. Sebagai perwujudannya santri harus melihat Indonesia sebagai rumahnya. Tak hanya sebagai tempat peristirahatan, tapi juga sebagai tempat pengabdian. Sebab cinta itu syarat akan pengabdian. Mengabdi dengan tidak menodainya dengan dosa-dosa, dan tidak mengotorinya dengan darah-darah. Di era sekarang, bukan lagi zamannya berjihad dengan mengangkat pedang, namun berjihad dengan memberantas kebodohan, menumpas pemimpin yang dzalim, mengecam ketidakadilan, serta menolong golongan-golongan yang tertindas.
Waba’du, dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa santri tidak hanya didefinisikan sebagai orang yang memakai peci, sarung, baju muslim, pernah tinggal di pesantren, belajar ilmu agama, dan sebagainya. Lebih dari itu, santri adalah siapapun yang berakhlak, yang tawaduk kepada Allah, tawaduk kepada orang alim, serta melihat Tanah Air Indonesia ini sebagai rumah.
Selamat Hari Santri Nasional!
Wallahu’alam
Tak hanya itu, KH. Abdul Wahab Hasbullah atas bimbingan KH. Hasyim Asy’ari, juga membuat slogan yang bertajuk “Hubbul Wathon Minal Iman”, bahwa nasionalisme adalah sebagian dari iman. Syair dan slogan ini menjadi semacam getaran yang menggema semangat nasionalisme Santri. Maka tak heran, jika syair dan slogan tersebut masih terus digaungkan sampai sekarang.
Dari sini dapat kita lihat, bahwa santri mempunyai kontribusi yang besar terhadap bangsa Indonesia. Entah itu dalam upaya kemerdekaan Indonesia 1945, juga dalam upaya mempertahankan nilai-nilai nasionalisme.
Pertanyaannya adalah siapakah Santri itu?
Saya sepakat dengan definisi yang ditawarkan oleh Gus Mus—sapaan akrab KH. A. Musthofa Bisri. Dalam sambutannya beliau mengatakan “santri adalah siapapun yang berakhlak, yang tawaduk kepada Allah, tawaduk kepada orang alim, serta melihat Tanah Air Indonesia ini sebagai rumah.”
Menurut A. Helmy Faishal Zaini—dalam buku: Nasionalisme Kaum Sarungan—definisi di atas mempunyai dua point penting. Pertama, santri adalah mereka yang saleh ritual dan saleh sosial. Kedua santri adalah mereka yang mencintai Tanah Air Indonesia.
Pertama, santri adalah mereka yang saleh ritual dan saleh sosial. Artinya, santri yang berakhlak harus memiliki kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual bersifat hubungan individu dengan Allah, sedangkan kesalehan sosial bersifat hubungan individu dengan individu yang lainnya. Dalam bahasa ilmiahnya, kesalehan ritual merupakan dimensi eksoterik, sedangkan kesalehan sosial merupakan dimensi esoterik.
Kedua unsur ini harus saling terkait/terkoneksi satu sama lain. Tidak bisa santri menjalankan hubungan eksoterik saja, tanpa mengindahkan dimensi esoterik. Hubungan sesama manusia lainnya, harus tetap terjaga. Sebagaimana tertuang dalam hadist: “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Dalam membangun kesalehan ritual dan kesalehan sosial itu, etika yang digunakan adalah etika deontoligis, bukan etika hedonis. Etika deontoligis bersifat ideologis-humanistik, sedangkan etika hedonis bersifat pragmatis-materialistis.
Etika deontologis merupakan etika yang sumber berpikir dan bertindaknya berdasarkan kewajibannya, bukan berdasarkan akibat dan tujuannya. Kita berbuat baik karena sudah diwajibkan untuk bertindak baik. Bukan berdasarkan untung dan ruginya kita bertindak baik. Kita membantu orang lain, karena memang sudah selayaknya manusia membantu sesamanya. Bukan malah memikirkan apa untungnya membantu orang lain. Singkatnya, dalam etika deontologis kita berbuat baik memang sudah seharusnya untuk berbuat baik.
Sebaliknya, etika hedonis merupakan etika yang sumber berpikir dan bertindaknya berdasarkan hubungan timbal-balik; untung-rugi, pamrih, bermanfaat bagi diri sendiri. Kita bertindak baik karena tindakan baik kita dapat memperkaya diri sendiri. Tatkala ada orang yang membutuhkan pertolongan, maka dia pikirkan terlebih dahulu apa manfaat dan untungnya dia menolongnya. Etika ini sifatnya transaksional. Berpikir dan bertindaknya digantungkan kepada untung-rugi.
Kedua, santri adalah mereka yang mencintai Tanah Air Indonesia. Sebagai perwujudannya santri harus melihat Indonesia sebagai rumahnya. Tak hanya sebagai tempat peristirahatan, tapi juga sebagai tempat pengabdian. Sebab cinta itu syarat akan pengabdian. Mengabdi dengan tidak menodainya dengan dosa-dosa, dan tidak mengotorinya dengan darah-darah. Di era sekarang, bukan lagi zamannya berjihad dengan mengangkat pedang, namun berjihad dengan memberantas kebodohan, menumpas pemimpin yang dzalim, mengecam ketidakadilan, serta menolong golongan-golongan yang tertindas.
Waba’du, dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa santri tidak hanya didefinisikan sebagai orang yang memakai peci, sarung, baju muslim, pernah tinggal di pesantren, belajar ilmu agama, dan sebagainya. Lebih dari itu, santri adalah siapapun yang berakhlak, yang tawaduk kepada Allah, tawaduk kepada orang alim, serta melihat Tanah Air Indonesia ini sebagai rumah.
Selamat Hari Santri Nasional!
Wallahu’alam
Oleh: Hilmi Hafi
Posting Komentar