BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Polemik Kampanye Keberhasilan Jokowi

Polemik Kampanye Keberhasilan Jokowi
Pena Laut
- Baru-baru ini, di berbagai media sosial saya mendapati sebuah narasi mengenai kampanye keberhasilan Jokowi. Mengingat masa pemerintahan Presiden Jokowi telah berakhir, terdapat baliho-baliho tersebar di beberapa titik di Indonesia mengenai ucapan “Terima Kasih, Jokowi”. Hal ini membuat penulis tergelitik, mengingat karena masih banyaknya masalah, seperti janji-janji yang belum ditepatinya. Seperti: penuntasan kasus HAM masa lalu, peran lembaga negara yang diacak-acak, Peringatan Darurat, Fufufafa, Politik Dinasti, hingga IKN yang menjadi percakapan negatif pada Jokowi.

Menjelang Jokowi lengser, keluar intruksi mengkampanyekan keberhasilan pemerintah. Presiden Jokowi mengerahkan para anak buahnya untuk membuat kampanye positif citra pemerintah selama sepuluh tahun terakhir. Berbagai narasi positif pemerintahan Jokowi dirancang untuk tayang di berbagai media sosial sejak 1 sampai 20 Oktober 2024 atau hingga Jokowi lengser. Terdapat pula isu bahwa pemerintah hingga menawarkan ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk menulis berita kesuksesan pemerintah Jokowi.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa Jokowi secara langsung mengeluarkan perintah kampanye keberhasilan itu. Adapun rencana menggaungkan klaim keberhasilan Joko Widodo muncul dalam rapat kabinet terakhir di Ibu Kota Nuasantara (IKN), Kalimantan Timur, Jumat, 13 September 2024.

”Setiap kementerian ditugasi mengglorifikasi capaiannya dalam 10 tahun,” masak selama sepuluh tahun enggak ada sisi baik Jokowi?”, ujar Budi Arie. 

Para menteri, dalam pidato ataupun wawancara media, memuji Jokowi sebagai presiden yang berhasil dalam program ekonomi. Di harian Kompas, Menteri Keuangan Sri Mulyani menceritakan kinerja moncer Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melayani proyek-proyek infrastruktur nasional. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memuji Jokowi sebagai presiden terbaik karena membuat neraca perdagangan surplus selama 52 bulan. Faktanya, di masa Jokowi, ekonomi hanya tumbuh 4,2 persen, jauh di bawah target 7 persen, bahkan di bawah sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang rata-rata 6 persen. Di masa Jokowi pula jumlah kelas menengah turun dari 21 persen menjadi 17 persen akibat maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Surplus neraca perdagangan yang dibanggakan Zulkifli Hasan hanya menyumbang 0,66 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.

Di akhir masa jabatannya, semua masalah yang ada, kini sedang dipoles Jokowi. Dengan uang negara, para pejabat membuat kampanye yang menyangkal fakta kemunduran demokrasi, kemandekan ekonomi, serta cawe-cawe Jokowi dalam pemilihan umum dengan mengakali hukum dan merusak tata negara. Penggiringan opini publik semacam ini adalah kejahatan.

Memuji diri sendiri merupakan wujud rasa tidak percaya diri. Lazimnya, prestasi seseorang mendapat penghargaan karena ada pengakuan dari orang lain. Namun, Jokowi mempromosikan prestasi sendiri, ini bisa disebut sebagai klaim, jika bukan, narsisme berlebihan. Apalagi jika narsisme itu menjadi bahan kampanye memakai anggaran negara. Sudah menjadi tugas dan mandat konstitusi pemerintah membangun infrastruktur, menjaga pertumbuhan ekonomi, mendorong neraca perdagangan surplus. Tak perlu puja-puji untuk melegitimasinya.

Benar kata Hasan al-Mawardi, ahli pemerintahan dari Irak abad ke-11 yang mencetuskan konsep awal “kontrak sosial” dalam negara, bahwa kekuasaan seperti candu: makin dinikmati, makin menumbuhkan nafsu, membuat manusia menjadi dungu.


Oleh: Fawaid A. 
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak